Sabtu, 15 September 2012

Sertifikasi Tak Relevan


Sertifikasi Tak Relevan
Suhrawardi K Lubis ;  Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumut,
Dosen UMSU Medan
REPUBLIKA, 14 September 2012


Ide Direktur Deradikalisasi BNPT untuk melakukan sertifikasi terhadap pemuka agama terinspirasi dari perlakuan yang diterapkan oleh Singapura dan Arab Saudi kepada pemuka agamanya. Usulan BNPT tersebut menimbulkan kegalauan, kegelisahan, dan protes dari kalangan pemuka agama. Usulan tersebut dinilai kebablasan, terlalu berlebihan, dan sangat memojokkan pemuka agama, terutama pemuka agama Islam.

Padahal, dengan tinta emas ditorehkan dalam sejarah bahwa ulama berperan besar dalam menumbuhkan hubbul wathan (rasa cinta Tanah Air), baik untuk merebut dan memperjuangkan kemerdekaan maupun dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Usulan yang memojokkan pemuka agama ini tentu perlu disikapi dan dikritisi.

Bukan Profesi

Sertifikasi lazimnya dilakukan terhadap mereka yang akan mengemban suatu tugas profesi tertentu. Misalnya, profesi bidang hukum, seperti hakim, jaksa, advokat, notaris. Profesi bidang kesehatan, seperti dokter, profesi guru dan dosen, serta profesi pendeta. Pendidikan dan sertifikasi profesi lazimnya dilaksanakan oleh asosiasi profesi berkenaan. Sebelum mengikuti sertifikasi untuk menekuni profesi tertentu, seseorang terlebih dahulu mengikuti pendidikan profesi.

Kemudian, apabila seseorang telah memperoleh sertifikasi profesi dan telah dikukuhkan oleh pihak terkait, keberadaannya sebagai penyandang profesi tidak memerlukan legitimasi dari masyarakat. Dengan sertifikasi, secara otomatis yang bersangkutan sudah dapat menjalankan profesinya. Penyandang profesi yang mendapat tunjangan dari negara apabila memperoleh sertifikasi akan mendapat tunjangan dalam bentuk rupiah dari negara.

Persoalan selanjutnya, apakah pemuka agama, kiai, dan ulama dapat dikategorikan sebagai profesi? Dari kriteria-kriteria profesi yang ada, pemuka agama, kiai, dan ulama tidak dapat dikategorikan sebagai profesi. Karena, untuk memperoleh gelar tersebut tidak ada pendidikan dan sertifikasi tertentu yang harus diikuti. Selain itu, mereka juga tidak memperoleh tunjangan finansial dengan gelar tersebut.

Seseorang memperoleh gelar sebagai pemuka agama, kiai, dan ulama merupakan gelar penghargaan dan pengakuan yang diberikan oleh masyarakat.

Artinya, gelar itu merupakan apresiasi masyarakat terhadap ketokohan, integritas, moralitas, dan loyalitas seseorang dalam aktivitas keagamaan yang dilakukannya di tengah-tengah masyarakat. Gelar tersebut bukan merupakan pemberian atau anugerah yang diberikan oleh pemerintah. Bahkan, seandainya seseorang memperoleh sertifikasi dari pemerintah dan diberikan gelar sebagai tokoh agama, kiai, atau ulama, tidak akan berarti apa-apa apabila tidak mendapat pengakuan dari masyarakat. Pertanyaan selanjutnya, apakah gelar pemuka agama, kiai, dan ulama perlu dilakukan sertifikasi oleh pemerinah?

Apakah dengan sertifikasi, deradikalisasi akan berjalan seperti yang diharapkan oleh BNPT?

Tak Perlu

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) seperti diberitakan di berbagai media (10/9) menentang keras usulan BNPT untuk melakukan sertifikasi pemuka agama sebagai salah satu langkah menekan aksi teror. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan bahwa panggilan kiai atau ustaz itu yang menyebutkan masyarakat, bukan pemberian dari pemerintah.

Lebih lanjut KH Said Aqil Siroj mengemukakan bahwa pemerintah terlalu jauh kalau mengurusi hal-hal seperti ini. Bahkan, beliau menganalogikan pernyataannya pada perintah menjalankan shalat yang tidak perlu diatur dan diawasi secara langsung oleh pemerintah. Ada elemen masyarakat yang memiliki kewajiban menjalankan tugas tersebut. Pemerintah berada pada posisi memberikan dukungan.

Tentang gagalnya deradikalisasi di Indonesia, tidak tepat kalau dibebankan kepada pemuka agama, kiai, dan ustaz. Sebab, sebagaimana dikemukakan Said Aqil bahwa terorisme tidak mengakar dalam budaya Islam. Oleh karena itu, wajar apabila Said Aqil meminta BNPT tidak usah meragukan peran ulama dalam menjalankan deradikalisasi, terutama sekali kelompok ormas Islam yang berdiri sebelum Indonesia merdeka (seperti Muhammadiyah dan NU).

Permintaan tersebut tentunya pantas sebab Muhammadiyah dan NU memiliki andil besar berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Ini terbukti dengan dinobatkannya tokoh pendiri kedua organisasi tersebut menjadi pahlawan na sio nal. Bahkan, kedua organisasi ini memiliki andil besar untuk mengisi kemerdekaan.

Seperti ditegaskan Said Aqil, organisasi yang keberadaannya merongrong Pancasila (tentunya harus terbukti secara hukum, bukan hanya sekadar dituduh) tidak perlu disertifikasi, tapi langsung bubarkan saja. Pendapat ini tentu tepat sekali, jangan gara-gara ulah seseorang atau sekelompok radikal tertentu lantas pemuka agama digeneralisasi harus disertifikasi.

Ketidakberhasilan deradikalisasi perlu dijadikan sebagai bahan instrospeksi bagi semua pihak. Beranjak dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa usulan BNPT untuk melakukan sertifikasi pemuka agama, seperti yang dilaksanakan di Arab Saudi dan Singapura, tidak perlu dilakukan di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar