Prostitusi
Politik
Dedi Mulyadi ; Bupati Purwakarta, Jawa Barat
|
MEDIA
INDONESIA, 22 September 2012
PARTAI
politik (parpol) terlahir dari tuntutan kehidupan ketatanegaraan, yang merupakan
bagian dari ekspresi demokrasi untuk mengakomodasi hasrat politik ideologis
sekaligus manifestasi landasan berpikir filosofis atas cita-cita ideal terhadap
keyakinan agama, kebangsaan, sosialisme, dan bahkan komunisme. Sentimen politik
ideologis melahirkan heroisme politik yang diwarnai semangat membangun
cita-cita kebangsaan, dalam nalar ideologi yang diyakininya, baik atas nama
Tuhan, persatuan, maupun keadilan. Sejarah panjang politik ideologis telah
mampu membangun sistem rekrutmen kader politik, dan menata semangat barisan
kaum ideolog dengan semangat atas nama jihad, keadilan, dan perubahan.
Reformasi
politik telah melahirkan sistem kepartaian terbuka. Sistem politik dibangun
untuk memberikan ekspresi terhadap cita-cita individual dan komunal yang
menjadi garis dan pandangan hidup dalam memahami semangat kebangsaan. Ruang
terbuka demokrasi pada awalnya menjadi harapan yang terhampar luas bagi
masyarakat tentang mimpi negara yang berkeadilan, selaras dengan cita-cita para
pendiri bangsa. Namun, pada kenyataannya momentum demokrasi kepartaian terbuka
mengalami kebuntuan dalam mengakselerasi harapan masyarakat, yang diwujudkan
dalam pengambilan keputusan strategis. Pengambilan keputusan strategis itu
semestinya menjadi tangga cinta untuk mewujudkan harapan masyarakat tentang
`mimpi indah kemakmuran' di negeri berkeadilan. Namun, pada realitasnya hal itu
mengalami distorsi karena hawa nafsu kepentingan yang bersifat jangka pendek.
Parpol
tersandera dalam mengekspresikan hasrat politik ideologis, yang pada
realitasnya pragmatisme politik lebih mendominasi kultur politik yang
berkembang pada saat ini. Pada satu sisi kader partai harus mengartikulasi
tuntutan publik terbuka, sebagai bagian dari sistem pemilu semidistrik. Pada
aspek lain kader partai memiliki ketertundukan pada `pimpinan partai', atas
nama pemegang mandat organisasi tertinggi.
Politik Prostitutif
Dilema
tersebut melahirkan ekspresi politik terukur sehingga sehebat apa pun argumen
ideologis pada akhirnya akan berlabuh pada keputusan politik pemilik otoritas
kepartai an. Ritme politik ter ukur melahirkan irama politik senada sehingga
ujung dari semua perdebatan akan sangat mudah diterka ke mana larinya. Hal
tersebut dalam jangka panjang akan melahirkan kejenuhan karena logika politik
ideal yang merupakan inspirasi ilahiah, yang melahirkan warna indah dalam
sistem kenegaraan berubah menjadi pesanan yang dilogikakan sehingga menjadi
episode drama politik yang menjenuhkan.
Penantian
yang terlalu panjang pada reformasi atas nama keadilan telah melahirkan
kefrustrasian politik pada akar rumput, masyarakat yang lapar dan jenuh tidak
lagi tertarik pada visi politik argumentatif yang tak mampu mengenyangkan perut
mereka. Publik tidak mau lagi memercayai karena babak akhir pertunjukan
retorika sudah mampu mereka baca akan ke mana perginya.
Pada
saat ini masyarakat lebih memilih siapa yang bisa memenuhi kebutuhan mereka
hari ini. Aspek logis dari hal tersebut lahirlah politik transaksional
material, mulai politik uang, politik bahan bangunan, politik beras, politik mi
instan, sampai politik sarana dan prasarana ibadah. Transaksi manual yang hari
ini menjadi budaya politik proletar akan melahirkan sistem `politik
prostitutif'.
Sistem
politik prostitutif lahir dari semangat hubungan politik yang tidak dilandasi
pernikahan politik atau pertautan rasa sebagai bagian dari kultur politik
beradab.
Hubungan kasih sayang politik akan melahirkan sistem negara dengan semangat cinta karena pemegang otoritas memiliki utang rasa kepada konstituennya untuk mewujudkan impian dan harapan pemilihnya. Sebaliknya, politik tanpa pernikahan akan melahirkan politikus hidung belang, yang akan memberi penyedia jasa suara tanpa nurani tanpa memiliki keterikatan emosional, kecuali hanya untuk menyalurkan hasrat biologis politik untuk kepuasan sesaat. Muara prostitusi politik baik terselubung maupun terbuka akan melahirkan wabah penyakit dan kebangkrutan politik nasional.
Hubungan kasih sayang politik akan melahirkan sistem negara dengan semangat cinta karena pemegang otoritas memiliki utang rasa kepada konstituennya untuk mewujudkan impian dan harapan pemilihnya. Sebaliknya, politik tanpa pernikahan akan melahirkan politikus hidung belang, yang akan memberi penyedia jasa suara tanpa nurani tanpa memiliki keterikatan emosional, kecuali hanya untuk menyalurkan hasrat biologis politik untuk kepuasan sesaat. Muara prostitusi politik baik terselubung maupun terbuka akan melahirkan wabah penyakit dan kebangkrutan politik nasional.
Tanpa Genetik Ideologi
Aspek
yang kita rasakan hari ini, parpol mengalami stagnasi dalam rekrutmen
kepemimpinan. Kader partai hadir secara mendadak tanpa mengalami penjenjangan
pengaderan yang matang dan optimal. Pada sisi yang lebih ekstrem kader politik
terlahir tanpa memiliki kejelasan genetika politiknya, yang dengan kata lain
dilahirkan dari berbagai genetic ideology.
Kerangka penguatan nilainilai ideologi kepartaian tidak lagi menjadi skala
prioritas pembentukan watak kader. Pilihan kemampuan finansial dan popularitas
lebih mendominasi dalam rekrutmen dan penempatan kader politik sehingga
bermuara pada melemahnya visi dan misi kepartaian dalam pergulatan politik
kebangsaan.
Peran
kaum filsuf sebagai sumber inspirasi ideologi yang memberikan warna dalam
setiap pengambilan keputusan-keputusan politik kini diambil alih oleh lembaga
survei komersial yang memiliki peran cukup signifikan untuk memenangkan dalam
setiap pertarungan politik. Hak para dukun atau juru ramal bahkan kini sudah
tidak memiliki tempat lagi karena argumentasi mistik dikalahkan analisis ilmiah
para penyurvei yang didukung kekuatan media.
Pada
saat ini identitas personal kader partai nyaris tidak terlihat karena hampir
memiliki visi dan cara kerja yang sama di dalam mengartikulasi nilai-nilai
politik. Yang membedakan kader partai yang satu dengan yang lainnya hanya pada
aspek-aspek aksesori seperti warna, pakaian, dan pin yang digunakan.
Ada
aspek positif yang dapat kita petik dari biasanya nilai ideologi kepartaian,
yaitu hampir tidak terdengarnya konflik antarpartai politik baik di tingkat
elite maupun tingkat akar rumput sehingga politik berjalan begitu harmonis.
Namun, konflik politik justru terjadi pada internal partai politik tersebut
karena rivalitas dalam berbagai posisi strategis partai yang melahirkan
pergumulan politik internal tanpa henti yang bermuara pada terbentuknya
partai-partai politik yang baru.
Parpol
pada saat ini mengalami metamorfosis seiring dengan perubahan kultur dunia dan
kultur kebangsaan dari watak pertarungan ideologi pada watak politik
kesejahteraan. Parpol kini tumbuh dan berkembang bukan lagi perkumpulan para
ideolog yang direkrut dari padepokan organisasi masyarakat hasil penempaan
melalui berkali-kali training kepemimpinan baik yang bersifat struktur maupun
kultur dengan ciri berbadan kurus, berambut kusut, dan bermata merah karena
kurang tidur. Namun, saat ini parpol menjadi kumpulan orang yang punya modal
yang tentunya memiliki penampilan trendi dengan berbagai perangkat kapital.
Dalam
proses pertarungan politik baik pemilihan presiden, gubernur, bupati dan wali
kota serta pemilihan anggota parlemen di setiap tingkatan, hasrat untuk
memenangi pertarungan politik tidak lagi diwarnai dengan kemampuan ideologis.
Itu justru diukur dengan seberapa besar kemampuan modal untuk menggerakkan
orang.
Pada
akhirnya ketika publik bertanya kapankah kemakmuran itu akan ada, jawabannya, “Tunggu lima tahun ke depan.“ ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar