Senin, 24 September 2012

Senkaku, antara Jepang dan China


Senkaku, antara Jepang dan China
Awani Irewati ;  Peneliti Kajian Internasional di Pusat Penelitian Politik LIPI
KOMPAS, 24 September 2012


Gelombang protes anti-Jepang tengah membara di China. Banyak perusahaan besar Jepang berhenti beroperasi. Tak hanya itu, kedua negara tengah menggelar pengamanan laut di sekitar Kepulauan Senkaku yang diributkan. Apa yang sedang terjadi di kepulauan ini?

Tiga Faktor Pemicu
Pertama, perbedaan paham garis perbatasan laut di Laut China Timur (the East China Sea) antara Jepang dan China hingga kini belum dicapai kesepakatan bersama. Walau keduanya sama-sama meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, tetapi mereka membangun pemahaman sendiri yang belum tuntas dibicarakan. Jepang mengusulkan pembagian wilayah berdasar garis tengah di zona ekonomi eksklusifnya (berjarak 200 mil dari garis dasar/baseline), sedangkan China mengacu pada kelanjutan alamiah dari landas kontinennya (berjarak di luar 200 mil).

Mengenai paham garis tengah ala Jepang memang tidak sesuai dengan isi konvensi. Sebab, jika sudah berkait dengan hal kedaulatan (sovereignty), keputusan yang bersifat sepihak tak punya basis legal. Pakar hukum laut dari China, Ji Guoxing, menegaskan bahwa pengambilan garis tengah untuk pengukuran ZEE dan landasan kontinental seharusnya didasarkan pada sebuah perjanjian antarkedua pihak agar tercapai solusi adil. Selanjutnya, pengukuran wilayah berdasarkan garis tengah hanya sebuah cara pengukuran, bukan sebuah prinsip dari hukum internasional kebiasaan dalam delimitasi.

Sementara pakar dari Jepang melihat, garis tengah yang dipahami Jepang hanya bersifat sementara (Seoung-Yong Hong, 2009, Maritime Boundary Disputes, Settlement Processes, and the Law of the Sea). Di bawah kondisi sementara ini, joint development bisa dibangun hingga kedua negara mencapai kesepakatan membuat garis perbatasan bersama (a common line). Karena itu, Jepang mengusulkan joint development berkelanjutan di garis tengah yang dipahaminya.

Kedua, perbedaan persepsi sejarah kepemilikan Senkaku (Diaoyu dalam bahasa China) di setiap pihak bermuara pada klaim berbeda. China yakin kepemilikan atas Senkaku sejak Dinasti Ming (1368-1644), di mana namanya sudah tercantum di sebuah buku berjudul Departure Along the Wind (terbit 1403). Selain itu, kepulauan ini beserta pulau-pulau kecil yang mengitari kerap kali disebutkan dalam lingkup pertahanan maritim China saat itu.

Lagi pula, Kepulauan Diaoyu yang saat itu menjadi bagian dari Taiwan biasa digunakan para nelayan China sebagai basis operasional. Pada saat kekalahan China dalam perang Sino-Jepang (1894-1895), Taiwan (termasuk Diaoyu Islands) diserahkan ke Jepang. Namun, akhir PD II, kepulauan ini dikembalikan oleh AS ke China berdasarkan perjanjian ”Tiga Besar” (AS, Inggris, China) di Kairo tahun 1943.

Jepang setelah kemenangannya dalam perang Sino-Jepang menerima penyerahan Senkaku dari China. Ini dianggap sebagai bagian teritorial Jepang secara resmi. Sejak itu, survei atas kepulauan ini dilakukan Jepang dan diyakini bahwa kepulauan ini tidak berpenghuni. Survei saat itu menunjukkan tiadanya tanda- tanda bahwa kepulauan Senkaku berada di bawah kontrol China.

Berdasarkan keputusan Kabinet 14 Januari 1895, kepulauan ini dimasukkan ke teritorial Jepang. Sejak itu, Senkaku menjadi bagian integral dari Kepulauan Nansei Shoto, di mana ini diyakini tidak menjadi bagian dari Taiwan ataupun lainnya, yang diserahkan ke China setelah PD II. Lagi pula, sebuah Map 1969 buatan Pemerintah the People’s Republic of China berlabel confidential memasukkan Kepulauan Senkaku ke wilayah Jepang. Berarti ada pengakuan resmi sejak itu bahwa Senkaku masuk dalam wilayah otoritas Jepang.

Ketiga, munculnya sengketa ini dipicu setelah kedua pihak menyadari adanya sumber cadangan minyak dan gas di sekitar Kepulauan Senkaku pada pertengahan 1990-an, yang berlanjut hingga kini. Ketika kepentingan nasional dipicu kepentingan bisnis prospektif berupa temuan cadangan minyak dan gas, segala daya penguat dan bukti pembenaran akan dihimpun demi basis legal untuk penguasaan sumber energi itu. 

Apalagi Jepang dan China adalah dua negara yang sangat bergantung pada suplai minyak dan gas dari luar. Dan, ketika keduanya menyadari adanya cadangan energi yang tidak jauh dari wilayah mereka, keduanya akan ”mati-matian” memperjuangkannya.

Dengan latar tiga faktor di atas, kemarahan rakyat China dengan membakar bendera Jepang, menyerang kantor perwakilan Jepang, dan yang menyebabkan banyak perusahaan besar Jepang di China ditutup, sesungguhnya hanya ”puncak es” saja. Jika faktor pertama terutama dan kedua tidak segera dicari jalan keluarnya, hubungan ekonomi keduanya menjadi terganggu. Apalagi bila ditambah dengan luapan kemarahan yang semakin kencang, bertepatan dengan peringatan hari ”Manchuria Incident18 September 1931 (invasi militer Jepang ke wilayah utara China, yaitu Manchuria) di China dipakai sebagai ”momen” yang mengantar emosional rakyat China semakin garang.

Di luar itu, menyimak peta konflik mulai dari Laut China Selatan, di mana China berurusan atas dua Kepulauan Spratly dan Paracel dengan lima negara (Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei, termasuk Taiwan) hingga Laut China Timur, masalah yang dihadapi China tidaklah tunggal. Mulai Laut China Selatan hingga Laut China Timur, eksistensi kepentingan ekonomi, politik, dan kedaulatan China sedang dipertaruhkan di hadapan banyak negara. Tak pelak, ketika kepentingannya ”terusik” oleh Jepang di Laut China Timur, luapan protes kemarahan berlipat ganda.

Pelajaran bagi Indonesia?
”Sengketa” dengan China ini membuat Jepang harus berhitung pula dengan negara tetangganya. Klaim kepemilikan Kepulauan Senkaku di satu sisi menjadi semacam ”uji kasus” bagi Jepang atas penyelesaian sengketa lainnya. Sebutlah seperti Pulau Dokdo/Takeshima dengan Korea Selatan dan Kepulauan Kurile dengan Rusia.

Guna memperjuangkan hak kedaulatan di wilayah teritorial pulau-pulau ini, Jepang tampak bersikap wait and see pada hasil akhir dari solusi Kepulauan Senkaku. Artinya, semaksimal mungkin Jepang tidak akan ’memancing’ munculnya perkara lain dengan Korea Selatan maupun Rusia.

Pola penyelesaian sengketa antara Jepang dengan China bisa menjadi pembanding bagi Indonesia, yang juga tidak menghadapi masalah tunggal perbatasan terkait kedaulatan dan kepentingan ekonomi. Sebaliknya, kedua pihak bersengketa bisa mengambil pelajaran dari pengalaman Indonesia dan Malaysia dalam menyelesaikan dua pulau, Sipadan dan Ligitan, yang diajukan ke International Court of Justice (ICJ).

Jalan akhir sengketa belum di tangan Jepang dan China. Karena itu, solusi terbaik ialah membangun joint development di wilayah yang disepakati bersama terlebih dulu. Sementara itu, duduk di meja perundingan harus segera diwujudkan. Sebab jika joint development dilakukan setelah menunggu sengketa berakhir, tak terbayang berapa keuntungan ekonomi yang ”menguap”, yang seharusnya bisa direngkuh oleh kedua negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar