Senin, 24 September 2012

Melawan dengan Tak Menonton Filmnya


Melawan dengan Tak Menonton Filmnya
Sirikit Syah ;  Pakar Media Massa
JAWA POS, 24 September 2012


SEBAGAIMANA peristiwa 9/11, sekali lagi, para pemfitnah berhasil mengadu domba antara Barat dan Islam. Peristiwa 9/11 yang memicu penjajahan modern di beberapa negara Timur Tengah sampai sekarang masih menyimpan tanda tanya tentang siapa dalang di balik itu. Para aktor atau pelaku sudah tewas dalam melaksanakan "tugas"-nya. Yang dikambinghitamkan sudah hancur lebur (Iraq, Afghanistan, kaum muslim tak berdosa di Guantanamo). 

Namun, siapa yang diyakini sebagai dalang dan mengapa itu terjadi tidak pernah terungkap sampai sekarang. Selain menuduh Bin Laden dan kaum fundamentalis Islam, tak sedikit orang yang menyangka itu pekerjaan Mossad atau bahkan pemerintahan Bush sendiri. Secara teknik dan kasat mata, memang tidak masuk akal/logika bahwa gedung sekukuh itu runtuh dengan rapi bila hanya ditabrak sebuah pesawat.

Kini, seorang yang konon keturunan Yahudi dan berwarga negara AS berhasil memprovokasi kemarahan umat Islam sedunia dengan membuat film yang sangat menghina Islam, kemudian dia bersembunyi (sebelum akhirnya ditangkap). Sebagian dari kita tentu penasaran dan sangat ingin menonton filmnya. Menurut saya, jangan tonton filmnya. Kalau kita menonton filmnya, kita membantu popularitas sang pemfitnah. Apalagi kalau kita kemudian marah-marah, kita berhasil dipancing olehnya. Sedih, korban tewas terus berjatuhan dalam protes.

Apakah The Innocence of Muslims film yang bagus dan layak tonton? Tentu saja tidak. Film itu dibuat dengan iktikad buruk, lalu prosesnya penuh tipu muslihat. Para aktor dan pekerjanya dibohongi. Bahkan, setelah syuting selesai, proses editing penuh manipulasi gambar dan narasi, bahkan dubbing. Saat ini, para awak film sedang depresi berat karena merasa dibohongi dan terancam oleh kemarahan umat muslim. Sementara itu, sang dalang lari, lalu sempat bersembunyi karena dia seorang pengecut. 

Saya berharap, mudah-mudahan fakta bahwa si pembuat film adalah pembohong, manipulatif, dan tukang fitnah mulai disadari, terutama oleh awak filmnya sendiri. Perasaan tertipu, terancam, tertekan akan membuat mereka kehilangan respek terhadap pembuat film, bahkan mungkin akan menggugat. Lebih jauh dari itu, masyarakat luas yang menyadari bahwa film tersebut dibuat dengan tipu muslihat, bertentangan dengan kaidah karya seni yang harus penuh kejujuran, akan berbondong-bondong bersimpati kepada Islam sang korban fitnah. 

Mungkin masyarakat dunia kemudian belajar lebih dalam tentang Islam. Mereka akan menemukan bahwa bukan Islam yang mengacaukan dunia; tidak membunuhi kaum Indian, tidak memperbudak bangsa Afrika, tidak membasmi orang Yahudi, tidak menyingkirkan kaum Aborigin, tidak mengebom Hiroshima dan Nagasaki, tidak memulai perang di mana pun. Bahkan, Jerusalem ketika di bawah penguasaan Islam adalah kota multietnis dan multiagama yang damai. Orang akan belajar bahwa Islam tidak pernah menciptakan musuh. Namun, bila musuh datang, memang Islam tidak pernah lari, tetapi melawan dengan gagah berani.

Free Speech Bukan Hate Speech 

Menurut saya, umat Islam di seluruh dunia berhak marah meski tak harus dengan vandalisme atau kekerasan. Bangsa Yahudi juga boleh marah ketika dikatakan bahwa Holocaust cuma khayalan dan siapa pun yang berani berkata demikian di negara-negara Eropa akan dihukum karena menyebarkan kebencian dan kabar bohong.

Umat Islam memang tak seharusnya memperluas rasa kemarahan kepada segala sesuatu yang berbau Amerika. Sekali lagi, menurut saya, bangsa Amerika juga menjadi korban fitnah dari film ini. Warganya, bahkan seorang duta besarnya, telah menjadi korban. Sang pemfitnah ingin bereksperimen "adu domba" untuk menegaskan teori Huntington bahwa ada clash between civilizations, dalam hal ini antara budaya Barat dan budaya Islam, lebih konkretnya antara bangsa Amerika dan kaum muslim. Baik umat muslim maupun bangsa Amerika tidak perlu terprovokasi.

Hal termudah melawan rasa kebencian (hatred) adalah dengan tidak memedulikannya. Tidak usah menonton filmnya. Namun, saya juga kecewa kepada Hillary Clinton, menteri luar negeri AS, yang mengatakan bahwa kebebasan berekspresi perlu dilindungi. Si pembuat film tukang fitnah dan karyanya, menurut teori Hillary, harus dilindungi. 

Lalu, mengapa hak media massa yang mengabarkan fakta (bukan fantasi) tentang perilaku tak patut pangeran Inggris harus dikebiri? Ada imbauan agar ekspose gambar telanjang sang pangeran dihentikan demi rasa hormat. Padahal, itu fakta, bukan khayalan. Suatu bukti standar ganda yang tak adil terhadap Islam. Pangeran Inggris tak boleh dilecehkan, tetapi Nabi Muhammad dan Quran boleh.

Hillary Clinton juga lupa bahwa hate speech yang dilarang dalam hukum Amerika termasuk dalam hal karya seni. Ursula Owen, dalam artikelnya di website Media Watch, The Speech that Kills (2001), menyimpulkan bahwa hate speech, pernyataan kebencian, dapat menghina, menyerang, melecehkan, dan bahkan menyebabkan orang saling membunuh. Hate speech kills, demikian tulisnya. Oleh sebab itu, harus ada batasan atas free speech dan batasan tersebut adalah toleransi dan rasa hormat kepada sesama.

Kita kaum muslim di seluruh dunia berharap agar bukan hanya muslim yang marah yang diimbau untuk bersabar, tetapi akar persoalan harus diselesaikan. Akar persoalannya adalah ditoleransinya rasa fobia dan prasangka terhadap Islam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar