Menggugat
Sistem Alih Daya
Rekson Silaban ; Anggota
Dewan Pengarah ILO
|
KOMPAS,
24 September 2012
Tiga
konfederasi buruh Indonesia KSBSI, KSPSI, dan KSPI dalam waktu dekat
akan menggelar demonstrasi buruh nasional menuntut perbaikan sistem kerja alih
daya. Buruh menganggap pemerintah tak serius membenahi praktik alih daya, outsource, dengan kian maraknya
penyimpangan terhadap UU No 13/2003.
Bertentangan dengan doktrin
neoliberal, pilihan sebuah pemerintah terhadap sistem alih daya bukanlah sebuah
konsekuensi yang tak terhindarkan, tetapi lebih menyangkut pilihan politik
pemerintah bersangkutan. Doktrin neoliberal berupaya menihilkan campur tangan
pemerintah dalam ekonomi. Namun, dalam hal alih daya, justru kapitalis meminta
pemerintah terlibat jadi fasilitator, membantu mereka mengeksploitasi buruh
dengan adanya izin alih daya yang dikeluarkan pemerintah.
Praktik alih daya memang sudah
eksis di semua negara, tetapi kebijakannya berbeda satu dengan yang lain. Arus
utama ekonomi pasar terbuka global telah memaksa sebuah negara memilih
keunggulan ekonomi yang dikembangkan untuk berkompetisi. Yang tak dimengerti
buruh: mengapa Indonesia masih memilih berkompetisi di upah buruh murah atau
lebih tepatnya mengapa pemerintah selalu lebih prokapitalis ketimbang proburuh?
Mengapa, misalnya, undang-undang di
Filipina, Thailand, dan Malaysia hanya mengizinkan penggunaan pekerja kontrak
selama enam bulan, tetapi Indonesia membuatnya bisa tiga tahun? Mengapa alih
daya bisa diizinkan ke semua jenis pekerjaan, sementara negara lain hanya
dibatasi secara ketat ke jenis pekerjaan tertentu? Mengapa penyimpangan alih
daya bisa dibiarkan merajalela tanpa tindakan hukum?
Kemarahan buruh sebenarnya
sudah di titik nadir melihat kenyataan ini.
Supaya
Adil
Supaya adil, mari kita bahas untung
apa yang didapat pemerintah dengan sistem alih daya. Dari beberapa pendapat
yang sering muncul, pemerintah percaya sistem alih daya akan mendorong
peningkatan lapangan kerja, mengurangi labor
cost, mendorong profesionalisme bisnis. Atas dasar itu, pemerintah perlu
membuat hukum ketenagakerjaan yang fleksibel supaya gampang menyesuaikan diri
dengan investasi global. Jadi, harus ada undang-undang yang membuat kemudahan
mem-PHK dan merekrut buruh. Semakin kecil biaya PHK, semakin bagus mendorong
investasi baru.
Alasan lain adalah pengalaman pahit
krisis ekonomi yang selalu terjadi secara tiba-tiba, sangat menyulitkan
pengusaha karena membayar mahal pesangon buruh. Akhirnya pilihan yang baik
adalah membuat bisnis yang tidak memiliki aturan ketat, tapi bisa menghasilkan
keuntungan cepat dan selanjutnya diharapkan menciptakan lapangan kerja baru.
Benarkah skenario di atas berjalan
sesuai dengan harapan? Jawabannya: tidak! Data statistik Indonesia
mengonfirmasi data yang bertentangan. Hampir sepuluh tahun terakhir sejak UU No
13/2003 berlaku, ternyata tidak terjadi perubahan nyata pada lapangan kerja.
Jumlah pekerja informal tetap
tinggi (67 persen), jumlah pekerja alih daya terus meningkat melebihi pekerja
tetap, pengangguran terselubung (bekerja di bawah 35 jam per minggu) terus
membengkak, peserta Jamsostek hanya 9 juta dari 33 juta buruh formal, ketimpangan
upah antara pekerja tetap dan kontrak melebar, serta Rasio Gini (mengukur
ketimpangan pendapatan) meningkat dari 0,33 (2003) menjadi 0,41 (2011).
Yang paling diuntungkan dari sistem
alih daya hanyalah pebisnis alih daya ka- rena tanpa perlu menjadi pengusaha
mereka bisa menjadi pelaku bisnis dengan ”memperjualbelikan buruh”. Status
mereka pun tak jelas dalam kerangka hukum ketenagakerjaan. Dalam relasi
tradisional hubungan kerja, hubungan kerja terjadi karena tiga hal: ada
pekerjaan, perintah kerja, dan upah. Pihak yang terlibat pun hanya ada dua:
pengusaha dan buruh. Namun, dalam sistem alih daya, pelaku menjadi tiga pihak:
pengusaha pemberi kerja, agen alih daya, dan buruh.
Buruh tidak lagi digaji langsung
oleh pemberi kerja, tetapi oleh pihak lain yang sebenarnya tak memiliki
pekerjaan. Biasa disebut majikan tanpa tempat kerja, pihak ketiga ini bisa dari
badan koperasi, bisnis pelatihan, yayasan, LSM, serikat buruh, atau usaha
terselubung aparat disnaker. Keuntungan didapat dari selisih gaji yang dibayar
pengusaha pemberi kerja dengan gaji yang dibayar ke buruh.
Untuk mendapat keuntungan maksimum,
modus operandi agen penyalur ini dilakukan dengan cara: tak membayar gaji
layak, jika perlu di bawah upah minimum, berusaha tidak ikut program Jamsostek,
tidak perlu memberikan pelatihan kerja, tidak ada bonus, tidak bayar pesangon,
antiserikat buruh, dan tidak memiliki perjanjian kerja bersama.
Akibatnya, muncul ketidakjelasan
tentang siapakah majikan buruh sesungguhnya? Buruh direkrut oleh agen, tetapi
di- suruh bekerja di perusahaan lain. Mereka melakukan pekerjaan yang sama
dengan buruh lain, tetapi mendapatkan gaji dan fasilitas yang lebih rendah.
Secara terbuka, mereka mengalami diskriminasi upah di tempat kerja, padahal
Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 111 tentang upah yang sama
untuk pekerjaan yang sama.
Dampak diskriminasi ini tak
main-main. Buruh sulit merencanakan kapan kawin, punya anak, punya rumah, dan
menabung akibat ketidakpastian kerja dan hilangnya kesempatan membangun karier.
Ambisi pengusaha alih daya untuk mendapat keuntungan cepat membuat kondisi
kerja biasanya buruk, jam kerja panjang, target kerja berlebihan, dan tekanan
psikologis berat. Apalagi petugas pengawas ketenagakerjaan biasanya jarang
mengawasi agen alih daya karena pemilik sering berada di luar wilayah
pengawasannya.
Jika dianalisis secara praktis,
alih daya hanya menguntungkan segelintir pelaku bisnis serakah. Pemerintah
jangan berpi- kir akan diuntungkan dengan munculnya pajak dari badan usaha baru
alih daya ka- rena dari segi pendapatan pajak, pemerintah pasti akan lebih
banyak mendapat Pajak Penghasilan sebelum buruh dialih daya ketimbang setelah
dialih daya. Sebab, pebisnis alih daya selalu menjaga agar upah yang diberikan
tak sampai melewati batas pendapatan tidak kena pajak.
Untung
Jika Membatasi
Namun, apa untungnya jika
pemerintah membatasi alih daya? Pengalaman internasional mengonfirmasi bahwa
buruh yang dilindungi dengan pekerjaan pasti akan memiliki akses mendapat
jaminan sosial, akses menuju upah layak. Selanjutnya, itu akan menyumbang pada
terjadinya peningkatan konsumsi, peningkatan tabungan jaminan sosial yang bisa
menjadi sumber pembiayaan ekonomi bangsa, terhindar dari kesenjangan upah dan
penurunan Rasio Gini, serta buruh lebih produktif.
Negara juga akan lebih tahan
mengha- dapi gejolak krisis ekonomi. Namun, eskalasi alih daya yang tidak
terkontrol akan membuat buruh rentan terhadap kemiskinan, gampang terimbas
krisis ekonomi, gampang tersulut dalam peristiwa konflik sosial sebab seperti
yang dilansir studi ILO, dalam masyarakat yang tinggi praktik precarious kerja,
cenderung menghasilkan kehidupan yang rawan dan selanjutnya menciptakan
masyarakat yang rawan. Sebaliknya, jika buruh memiliki kepastian kerja, sistem
kerja tanpa diskriminasi akan menyumbang pada terciptanya masyarakat yang
tenang.
Alih daya seharusnya hanya
diizinkan secara terbatas dengan banyak hambatan.
Beberapa negara secara jelas
sudah menetapkan jenis pekerjaan yang diizinkan dialih daya, menetapkan batas
maksimum jumlah buruh yang bisa dialih daya suatu perusahaan, melarang
kompetisi dalam upah rendah, mensyaratkan upah yang lebih tinggi untuk buruh
kontrak dan alih daya, serta kebijakan adil lainnya.
Indonesia juga seharusnya bisa
mela- kukan hal yang sama sebab sudah banyak masukan yang diberikan kepada
pemerintah. Adanya keberatan atas besarnya pesangon sebagai pemicu alih daya
bisa diperdebatkan dan dicari solusinya.
Jangan terjebak berpikiran TINA (There Is No Alternative),
tapi berpikirlah seperti AWIP (Another
World Is Possible). Pelajaran atas revolusi di Mesir, Tunisia, Libia, dan
pergantian kekuasaan di Italia, Perancis, Spanyol, dan Yunani seharusnya jadi
pelajaran untuk semua pemerintah bahwa awal dari pergolakan rakyat yang
berujung pada pergantian rezim bermula dari masalah pekerjaan! ●
Paragraph 14: "...serta buruh lebih produktif". mohon disertai riset di lapangan dan tampilkan data. Daripada Anda memprotes pemerintah seperti ini, lebih baik Anda pikirkan bagaimana supaya meningkatkan kualitas buruh, meningkatkan employability mereka.
BalasHapus