Senin, 15 Oktober 2012

Alhamdulillah, Presiden Tidak Hilang


Alhamdulillah, Presiden Tidak Hilang
M Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 15 Oktober 2012



Ah, media kita ini sering membikin cemas. Media atau demonstran—bisa juga kita sebut pendemo— mungkin tak bisa dipisahkan jauh-jauh. Media membutuhkan berita. 

Pendemo membutuhkan media yang bisa mem- “blow-up” apa yang mereka lakukan. Sering mereka bertemu dalam jiwa. Seperti ungkapan Jawa: Tumbu oleh tutup. Artinya yang mendambakan pasangan, memperoleh pasangan idamannya. Ibarat bertepuk, tidak sebelah tangan. Maka suasana pun menjadi lebih heboh. Dan menghentak jiwa publik—sebagian kecil publik— yang sering merasa lebih enak “liyep-liyep” antara sadar dan jaga, seperti jiwa pejabat kita pada umumnya.

Bagi pendemo, suatu demo tanpa diberitakan, apa arti politiknya? Dan tanpa media— jadi tanpa berita—demo akan terasa sunyi senyap. Pada pendemo bukan petapa yang mencari kesunyian. Sebaliknya, mereka menciptakan momentum untuk bersuara keras, untuk didengar, untuk membentuk opini, untuk mempengaruhi kebijakan. Pendeknya, demo menghendaki lahirnya perubahan nyata buat perbaikan kehidupan kita semua.

Perbaikan yang diharapkan dari para pejabat yang terhormat, yang ditinggikan statusnya, dibikin banyak gajinya, tak kunjung terjadi karena mereka lebih suka menjaga—dan berusaha mati-matian mempertahankan— status quo yang lebih pasti, dan lebih menguntungkan. “Orang-orang bayaran”kita itu tak mengerjakan tugas mereka sebagaimana kita kehendaki. Maka kita, pemilik sah Republik ini, terpaksa sering harus turun tangan sendiri untuk membereskan keadaan.Apa boleh buat.

Dan, itulah yang kemudian terjadi: heboh sekali. Kita merasa hidup seperti dalam keadaan darurat. Tulisan KPK: “Ke mana Presiden Kita”, bikin cemas. Saya ikut gugup, dan bertanya-tanya dalam hati: mana mungkin seorang presiden hilang, atau tak bisa ditemukan? Ya, tapi ini Indonesia. Segala macam kemungkinan bisa terjadi.Semalas-malasnya orang, saya tidak cukup sekadar merasa cemas seperti disebut di atas. Maka saya pun menyimak suasana dengan rasa yang bercampur aduk antara cemas dan kaget, yang tak pernah bisa saya “repositioning”- kan ke titik netral yang membuat jiwa merasa nyaman.

Belum jelas apa yang sebenarnya terjadi,terdengarlah keluhan Mensesneg—almukarom Pak Sudi Silalahi—bahwa ada media yang membesar-besarkan persoalan. Saya mengamati lebih jauh, media manakah yang “membesar-besarkan” persoalan itu. Dan sambil mencari, saya bertanya dalam hati: Apakah para pihak— yang dulu disebut Cicak dan Buaya—yang sudah siap saling mencaplok, siap saling menelan, itu bukan perkara besar? Sayang Pak Sudi tak bisa ditelepon, sebagaimana umumnya para pejabat tinggi yang begitu sibuk,mengurus negara dengan cara mereka sendiri.

Lewat kantor tak nyambung. Ketika nyambung, jawab stafnya: beliau sedang sibuk. Dan, saya pun membisikkan ke telinga orang itu: kau kira saya tidak sibuk? Media tidak salah.Persoalan besar—baku klaim, baku menyalahkan—antara KPK dan Polriyangbegituberwibawa itu, sudah merupakan persoalan besar. Media hanya memberitakan persoalan itu dengan gaya masing-masing.Ada yang diulang-ulang dalam waktu pendek.

Ada yang lebih jarang.Persoalan ini sudah besar.Jadi,media— yang memberitakan tadi—tak merasa perlu membikinnya lebih besar. Itu baru urusan KPK vs Polri. Hilangnya presiden kita, yang dinyatakan dengan ungkapan Ke mana Presiden Kita— KPK—lebih besar lagi, bukan? Presiden idola kaum ibu, yang tertib busana dan tatabahasanya, yang sepenuh hati kita cintai, dan kita inginkan kebijakannya yang jelas, tak boleh hilang.

Dan alhamdulillah, wa syukurillah, ternyata presiden kita tidak hilang. Beliau muncul di televisi, berorasi, dan karena orang sekolahan, maka orasinya ilmiahnya bukan main. Di sana-sini terasa betul, seolah beliau sedang berbicara tentang filsafat politik,tentang “ketidakberpihakan” yang dibanggakannya sejak dulu. “Saya..” katanya sambil mengelus dada dengan tangan kanannya, “tidak mau mencampuri urusan penegakan hukum”.

Bapak Presiden berada dalam posisi netral, tanpa memihak, dan membiarkan semua pihak bekerja sesuai mandat dan tanggung jawab. Semua pihak dibiarkan bebas berkarya untuk mengabdi negara dan bangsa. Tapi mereka bersitegang, saling menyalahkan dan saling meremehkan,haruskah dibiarkan agar mereka menyelesaikan sendiri persoalan mereka? Kalau dua anak, kakak beradik di dalam rumah tangga berkelahi, haruskah sang bapak berkeluh kesah dan melapor pada tetangga, bahwa yang berisik dan bikin gaduh itu anak-anak.

Sebagai bapak, sang bapak tak mau campur tangan, sang bapak yang demokratis itu bersikap netral. Dalam dunia ilmiah, dunia riset, penelitian, dan dalam dunia kaum aktivis, netralitas itu terkutuk. Ilmuwan—yang netral dan menjaga jarak agar bisa memperoleh “kebenaran murni” tak bisa berpangku tangan ketika di lapangan ada persoalan sensitif dan besar yang berkembang. Dia harus turun tangan. Dia harus dalam posisi memihak.

Sikap netral dianggap tak bertanggung jawab. Kalau seorang pejabat tumbuh dari iklim pemikiran seperti ini maka dia,dalam setiap keruwetan, akan turun tangan. Dan menyatakan tak mau campur tangan hanya tanda tak mau bersusah payah ikut bertanggung jawab. Dengan kata lain,dia harus memihak. Pemihakan diberikan tidak pada individu, tidak pada kelompok, tidak pada organisasi sosial, tidak pada dunia bisnis, pun tidak pada partai politik.

Dia harus berpihak pada nilainilai. Ini sangat jelas juntrungan- nya,dan menjadi mentereng bila diamalkan. Para pihak yang bertikai itu penting.Apalagi, masing-masing memanggul mandat yang diberikan oleh negara.Tapi ada hal yang lebih penting lagi, ada yang lebih besar dari mereka: kepentingan bangsa, rasa keadilan, rasa damai, dan kerja lebih produktif bagian pengabdian hidup. Memihak menjadi kewajiban yang tak bisa ditunda.

Pemihakan itu wajib “ain”: wajib yang disegerakan, dan diutamakan di atas yang lainlain. Tidak ada,dan tidak boleh ada,sikap “nanti dulu”.Keadaan darurat, harus direspons secara darurat,tapi “tegas,teges, jelas, adil dan benar”. Syukur ditambah bijaksana. Respons yang dibuat setelah rakyat menanti-nanti berkepanjangan dengan rasa kecewa, namanya juga respons dan harus dihargai.

Tapi mengapa kebijakan baru lahir, selalu setelah tekanan publik menguat? Kebijakan yang diambil setelah frustrasi meluap dan tekanan publik menguat, bahkan ibaratnya “mendikte” sang perumus kebijakan, itu tanda bahaya. Publik wajib tahu,wajib diajak dan diminta masukan untuk suatu kebijakan penting. Tapi yang memutuskan—dalam suasana didukung sepenuh hati, dengan cinta, oleh orang banyak—bukan publik lagi, melainkan pejabat.

Keputusan di tangan beliau. Publik hanya ikut mendukung, dan kelak ikut bertanggung jawab atas segala kemungkinan yang terjadi. Kalau publik menekan, publik marah dan publik yang mendikte suatu kebijakan, ini tanda darurat, yang tak sehat. Di malam pidato itu yang terjadi juga begitu. Presiden kita, yang—alhamdulillah tidak hilang—baik-baik saja, berorasi panjang lebar, seolah sebagai orang sekolahan, yang lupa posisinya sebagai “komandan tertinggi”, yang cukup berkata: lakukan ini dan ini, si itu yang bertugas, bukan yang lain, dan jangan lakukan yang lain, selain perintah saya. ‘Cekak-aos”, singkat, padat, jelas. Dan kita akan bersyukur lebih dalam: alhamdulillah, ternyata presiden kita tidak hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar