Senin, 24 September 2012

Humanisasi Vs Kekerasan


Humanisasi Vs Kekerasan
Agus Wibowo ;  Magister Pendidikan dan Penulis buku Malpraktik Pendidikan
MEDIA INDONESIA, 24 September 2012


PENDIDIKAN merupakan sarana humanisasi bagi anak didik. Itu disebabkan pendidikan memberikan ruang bagi pengajaran etika moral, dan segenap aturan luhur yang membimbing anak didik mencapai humanisasi. Melalui proses itu, anak didik menjadi terbimbing, tercerahkan, dan tabir ketidaktahuannya terbuka sehingga mereka mampu meniadakan aspek-aspek yang mendorong ke arah dehumanisasi. Itulah ancangan pendidikan bangsa kita, yang tidak saja menggaransikan keluaran manusia sejati, tetapi juga sosok yang kaya akan visi humanisme dalam kerangka kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.

Apakah ancangan mulia pendidikan bangsa itu saat ini sudah bisa direalisasikan? Tampaknya belum! Pendidikan kita belum mampu menjadi wahana humanisasi bagi anak didiknya. Pendidikan kita bukannya menjadi ruang menyemai humanisasi, malah menjadi wahana melanggengkan kekerasan (bullying) dan ketidakmanusiawian terhadap anak didiknya. Pendidikan kita sepertinya justru digegas menjadi ajang unjuk kekerasan guru atas siswa, atau senior terhadap juniornya.

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan yang salah. Menurut WHO (2000), kekerasan terhadap anak atau child abuse dan neglect adalah tindakan melukai berulang-ulang secara fisik dan emosional anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan bisa berbentuk kekerasan fisik, psikologis, verbal, emosi dan sosial.

Menurut Francis Wahono (2003), kekerasan lebih sering terjadi pada unsur utama pendidikan, yakni pelaku pendidikan. Kekerasan itu bersifat horizontal, individu vis a vis individu yang lain. Bentuk kekerasan struktural dan kultural terjadi pada unsur selain pelaku utama pendidikan. Kekerasan itu mewujud dalam kerangka, pranata, dan kurikulum pendidikan. Kekerasan itu bersifat vertikal karena melibatkan negara melalui aparatus, institusi, dan kebijakan vis a vis masyarakat.

Anak didik menjadi objek langsung dari kurikulum yang didukung kerangka dan pranata pendidikan. Pendekatan pendidikan yang digunakan para guru lebih sering bersifat top down, dari atas ke bawah dan mendikte. Pendekatan seperti itu berasumsi bahwa guru ialah pusat kebenaran dan pengetahuan, lebih bermoral dan pandai, sehingga tidak dapat dibantah. Sistem pendidikan model itu sebenarnya cocok dalam dunia militer, dengan disiplin seragam, ketat ideologi, dan taat perintah tanpa boleh banyak bertanya. Sebagai konsekuensinya, metode pendidikan yang dipakai ialah metode anjing.

Sebagaimana tuan dan anjing, tulis Agus Wibowo (2008), anjing dididik tuannya dengan sistem reward and punishment agar si anjing menjadi setia dan tunduk kepada tuannya. Pendekatan top down, sistem militer, dan metode anjing yang selama ini cenderung dipakai dalam sistem pendidikan kita telah menjadikan lembaga kependidikan sebagai penghantar kekerasan.

Tindak kekerasan terhadap anak didik akan sangat terasa sekali setiap diadakan masa orientasi siswa (MOS) atau masa orientasi peserta didik baru (MOPDB). Benar, tujuan awal MOS sangat ideal, agar anak didik mengenal bagaimana proses pembela pembelajaran nantinya akan diikuti, mengenal lingkungan sekolah, sarana prasarana sekolah dan pemanfaatannya, sistem pembelajaran, guru dan model pembelajarannya, serta daya dukung pembelajaran. Jika memakai prinsip tersebut, pelaksanaan MOS sebenarnya tidak ada masalah.

Kekerasan psikologis?
Namun, dalam praktik MOS di lapangan, sekolah dalam hal ini masih tetap melanggengkan budaya kekerasan pada anak didiknya. Kekerasan dalam bentuk halus, misalnya, anak didik baru diperintahkan mengenakan berbagai atribut yang tidak lumrah, seperti memakai topi dari koran bekas, menyandang tas dari `kantong gandum', dan memakai sepatu serta kaus kaki aneh. Dasar-dasar militeristis juga mulai diajarkan, seperti baris-berbaris dan penghormatan kepada senior dalam hal ini kakak kelas atau panitia MOS.

Pada kasus sebagaimana disebutkan, anak didik mengalami kekerasan yang disebut Ted Robert Gurr (2000) sebagai kekerasan yang timbul akibat deprivasi relatif. Saya menyebutnya sebagai perasaan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. 

Sebagaimana kita ketahui, kondisi psikologis siswa saat ini mengalami kemajuan yang amat pesat. Televisi terutama menyumbang hampir separuh perubahan persepsi. Anak didik sekarang lebih cepat dewasa sebelum waktunya.

Tujuan pihak sekolah memerintahkan anak didik memakai aneka atribut aneh mungkin baik. Namun, mereka lupa atau memang belum lupa--atau tahu--bahwa psikologis anak didik sekarang berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Sebagian besar siswa mungkin merasa malu mengenakan atribut itu! Karena takut mendapat sanksi jika tidak menuruti pihak sekolah, anak didik rela menjadi `badut' yang ditonton para seniornya. Perasaan malu bercampur takut sudah pasti membawa dampak tersendiri. Ada blocking--meminjam istilah Siti Fathimatuz Zahroh (2010)--emosi yang menyumbat tataran kongnitif mereka.
Perasaan benci, kesal, sebal, dan sebagainya mulai meng hambat penalaran mereka untuk belajar.

Belum lagi, jika MOS masih kental dengan upaya pen disiplinan. Istilah `disiplin' atau mendisiplinkan anak didik selama ini menjadi salah satu tameng bagi sekolah, khususnya para guru, dalam memberikan hukuman fisik. Padahal, berbagai bentuk hukuman fisik bisa membuat trauma siswa serta berakibat buruk bagi perkembangan psikologis siswa kelak.

Kasus kekerasan fisik dengan dalih pendisiplinan belum lama ini kembali terjadi dalam acara MOS di SMA Don Bosco, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Salah seorang siswa baru yang mengikuti MOS mengaku dipukul dan disundut rokok oleh kakak kelasnya. Meski kasus kekerasan dalam MOS di SMA Don Bosco sudah d ditangani pihak berwajib, seg genap insan pendidikan patut prihatin. Meski MOS sudah diupayakan minus kekerasan, pada praktiknya beberapa sekolah masih melanggengkan budaya mengebiri proses humanisasi anak didik itu.

Perlu Kerja Sama
Kasus kekerasan dalam MOS masih seperti gunung es. Artinya yang terjadi di SMA Don Bosco barangkali hanya sebagian kecil yang bisa terungkap. Di tempat lain, diduga juga masih terjadi. Data teranyar yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2012) berdasarkan survei di sembilan provinsi, yaitu Sumatra Barat, Lampung, Jambi, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur, dengan total responden 1.026 siswa, menyebutkan masih tingginya tindak kekerasan pada siswa. 

Survei yang dilaksanakan pada April 2012 itu menunjukkan 66,5% (628 anak) pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh guru, 74,8% (767 anak) pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman sekelas, dan sebanyak 56,3% (578 anak) pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman lain kelas selama MOS.

Guna meminimalkan tindak kekerasan pada anak didik itu, KPAI merekomendasikan agar pihak sekolah dan dinas pendidikan memastikan pelaksanaan MOS sesuai dengan tujuan pendidikan, serta bebas dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Kepala sekolah harus bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan MOS. Pihak Kemendikbud juga harus memberikan pendampingan dan pengawasan secara ketat. Masyarakat, termasuk wali murid dan komite sekolah, juga perlu berpartisipasi untuk mengontrol pelaksanaan MOS ini agar berjalan bagus, bermakna, sejalan dengan prinsip pendidikan, sejalan dengan prinsip perlindungan anak, dan terbebas dari kekerasan.

Akhirnya, kita berharap di masa yang akan datang MOS tidak menimbulkan penderitaan bagi anak didik. Bukan zamannya lagi masa MOS dijadikan sarana ‘balas dendam’ senior kepada junior, kekerasan dengan dalih pendisiplinan, eksploitasi, dan berbagai pungutan liar. Para guru harus menyadari persepsi awal anak didik tentang sekolah dan para gurunya akan berpengaruh pada kualitas belajar mereka. Selain itu, keengganan anak didik mempelajari sebuah mata pembelajaran yang diajarkan seorang guru akan berbuah pada tidak bertambahnya pengetahuan mereka terhadap mata pelajaran tersebut.

Sudah saatnya para guru dan stakeholder sekolah memahami bahwa esensi dasar pendidikan ialah wahana humanisasi anak didik melalui pembentukan jati diri dan prilaku dalam koridor kognitif (kecerdasan), afektif (sikap), dan psikomotorik (perilaku). Lingkungan, kurikulum, metode, dan kultur budaya merupakan unsur-unsur yang bertalian erat dengan outcome pendidikan itu sendiri.

Sekolah yang dikelola secara humanis, nirkekerasan, tanpa eksploitasi, dan pelaksanaan disiplin yang tidak kaku akan menciptakan iklim budaya yang nyaman.  Sekolah dengan budaya yang demikian akan melahirkan anak didik yang kaya akan perspektif humanisasi di samping berkarakter, bukan mereka yang beringas lantaran diedukasi dengan kekerasan. Mestinya, para stakeholder sekolah bisa memilih mana yang terbaik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar