Selasa, 25 September 2012

Belajarlah dari Sejarah Otoritarianisme

Belajarlah dari Sejarah Otoritarianisme
Hariyono ;  Guru Besar dan Dekan Fakultas Sosial Universitas Negeri Malang,
Doktor di bidang Ilmu Sejarah Politik
SINAR HARAPAN, 24 September 2012


Dalam usaha perjuangan reformasi membangun sistem demokrasi yang bebas dari penyakit sosial kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), tatanan demokrasi kini menghadapi ancaman struktural yuridis.

Ancaman tersebut adalah munculnya RUU Keamanan Nasional yang kini sedang dibahas DPR. Beberapa pasal dari RUU tersebut cukup membahayakan demokrasi sekaligus keamanan masyarakat madani.

Sebagai contoh, pasal krusial, ancaman tersebut dapat dilihat pada Pasal 17 yang menempatkan ancaman yang sangat luas. Ancaman tersebut meliputi ancaman militer, bersenjata dan tidak bersenjata. Dalam penjelasan pasal 17 “diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi” sebagai ancaman nasional.

Penjelasan pasal ini jelas dapat membahayakan perdebatan yang terbuka jajaran legislatif dalam membahas dan menyusun peraturan perundang-undangan. Mereka dapat dengan mudah dituduh melakukan diskonsepsional oleh pihak yang mendapat kewenangan dalam RUU Keamanan Nasional.

Contoh lain yang cukup mengancam kehidupan masyarakat madani adalah Pasal 54 tentang pengawasan. Jenis-jenis pengawasan yang variatif berpeluang menciptakan benturan kepentingan antarlembaga negara. Pada penjelasan Huruf e Pasal 54 Dewan Keamanan Nasional diberi hak melakukan penyadapan, pemeriksaan, penahanan, dan pemaksaan lain pada seseorang yang dicurigai.

Kondisi tersebut perlu diwaspadai masyarakat pendukung demokrasi. Dalam tulisan ini, penulis tidak mengaitkan dengan naskah akademik RUU Kamnas dan pasal-pasal yang belum menjadi wacana publik. Penulis hanya mengajak untuk mengingat kembali pengaruh penerapan undang-undang yang mirip RUU Kamnas terhadap kehidupan demokrasi dan kehidupan masyarakat madani.

Hal ini menarik karena kita sebagai bangsa cenderung mudah lupa terhadap peristiwa masa lampau. Konsekuensinya mudah melakukan kesalahan yang berulang akibat tidak dapat mengambil hikmah dari peristiwa masa lampau.

Terbelenggu Otoritarianisme
Sejak awal, para pendiri bangsa berusaha membentuk suatu negara bangsa yang modern. Mayoritas anggota PPKI lebih memilih sistem pemerintahan yang demokratis, bukan monarki. Pilihan tersebut didasarkan pada pengalaman riil bahwa selama pemerintahan monarki, rakyat Nusantara tidak pernah memiliki kedaulatan.

Kemerdekaan yang diperjuangkan tidak hanya kemerdekaan negara dari kolonialisme dan imperialisme, melainkan juga kemerdekaan manusia-manusia Indonesia dari segala bentuk penindasan.

Ironisnya, dalam perjalanan sejarah proses mengelola kehidupan kenegaraan, Indonesia pernah terjebak pada sistem otoritarianisme. Pilar kehidupan demokrasi, mulai dari keberadaan legislatif, posisi partai-partai politik, hingga kebebasan berserikat dan mengutarakan pendapat menjadi sangat terkungkung.

Kondisi tersebut terjadi sejak diterapkannya keadaan bahaya pada 14 Maret 1957. Dasar hukum yang digunakan adalah regulasi peninggalan pemerintah kolonial Belanda, yaitu regeeling staat van Orloog en van Beleg (SOB).

Dasar hukum tersebut pernah diganti dengan diberlakukannya UU No 74 Tahun 1957 yang relatif lebih demokratis dan pada 1959 diganti lagi dengan Perppu No 23 Tahun 1959 yang lebih represif.

Pengaruh penerapan keadaan bahaya terhadap tatanan demokrasi dan kehidupan masyarakat madani cukup sistemik. Kekuatan politik yang sebelumnya didominasi parlemen dan partai-partai politik bergeser pada presiden dan militer, khususnya AD.
Parlemen dan partai-partai politik yang sebelumnya mengendalikan militer terbalik dikontrol dan dikendalikan militer. Pers yang sejak masa revolusi dan demokrasi liberal leluasa berkiprah mulai dikontrol kekuatan militer.

Konsekuensi makin dominannya militer menyebabkan supremasi sipil sebagai salah satu prinsip demokrasi lumpuh. Pelbagai kebijakan pemerintah lebih banyak memperhatikan tekanan sekaligus kepentingan militer.

Militer menjadi kekuatan yang dominan dalam bidang birokrasi, politik, dan ekonomi. Sebaliknya, partai-partai politik tidak lagi dapat menjadi kekuatan yang mandiri. Wibawa partai politik telah merosot tajam.

Keberhasilan militer menyelesaikan pemberontakan PRRI dan Permesta, dan kemudian menggalang dukungan untuk merebut kembali Irian Barat, meningkatkan prestise politik. Melalui usaha operasi keamanan yang gencar dilakukan, ada alasan untuk mengajukan anggaran pada pemerintah.

Lebih dari 70 persen anggaran negara sejak 1957 hingga 1963 tersedot untuk biaya operasi keamanan. Kondisi ini menyebabkan pembangunan di luar sektor keamanan terbengkalai. Penggunaan angaran pihak militer tidak mendapat pengawasan dari legislatif secara memadai seiring lemahnya peran parpol dan legislatif dalam kebijakan politik.

Masuknya jajaran militer dalam penanganan bisnis menyebabkan sering timbul salah kelola. Banyak perusahaan dan perkebunan negara yang diambil alih mulai proses nasionalisasi 1957 dipimpin kalangan militer mengalami kemunduran.

Tidak hanya lembaga atau unit usaha yang tidak dapat ditangani secara profesional, melainkan juga mengalihkan peran utama militer keluar bidang pertahanan.

Pengaruh utama menguatnya militer sebagai kekuatan politik adalah melemahnya tatanan demokrasi. Pelbagai keputusan politik tidak dapat lagi dikendalikan parlemen dan partai-partai politik.

Bahkan, acara rapat hingga kongres partai politik harus mendapat persetujuan dan izin militer yang berperan sebagai penguasa perang pusat (Peperpu) maupun penguasa perang daerah (Peperda). Akibatnya, partai-partai politik tidak dapat menjalankan perannya secara maksimal.

Melemahnya partai-partai politik menyebabkan agenda pemilihan umum 1959 tidak dapat dilaksanakan. Organisasi militer makin dominan dalam memengaruhi kebijakan yang ada. Kelompok masyarakat sipil makin tidak berdaya menandingi kekuatan militer. Presiden Soekarno pun tidak lagi dapat leluasa merealisasikan kebijakannya tanpa dukungan kalangan militer.

Kuatnya pengaruh militer tersebut makin dominan setelah rezim Orde Baru berkuasa. Militer di bawah kepemimpinan Soeharto menjadi kekuatan dominan di era Orde Baru. Pemerintahan otoritarianisme makin leluasa mengembangkan diri.

Partai politik dan parlemen keberadaannya tidak lebih dari “lembaga stempel” dan atau “komidi omong”. Tatanan demokrasi tidak dapat dikembangkan secara maksimal. Pemerintah Orde Baru tidak memberi ruang pada rakyat menyampaikan dan mengembangkan aspirasinya.

Selamatkan Misi Reformasi
Otoritarianisme yang berkelindan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme di era Orde Baru kemudian menjadi lawan bersama pendukung demokrasi. Era Reformasi telah berhasil menempatkan supremasi sipil dalam tatanan politik yang demokratis.

Kebebasan pers dijamin walaupun sering terdistorsi kepentingan modal. Masyarakat bebas mengemukakan aspirasi dan berorganisasi walaupun ada ekses munculnya organisasi yang intoleran.

Perjuangan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dan kehidupan rakyat yang bermartabat telah menjadi tujuan reformasi. Demokrasi telah menjadi komitmen bersama. Memang dalam proses perjuangan demokrasi di era Reformasi masih sering terjebak pada demokrasi prosedural. Perjuangan demokrasi substansial membutuhkan kesungguhan semua pihak.

Namun, mengapa kini ada kekuatan politik yang memberi ruang munculnya otoritarianisme melalui usulan RUU Kamnas, yang pada banyak pasal-pasalnya dapat mengancam tatanan demokrasi dan hak asasi manusia? Hanya “keledai” yang jatuh pada lubang yang sama.

Memang kita belum dapat berdaulat dalam pemenuhan “kedelai” sebagai bahan utama tahu dan tempe makanan favorit rakyat Indonesia. Namun, kita bukan bangsa keledai yang tidak pernah mau belajar dari sejarah. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar