Kembalikan
Olahragaku
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
24 September 2012
Sebagai manusia, selain
mensyukuri diri sebagai salah satu mukjizat Tuhan di antara 6,5 miliar umat
lain, dengan berkah ajaib berupa badan, pikiran, dan perasaan, saya merasa
menjadi manusia yang sangat—oh, sangat—berbahagia.
Berbahagia karena hidup di
masa yang melahirkan tokoh-tokoh atau atlet olahraga dengan prestasi terbesar
sepanjang abad. Hidup menjadi begitu indah dan sangat berharga diperjuangkan
ketika mengapresiasi sukses dan disiplin hidup tokoh-tokoh besar itu, dari
Michael Schumacher, Garry Kasparov, Paolo Rossi, Manuel Pacquiao, Michael
Phelps, Usain Bolt, Tiger Woods, Roger Federer, hingga Sergei Bubka.
Tentu saja saya tidak
mengabaikan LAM Cuccitini alias le saint atau ”The Saint” Messi (25),
pesepak bola terhebat—yang masih akan terus mencetak rekor— dunia dan diyakini
akan menempati puncak sejarah sepak bola, menggusur dua legenda hidup: Pele dan
Maradonna.
Messi bukan sekadar kisah
sukses anak buruh pabrik besi dan ibu pembersih rumah yang kemudian menjulang
dengan kekayaan Rp 1 triliun, tetapi juga sukses seorang anak yang dengan gigih
mengatasi penyakit defisiensi hormon pertumbuhan menjadi prestasi membanggakan
seorang anak jalanan.
Lionel alias ”Leo” kini
pemilik yayasan dunia yang membantu anak-anak dengan kesulitan fisik. Ia
menjadi puisi di tengah prosa sepak bola yang dipadati tenaga, kecepatan, dan
kekerasan. Ia yang selalu tengadah penuh syukur di setiap golnya.
Tak hanya Messi, semua nama
di atas adalah inspirasi, teladan, dan acuan siapa pun yang memiliki ambisi dan
ingin meraih prestasi. Juga kita, para pencinta, penikmat, dan pekerja olahraga
Indonesia. Namun mengapa, di zaman saat kecerdasan, teknologi, sains, dan uang
tersedia untuk memungkinkan lahirnya atlet-atlet besar, kita justru menyaksikan
atlet-atlet di cabang-cabang unggulan dan populer kita runtuh satu per satu?
Kita menyaksikan
berkali-kali penyelenggaraan pesta olahraga yang sangat buruk, penyia-nyiaan
atlet, perseteruan antar-pengurus, hingga keterlibatan politik dan militer yang
berbeda passion dalam kepengurusan olahraga.
Degradasi Percaya Diri
Tampaknya, selain banyak hal
yang harus dihidupkan kembali dengan keras dan sungguh-sungguh, ada banyak hal
juga yang harus kita sudahi.
Untuk persoalan pertama,
kita tampaknya sepakat menghidupkan kembali apa yang belakangan meredup dalam
kehidupan berolahraga nasional kita: rasa bangga, kepercayaan diri sebagai
manusia dan bangsa Indonesia. Sebuah persoalan yang berkait dengan kinerja,
dengan kualitas dan puncak-puncak pencapaian (prestasi) bangsa dan negara.
Selama sekitar tiga dekade,
sejak dasawarsa kedua pemerintahan Soeharto, kita mengalami semacam degradasi
moral karena kenyataan dalam negeri seolah memojokkan diri kita ke sudut gelap
kerendahan diri. Eksistensi dan integrasi diri begitu rapuh, tak tegak, bahkan
hanya untuk menghadapi harapan.
Para pemimpin dan elite
negeri ini tidak menjalankan obligasinya, tetapi malah mengkhianati,
memperdaya, dan mengeksploitasi publik yang telah memberi kepercayaan dan
fasilitas hidup melimpah. Maka rakyat, juga atlet, tidak lagi memiliki passion,
gairah, untuk ”memeras keringat”, apalagi ”bertumpah darah” menciptakan
prestasi untuk negeri. Apalagi jika prestasi itu kemudian dimanipulasi untuk
kepentingan portofolio para pemimpin yang korup.
Rasa rendah diri yang meluas
ini mesti disudahi, rasa bangga dan percaya diri mesti dipulihkan. Apa boleh
buat, pemimpin dan elite yang menjadi ”biang kerok” harus berubah. Dalam slogan
pendek: jadilah pemimpin sejati, bukan pencuri. Pencuri yang merampok wewenang,
hak, bahkan harta rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Di samping dunia
seni/hiburan, olahraga adalah bidang hidup yang sangat seksi, yang dengan cepat
dan mudah mengisap perhatian publik. Ia adalah senjata, arsenal kebudayaan yang
ampuh, bahkan untuk menaklukkan pesaing (negara lain) dalam nilai, moralitas,
bahkan eksistensi.
Kemunduran, apalagi
kebobrokan prestasi dan kepengurusan dunia olahraga sebenarnya menjadi salah
satu cermin dari realitas prestasi bangsa ini. Lihatlah Olimpiade London
kemarin, atau sebelumnya di Seoul, Beijing, atau penyelenggaraan hampir semua
Piala Dunia sepak bola. Semua hajatan sportif itu bukan hanya milik komunitas
sportif, melainkan juga seluruh elemen bangsa. Menjadi tugas utama negara dan
pemerintah.
Sebuah hajatan sportif,
lepas dari unsur finansial-komersial, bahkan catatan rekor yang diraih,
berposisi sebagai teras terdepan representasi kualitas bangsa. Penyelenggaraan
dan kepengurusan yang sembrono, dengan konflik kepentingan antar-pengurus atau
keterlibatan politik yang banci, identik dengan pengkhianatan terhadap sejarah
dan kebudayaan yang ribuan tahun dibangun nenek moyang dan menjadikan kita
bangsa.
Introspeksi
Becermin dari pencapaian
dalam Olimpiade London, SEA Games
di Palembang, dan penyelenggaraan PON di Riau, kita bersama makin tak punya
alasan adekuat untuk tegak berdiri di teras depan rumah kita. Tidak ada muka untuk
berhadapan dengan tetangga atau tamu yang datang.
Olahraga mungkin sudah
mendapat porsi perhatian selayaknya dengan adanya satu pos kementerian dalam
beberapa kabinet belakangan ini. Maka, jika olahraga terus-menerus menjadi
sumber kekecewaan kita, tidak lain bukan karena kekurangan atlet hebat, bukan
pula karena kurangnya pendukung yang dahsyat. Namun, semata karena manajemen
buruk oleh orang-orang yang tidak layak di tempat itu.
Salah satu penyebab adalah
tradisi peralihan kuasa organisasi olahraga yang masih mengikuti pola Orde
Baru: didominasi pejabat politik dan militer. Dalam proses pemilihan Ketua Umum
PBSI saat ini, misalnya, disinyalir semacam konspirasi politik-militer saat
Djoko Suyanto (jenderal dan Menko Polhukam) dengan mudah mewariskan jabatan
kepada rekan kabinetnya, Gita Wirjawan (Menteri Perdagangan). Seolah jabatan
sportif itu kongruen dengan posisi
dalam organisasi politik terkait kekuasaan dan uang.
Olahraga harus dikembalikan
kepada profesional. Satu hal yang saya kira justru ada dalam militer.
Organisasi militer apa pun, mau menyerahkan kerja dan prestasi profesional di
bawah pimpinan nonmiliter, atlet apalagi? Marilah kita sportif dan jujur.
Organisasi ulama harus
dipimpin ulama, organisasi ilmiah oleh akademisi, kesenian oleh seniman. Lalu,
kenapa olahraga tidak bisa dipimpin oleh pekerja olahraga (atlet dan pelatih)
yang gairah, darah, dan air matanya tumpah hanya untuk olahraga?
Saya bukan pendukung Icuk
Sugiarto dalam kasus PBSI. Namun, nama terakhir itu menghabiskan hampir seluruh
hidupnya untuk bulu tangkis. Ia berpengalaman dalam organisasi, tahu benar
seluk-selingkuh olahraga, bulu tangkisnya. Semua hanya untuk perbandingan
dengan Gita Wirjawan, yang mohon maaf, bukan bandingan profesional macam Icuk,
Utut Adianto di catur, dan Lukman di angkat berat.
Tentu saja dibutuhkan
kapasitas lain untuk menjadi pemimpin organisasi olahraga: kemampuan
manajerial, diplomasi, koneksi, dan finansial. Namun, kapasitas-kapasitas
terakhir ini ternyata tidak bermakna dalam mendongkrak prestasi olahraga tanpa
diintegrasikan dengan kualitas-kualitas sportif pekerja olahraga. Apa yang
terjadi belakangan dalam dunia olahraga menjadi pelajaran.
Roh Berbeda
Olahraga sudah menjadi
permainan politik, bahkan untuk kepentingan politik itu sendiri. Menjadi kacau
karena roh dan geregetnya berbeda. Olahraga tidak bisa dikelola dengan
manajemen politik di mana konflik menjadi salah satu kepastiannya. Seperti
dinyatakan Vicente del Bosque, sukses
sepak bola Spanyol karena ia dipraktikkan dengan semangat kekeluargaan.
Siapa tak memahami, jika
semangat kekeluargaan pula yang sesungguhnya menjadi identitas kita sebagai
bangsa. Maka, melihat kegagalan kita, dengan semangat kekeluargaan, kejernihan,
dan kejujuran, saya merasa tepat meminta penanggung jawab politik utama dalam
kerja ini, Menteri Pemuda dan Olahraga, untuk mundur saja. Segera.
Dalam kekeluargaan memang
ada pemakluman, sedikit permisif, dan toleransi. Namun, dalam keluarga juga ada
adekuasi, kekesatriaan, kejujuran, dan keikhlasan.
Maka, Saudara Menpora, juga para elite kepengurusan olahraga yang hanya
mementingkan diri dan golongan sendiri, cukuplah bagi bangsa ini berterima
kasih. Silakan mundur dengan kesatria agar harkat dan martabat Anda tetap mulia.
Izinkanlah
yang lebih profesional dan berhasrat kuat memikul tanggung jawab yang
sesungguhnya tidak lebih remeh dibandingkan kementerian lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar