Sertifikasi Tak Relevan
Suhrawardi K Lubis ; Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumut,
Dosen UMSU Medan
|
REPUBLIKA,
14 September 2012
Ide
Direktur Deradikalisasi BNPT untuk melakukan sertifikasi terhadap pemuka agama
terinspirasi dari perlakuan yang diterapkan oleh Singapura dan Arab Saudi
kepada pemuka agamanya. Usulan BNPT tersebut menimbulkan kegalauan,
kegelisahan, dan protes dari kalangan pemuka agama. Usulan tersebut dinilai
kebablasan, terlalu berlebihan, dan sangat memojokkan pemuka agama, terutama
pemuka agama Islam.
Padahal,
dengan tinta emas ditorehkan dalam sejarah bahwa ulama berperan besar dalam
menumbuhkan hubbul wathan (rasa cinta Tanah Air), baik untuk merebut dan memperjuangkan
kemerdekaan maupun dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Usulan yang
memojokkan pemuka agama ini tentu perlu disikapi dan dikritisi.
Bukan Profesi
Sertifikasi
lazimnya dilakukan terhadap mereka yang akan mengemban suatu tugas profesi
tertentu. Misalnya, profesi bidang hukum, seperti hakim, jaksa, advokat,
notaris. Profesi bidang kesehatan, seperti dokter, profesi guru dan dosen,
serta profesi pendeta. Pendidikan dan sertifikasi profesi lazimnya dilaksanakan
oleh asosiasi profesi berkenaan. Sebelum mengikuti sertifikasi untuk menekuni
profesi tertentu, seseorang terlebih dahulu mengikuti pendidikan profesi.
Kemudian,
apabila seseorang telah memperoleh sertifikasi profesi dan telah dikukuhkan
oleh pihak terkait, keberadaannya sebagai penyandang profesi tidak memerlukan
legitimasi dari masyarakat. Dengan sertifikasi, secara otomatis yang
bersangkutan sudah dapat menjalankan profesinya. Penyandang profesi yang
mendapat tunjangan dari negara apabila memperoleh sertifikasi akan mendapat
tunjangan dalam bentuk rupiah dari negara.
Persoalan
selanjutnya, apakah pemuka agama, kiai, dan ulama dapat dikategorikan sebagai
profesi? Dari kriteria-kriteria profesi yang ada, pemuka agama, kiai, dan ulama
tidak dapat dikategorikan sebagai profesi. Karena, untuk memperoleh gelar
tersebut tidak ada pendidikan dan sertifikasi tertentu yang harus diikuti.
Selain itu, mereka juga tidak memperoleh tunjangan finansial dengan gelar
tersebut.
Seseorang
memperoleh gelar sebagai pemuka agama, kiai, dan ulama merupakan gelar
penghargaan dan pengakuan yang diberikan oleh masyarakat.
Artinya, gelar itu merupakan apresiasi masyarakat terhadap ketokohan,
integritas, moralitas, dan loyalitas seseorang dalam aktivitas keagamaan yang
dilakukannya di tengah-tengah masyarakat. Gelar tersebut bukan merupakan
pemberian atau anugerah yang diberikan oleh pemerintah. Bahkan, seandainya
seseorang memperoleh sertifikasi dari pemerintah dan diberikan gelar sebagai
tokoh agama, kiai, atau ulama, tidak akan berarti apa-apa apabila tidak
mendapat pengakuan dari masyarakat. Pertanyaan selanjutnya, apakah gelar pemuka
agama, kiai, dan ulama perlu dilakukan sertifikasi oleh pemerinah?
Apakah dengan sertifikasi, deradikalisasi akan berjalan seperti yang diharapkan
oleh BNPT?
Tak Perlu
Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (NU) seperti diberitakan di berbagai media (10/9)
menentang keras usulan BNPT untuk melakukan sertifikasi pemuka agama sebagai
salah satu langkah menekan aksi teror. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan
bahwa panggilan kiai atau ustaz itu yang menyebutkan masyarakat, bukan
pemberian dari pemerintah.
Lebih
lanjut KH Said Aqil Siroj mengemukakan bahwa pemerintah terlalu jauh kalau
mengurusi hal-hal seperti ini. Bahkan, beliau menganalogikan pernyataannya pada
perintah menjalankan shalat yang tidak perlu diatur dan diawasi secara langsung
oleh pemerintah. Ada elemen masyarakat yang memiliki kewajiban menjalankan
tugas tersebut. Pemerintah berada pada posisi memberikan dukungan.
Tentang
gagalnya deradikalisasi di Indonesia, tidak tepat kalau dibebankan kepada
pemuka agama, kiai, dan ustaz. Sebab, sebagaimana dikemukakan Said Aqil bahwa
terorisme tidak mengakar dalam budaya Islam. Oleh karena itu, wajar apabila
Said Aqil meminta BNPT tidak usah meragukan peran ulama dalam menjalankan
deradikalisasi, terutama sekali kelompok ormas Islam yang berdiri sebelum
Indonesia merdeka (seperti Muhammadiyah dan NU).
Permintaan
tersebut tentunya pantas sebab Muhammadiyah dan NU memiliki andil besar
berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Ini terbukti dengan
dinobatkannya tokoh pendiri kedua organisasi tersebut menjadi pahlawan na sio
nal. Bahkan, kedua organisasi ini memiliki andil besar untuk mengisi
kemerdekaan.
Seperti
ditegaskan Said Aqil, organisasi yang keberadaannya merongrong Pancasila
(tentunya harus terbukti secara hukum, bukan hanya sekadar dituduh) tidak perlu
disertifikasi, tapi langsung bubarkan saja. Pendapat ini tentu tepat sekali,
jangan gara-gara ulah seseorang atau sekelompok radikal tertentu lantas pemuka
agama digeneralisasi harus disertifikasi.
Ketidakberhasilan deradikalisasi perlu
dijadikan sebagai bahan instrospeksi bagi semua pihak. Beranjak dari uraian di
atas, dapat dikemukakan bahwa usulan BNPT untuk melakukan sertifikasi pemuka agama,
seperti yang dilaksanakan di Arab Saudi dan Singapura, tidak perlu dilakukan di
Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar