Subsidi dan
Produktivitas Ekonomi
A Prasetyantoko ; Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Katolik Atma Jaya,
Jakarta
|
KOMPAS,
24 September 2012
McKinsey
Global Institute baru saja merilis laporan proyeksi
perekonomian Indonesia yang akan menempati peringkat ke-7 dunia tahun 2030,
mengalahkan Jerman dan Inggris. Saat ini, perekonomian Indonesia ada di
peringkat ke-16, dengan jumlah kelompok konsumsi (consuming
class) 45 juta jiwa.
Dua puluh tahun lagi, 135
juta akan masuk kategori kelompok konsumsi, sementara 86 persen perekonomian
berada di perkotaan. Dua isu penting dalam lanskap ekonomi Indonesia masa depan
adalah pertumbuhan sektor konsumsi serta urbanisasi. Dari sisi konsumsi
domestik, Indonesia akan menjadi negara besar, selain China dan India.
Mengantisipasi
situasi itu, ketersediaan energi menjadi salah satu tantangan paling serius.
Dari laporan ini, kebutuhan energi per tahun saat ini sudah 6 quadrillion british thermal unit (QBTU), dan tahun
2030 akan naik tiga kali lipat menjadi 17 QBTU, sebuah pertumbuhan yang
intensif sehingga butuh diversivikasi sumber energi nonkonvensional yang masif
pula. Pengembangan energi alternatif,
sepertibiofuel, panas bumi, dan angin menjadi kunci penting.
Jika kita berhasil
mengembangkan energi nonkonvensional, akan ada tambahan pasokan energi sekitar
20 persen tahun 2030. Itu sekaligus akan menurunkan hampir 15 persen
ketergantungan pada energi minyak dan batubara, serta berkontribusi pada
penurunan emisi sekitar 10 persen.
Pertanyaannya,
apakah pemerintah benar-benar mempersiapkan strategi dan kebijakan untuk
mengantisipasi itu? Jika merujuk pada anggaran 2013, tak
terlihat ada komitmen meningkatkan produktivitas perekonomian sambil menekan
ketergantungan pada sumber daya energi konvensional.
Selain ketersediaan energi,
tantangan lain adalah peningkatan produktivitas. Untuk mencapai kapasitas
pertumbuhan 7 persen, perlu peningkatan produktivitas tenaga kerja sebesar 60
persen. Jika tahun 2000-2010 produktivitas tenaga kerja kita sekitar 2,9
persen, pada periode 2010-2030 harus naik menjadi 4,6 persen.
Lebih jauh soal peningkatan
produktivitas tenaga kerja, laporan utama The Economist (edisi 8-14 September 2012) menyoroti perlunya penerapan proteksi
sosial di negara Asia yang tengah menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi. Selain
itu, negara di kawasan ini juga memiliki bonus demografi cukup besar sehingga
butuh investasi sosial pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital) dalam jangka panjang.
Kemajuan Indonesia saat ini
kira-kira setara dengan yang dicapai AS tahun 1935, ketika Social Security Act mulai diberlakukan. Dari data terakhir Bank
Pembangunan Asia, Indeks Proteksi Sosial Indonesia baru 1,5 persen, atau jauh
di bawah negara seperti Filipina, Vietnam, India, China, Malaysia, apalagi
Korea Selatan dan Jepang. Di Jepang, rasio pengeluaran sosial terhadap produk
domestik bruto (PDB) per penduduk hampir 14 persen, sementara Korea Selatan
hampir 7 persen.
Tampaknya
pemerintah sama sekali belum melakukan langkah untuk mengantisipasi
perkembangan itu, terutama jika dilihat dari kebijakan fiskal 2013.
Alokasi anggaran subsidi RAPBN 2013 direncanakan Rp 316,1 triliun setara dengan
3,4 persen terhadap PDB. Dibandingkan APBN-P 2012 naik Rp 71 triliun. Subsidi
energi akan menjadi subsidi terbesar, Rp 274,7 triliun, meliputi subsidi BBM
dan listrik. Sementara subsidi non-energi (antara lain pangan, pupuk, bunga
kredit) Rp 80,9 triliun.
Subsidi listrik masih tetap
dianggap perlu mengingat besarnya kesenjangan antara tarif tenaga listrik dan
biaya pokok penyediaan tenaga listrik. Dengan asumsi harga minyak mentah
Indonesia (ICP) 100 dollar AS per barrel, nilai tukar rupiah Rp 9.300 per
dollar AS, dan dilakukan penyesuaian rata-rata tarif listrik 15 persen pun,
subsidi yang diperlukan Rp 80,9 triliun. Setara dengan 0,9 persen dari PDB.
Nilai itu naik Rp 16 triliun dibandingkan subsidi listrik dalam APBN-P 2012.
Demikian pula dengan subsidi
BBM, pemerintah mencanangkan program penghematan melalui pengaturan,
pengawasan, dan manajemen distribusi. Namun faktanya, tahun ini, pemerintah
justru menambah kuota BBM sebesar 4,04 juta kiloliter sehingga konsumsi BBM
2012 menjadi 44 juta kiloliter. Peningkatan itu menambah besaran subsidi BBM
sekitar Rp 15 triliun.
Dengan kebijakan business as usual, bisa dipastikan
kebutuhan BBM tahun 2013 kian tak terkejar. Membaiknya pertumbuhan ekonomi,
manufaktur, dan permintaan domestik secara alamiah mendorong konsumsi BBM. Jika
target penjualan mobil tahun 2013 sebesar 1 juta unit dan sepeda motor 10 juta
unit tercapai, berapa peningkatan penggunaan BBM. Belum lagi lonjakan berbagai
sektor industri yang tumbuh seiring dengan kuatnya kelompok konsumsi.
Dalam postur anggaran di
pemerintah pusat, belanja subsidi akan menjadi alokasi terbesar (27,8 persen),
diikuti belanja pegawai (21 persen), belanja modal (17 persen), belanja barang
(14 persen). Sementara alokasi bantuan sosial hanya 5,2 persen. Hal ini
menandakan, komitmen anggaran masih bersifat konservatif. Tidak ada tanda-tanda
pemerintah berupaya mengubah pola subsidi menjadi lebih produktif. Selain itu,
dengan pola semacam itu, tidak ada insentif sama sekali untuk mengembangkan
sumber daya energi alternatif.
Padahal, dinamika ekonomi
justru tengah membutuhkan respons progresif dalam hal pengelolaan anggaran,
pengembangan energi nonkonvensional, dan investasi sosial demi peningkatan
produktivitas pekerja. Tampaknya pemerintah tidak akan banyak melakukan
perubahan mengingat tahun 2013 merupakan saat menjelang pemilu. Pemerintah di mana pun pada umumnya cenderung bersikap status
quo dan cari aman menjelang pemilu, apalagi pemerintah kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar