Belajarlah
dari Sejarah Otoritarianisme
Hariyono ; Guru Besar dan
Dekan Fakultas Sosial Universitas Negeri Malang,
Doktor di bidang Ilmu Sejarah Politik
|
SINAR
HARAPAN, 24 September 2012
Dalam usaha perjuangan reformasi
membangun sistem demokrasi yang bebas dari penyakit sosial kolusi, korupsi, dan
nepotisme (KKN), tatanan demokrasi kini menghadapi ancaman struktural yuridis.
Ancaman tersebut adalah munculnya
RUU Keamanan Nasional yang kini sedang dibahas DPR. Beberapa pasal dari RUU
tersebut cukup membahayakan demokrasi sekaligus keamanan masyarakat madani.
Sebagai contoh, pasal krusial,
ancaman tersebut dapat dilihat pada Pasal 17 yang menempatkan ancaman yang
sangat luas. Ancaman tersebut meliputi ancaman militer, bersenjata dan tidak
bersenjata. Dalam penjelasan pasal 17 “diskonsepsional perumusan legislasi dan
regulasi” sebagai ancaman nasional.
Penjelasan pasal ini jelas dapat
membahayakan perdebatan yang terbuka jajaran legislatif dalam membahas dan
menyusun peraturan perundang-undangan. Mereka dapat dengan mudah dituduh
melakukan diskonsepsional oleh pihak yang mendapat kewenangan dalam RUU
Keamanan Nasional.
Contoh lain yang cukup mengancam
kehidupan masyarakat madani adalah Pasal 54 tentang pengawasan. Jenis-jenis
pengawasan yang variatif berpeluang menciptakan benturan kepentingan
antarlembaga negara. Pada penjelasan Huruf e Pasal 54 Dewan Keamanan Nasional
diberi hak melakukan penyadapan, pemeriksaan, penahanan, dan pemaksaan lain
pada seseorang yang dicurigai.
Kondisi tersebut perlu diwaspadai
masyarakat pendukung demokrasi. Dalam tulisan ini, penulis tidak mengaitkan
dengan naskah akademik RUU Kamnas dan pasal-pasal yang belum menjadi wacana
publik. Penulis hanya mengajak untuk mengingat kembali pengaruh penerapan
undang-undang yang mirip RUU Kamnas terhadap kehidupan demokrasi dan kehidupan
masyarakat madani.
Hal ini menarik karena kita
sebagai bangsa cenderung mudah lupa terhadap peristiwa masa lampau.
Konsekuensinya mudah melakukan kesalahan yang berulang akibat tidak dapat
mengambil hikmah dari peristiwa masa lampau.
Terbelenggu Otoritarianisme
Sejak awal, para pendiri bangsa
berusaha membentuk suatu negara bangsa yang modern. Mayoritas anggota PPKI
lebih memilih sistem pemerintahan yang demokratis, bukan monarki. Pilihan
tersebut didasarkan pada pengalaman riil bahwa selama pemerintahan monarki,
rakyat Nusantara tidak pernah memiliki kedaulatan.
Kemerdekaan yang diperjuangkan
tidak hanya kemerdekaan negara dari kolonialisme dan imperialisme, melainkan
juga kemerdekaan manusia-manusia Indonesia dari segala bentuk penindasan.
Ironisnya, dalam perjalanan
sejarah proses mengelola kehidupan kenegaraan, Indonesia pernah terjebak pada
sistem otoritarianisme. Pilar kehidupan demokrasi, mulai dari keberadaan
legislatif, posisi partai-partai politik, hingga kebebasan berserikat dan
mengutarakan pendapat menjadi sangat terkungkung.
Kondisi tersebut terjadi sejak
diterapkannya keadaan bahaya pada 14 Maret 1957. Dasar hukum yang digunakan adalah
regulasi peninggalan pemerintah kolonial Belanda, yaitu regeeling staat van Orloog en van Beleg (SOB).
Dasar hukum tersebut pernah
diganti dengan diberlakukannya UU No 74 Tahun 1957 yang relatif lebih
demokratis dan pada 1959 diganti lagi dengan Perppu No 23 Tahun 1959 yang lebih
represif.
Pengaruh penerapan keadaan bahaya
terhadap tatanan demokrasi dan kehidupan masyarakat madani cukup sistemik.
Kekuatan politik yang sebelumnya didominasi parlemen dan partai-partai politik
bergeser pada presiden dan militer, khususnya AD.
Parlemen dan partai-partai
politik yang sebelumnya mengendalikan militer terbalik dikontrol dan
dikendalikan militer. Pers yang sejak masa revolusi dan demokrasi liberal
leluasa berkiprah mulai dikontrol kekuatan militer.
Konsekuensi makin dominannya
militer menyebabkan supremasi sipil sebagai salah satu prinsip demokrasi
lumpuh. Pelbagai kebijakan pemerintah lebih banyak memperhatikan tekanan
sekaligus kepentingan militer.
Militer menjadi kekuatan yang
dominan dalam bidang birokrasi, politik, dan ekonomi. Sebaliknya, partai-partai
politik tidak lagi dapat menjadi kekuatan yang mandiri. Wibawa partai politik
telah merosot tajam.
Keberhasilan militer
menyelesaikan pemberontakan PRRI dan Permesta, dan kemudian menggalang dukungan
untuk merebut kembali Irian Barat, meningkatkan prestise politik. Melalui usaha
operasi keamanan yang gencar dilakukan, ada alasan untuk mengajukan anggaran
pada pemerintah.
Lebih dari 70 persen anggaran
negara sejak 1957 hingga 1963 tersedot untuk biaya operasi keamanan. Kondisi
ini menyebabkan pembangunan di luar sektor keamanan terbengkalai. Penggunaan
angaran pihak militer tidak mendapat pengawasan dari legislatif secara memadai
seiring lemahnya peran parpol dan legislatif dalam kebijakan politik.
Masuknya jajaran militer dalam
penanganan bisnis menyebabkan sering timbul salah kelola. Banyak perusahaan dan
perkebunan negara yang diambil alih mulai proses nasionalisasi 1957 dipimpin
kalangan militer mengalami kemunduran.
Tidak hanya lembaga atau unit
usaha yang tidak dapat ditangani secara profesional, melainkan juga mengalihkan
peran utama militer keluar bidang pertahanan.
Pengaruh utama menguatnya militer
sebagai kekuatan politik adalah melemahnya tatanan demokrasi. Pelbagai
keputusan politik tidak dapat lagi dikendalikan parlemen dan partai-partai
politik.
Bahkan, acara rapat hingga
kongres partai politik harus mendapat persetujuan dan izin militer yang
berperan sebagai penguasa perang pusat (Peperpu) maupun penguasa perang daerah
(Peperda). Akibatnya, partai-partai politik tidak dapat menjalankan perannya
secara maksimal.
Melemahnya partai-partai politik
menyebabkan agenda pemilihan umum 1959 tidak dapat dilaksanakan. Organisasi
militer makin dominan dalam memengaruhi kebijakan yang ada. Kelompok masyarakat
sipil makin tidak berdaya menandingi kekuatan militer. Presiden Soekarno pun
tidak lagi dapat leluasa merealisasikan kebijakannya tanpa dukungan kalangan
militer.
Kuatnya pengaruh militer tersebut
makin dominan setelah rezim Orde Baru berkuasa. Militer di bawah kepemimpinan
Soeharto menjadi kekuatan dominan di era Orde Baru. Pemerintahan
otoritarianisme makin leluasa mengembangkan diri.
Partai politik dan parlemen
keberadaannya tidak lebih dari “lembaga stempel” dan atau “komidi omong”.
Tatanan demokrasi tidak dapat dikembangkan secara maksimal. Pemerintah Orde
Baru tidak memberi ruang pada rakyat menyampaikan dan mengembangkan
aspirasinya.
Selamatkan Misi Reformasi
Otoritarianisme yang berkelindan
dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme di era Orde Baru kemudian menjadi lawan
bersama pendukung demokrasi. Era Reformasi telah berhasil menempatkan supremasi
sipil dalam tatanan politik yang demokratis.
Kebebasan pers dijamin walaupun
sering terdistorsi kepentingan modal. Masyarakat bebas mengemukakan aspirasi
dan berorganisasi walaupun ada ekses munculnya organisasi yang intoleran.
Perjuangan untuk menjadi bangsa
yang berdaulat dan kehidupan rakyat yang bermartabat telah menjadi tujuan
reformasi. Demokrasi telah menjadi komitmen bersama. Memang dalam proses
perjuangan demokrasi di era Reformasi masih sering terjebak pada demokrasi
prosedural. Perjuangan demokrasi substansial membutuhkan kesungguhan semua
pihak.
Namun, mengapa kini ada kekuatan
politik yang memberi ruang munculnya otoritarianisme melalui usulan RUU Kamnas,
yang pada banyak pasal-pasalnya dapat mengancam tatanan demokrasi dan hak asasi
manusia? Hanya “keledai” yang jatuh pada lubang yang sama.
Memang kita belum dapat berdaulat
dalam pemenuhan “kedelai” sebagai bahan utama tahu dan tempe makanan favorit
rakyat Indonesia. Namun, kita bukan bangsa keledai yang tidak pernah mau
belajar dari sejarah. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar