Buah
Simalakama Otonomi Daerah
Diskusi Panel Ahli
|
MEDIA
INDONESIA, 24 September 2012
OTONOMI
daerah yang mulai digulir kan sejak era reformasi ternyata hingga saat ini
belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Yang terjadi justru munculnya
`raja-raja kecil' yang menghancurkan daerah karena terlalu bernafsu
mengeksploitasi sumber pendanaan.
Demikian
benang merah Diskusi Panel Ahli Media Group dengan topik Otonomi daerah,
birokrasi, dan pertumbuhan ekonomi di Kantor Media Group di Jakarta, Rabu
(19/9). “Bupati atau wali kota sudah seperti raja kecil di wilayah ke kuasaan
mereka. Mereka merasa kuat karena dipilih langsung rakyat,“ kata Yunarto
Wijaya, pakar politik dari Charta Politika, salah satu pembicara diskusi.
Menurut
dia, kemampuan para pemimpin daerah untuk menggali pendanaan bagi kesejahteraan
rakyatnya hanya dengan lebih banyak mengeluarkan izin atau konsesi pengelolaan
sumber daya alam.
“Karena
itu, jangan heran kalau kemudian kerusakan lingkungan menjadi semakin parah. Mereka
juga lebih bergantung pada dana alokasi khusus dan APBN untuk mengisi
pendapatan asli daerah,“ paparnya.
Dia
menambahkan bila tidak ditertibkan dan dibiarkan berlarut-larut, hal itu bisa
mengacaukan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.
Pembicara
lainnya, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, menilai selama ini
pemerintah pusat tidak memberikan ruang yang cukup bagi daerah untuk
mengembangkan diri secara optimal, baik secara ketatanegaraan maupun ekonomi. Akibatnya,
kata Irman, daerah menjadi apatis sehingga sistem otonomi daerah gagal.
Desentralisasi Fiskal
Dari
sisi ekonomi, Ahmad Erani Yustika, pakar ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef),
berpendapat pemerintah pusat harus membuat formulasi alokasi APBN yang lebih
otonom. Maksud Erani, pusat lebih memberikan kewenangan kepada daerah untuk
mengatur regulasi anggaran sendiri. “Dengan memberikan kewenangan kepada daerah
otonom untuk mengelola sumbersumber pendapatan tersebut, percepatan pembangunan
daerah dapat terwujud,“ tegasnya.
Erani
menuturkan lebih dari satu dekade sejak otonomi daerah diberlakukan, ada
sekitar 70% urusan pusat yang didesentralisasikan ke daerah. Sayangnya, hal itu
tidak diikuti adanya desentralisasi fiskal sehingga beban kerja pemerintah
daerah tidak dibarengi pembiayaan yang mencukupi.
Namun,
baik Yunarto maupun Erani sepakat agar pemerintah pusat tetap memegang kendali
atas sumber-sumber pendapatan penting dan strategis seperti izin tambang atau
hutan. Itu penting untuk mencegah adanya penyelewengan kekuasaan. (Eko/X-5)
andreastimothy @mediaindonesia.com)
*
* *
Pada Rabu, 19 September 2012 Media Indonesia kembali
mengadakan diskusi panel ahli. Topik diskusi kali ini ialah Otonomi daerah,
birokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Para ahli yang mendiskusikan topik itu ialah
Yudi Latif, pakar politik; Irmanputra Sidin, pakar hukum tata negara; Yunarto
Wijaya, pakar politik; dan pakar ekonomi Ahmad Erani Yustika. Berikut resume
diskusi tersebut.
DESENTRALISASI
yang diformalkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah--kemudian populer dengan sebutan Otonomi Daerah--tentu bertujuan mulia.
Intinya, UU itu berkehendak menjadikan daerah mandiri, kreatif, dan ujung-ujungnya
masyarakat di daerah sejahtera. Sebisa mungkin, ibarat anak sapi, jangan sampai
terus menyusu kepada induknya (pemerintah pusat).
Mari
kita simak konsiderans UU tersebut yang berbunyi: `Bahwa dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia'.
Lalu
dengan cara apa dan bagaimana agar masyarakat di daerah bisa sejahtera? Masih
di dalam konsiderans, pada butir b teruntai kalimat sebagai berikut. `Bahwa
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antarsusunan
pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah,
peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang
seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara'.
Desentralisasi
lahir tentu ada yang melatarbelakangi. Fakta tidak bisa dimungkiri, pernah ada
masa pemerintah pusat terlalu mendominasi segala urusan di daerah sehingga
muncul kesan (mungkin juga faktanya begitu) pemerintah pusat (Jakarta)
`mengeksploitasi' berbagai potensi yang dimiliki daerah, baik menyangkut urusan
pemerintahan, birokrasi, maupun hal-hal yang berkait dengan ekonomi.
Sebelum
UU No 32 Tahun 2004 dipraktikkan, proyek-proyek pembangunan di daerah `disapu
bersih' oleh pemerintah pusat dan orang-orang di daerah cuma bisa menjadi
penonton. Dengan dilatarbelakangi kenyataan-kenyataan itulah, desentralisasi
diambil sebagai sebuah solusi sehingga pemerintah daerah bisa langsung ambil
bagian.
Melalui
desentralisasi, muncul kompetisi sehingga orang di daerah berlombalomba untuk
berani mengatakan: “Lihat, daerah saya lebih bagus daripada daerah Anda.“ Jika
dilihat dari sudut pandang seperti itu, desentralisasi jelas bagus dan positif.
Apalagi hitam di atas putih dalam Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004
disebutkan: `Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan'.
Ayat
(6) masih dalam pasal itu mengatur: `Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia'.
Pada
ayat (7) disebutkan: `Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia'.
Lalu
menyangkut keuangan, ayat (13) Pasal 1 UU itu mengatur: “Perimbangan keuangan
antara Pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan
yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung ja wab dalam
rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan pe nyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan'.
Bagaimana
soal keuangan diatur? Pasal 2 ayat (6) menyebutkan: `Hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya
dilaksanakan secara adil dan selaras'.
Pasal
17 ayat (1) disebut pula: `Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: kewenangan, tanggung
jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan
pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya; dan penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan'.
Berbagai
aturan dan ketentuan yang tertuang dalam UU Nomor 32/2004 di atas jelas sangat
bagus karena memungkinkan daerah untuk berkembang dan kreatif. Persoalannya
apakah faktanya memang demikian di saat undang-undang tersebut telah berusia
delapan tahun?
Sangat Bergantung kepada APBD
Fakta
di lapangan, `napas' atau `nyawa' desentralisasi selama ini ternyata masih
sangat menggantungkan diri kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD). Ekonominya masih ekonomi APBD, pengusahanya (di daerah) juga pengusaha
APBD. Kelak jika suatu saat APBD-nya diambil atau ditiadakan, yang tertinggal
di daerah hanya mayat-mayatnya.
Kalau
kita amati angka-angka yang ada di APBD, komposisi anggaran untuk menggerakkan
ekonomi daerah dan belanja pegawai sangat njomplang.
Di banyak daerah, 65% anggaran dalam APBD hanya untuk gaji pegawai negeri sipil
(PNS). Anggaran belanja untuk PNS itu setiap tahunnya rata-rata naik 9%,
sementara tingkat kenaikan anggaran untuk belanja modal yang diharapkan bisa
menggerakkan pereko nomian di daerah, ka laupun naik, hanya 9%. Ada bahkan
daerah, seperti di Lumajang, Jawa Timur, yang 83% anggarannya di dalam APBD
hanya untuk pos belanja pegawai. Di Karanganyar, Jawa Tengah, 75% anggaran APBD
untuk gaji PNS.
Itu
sekadar contoh betapa APBD masih dijadikan andalan bagi daerah, terutama
birokrasi, untuk sekadar mempertahankan hidup. Sepertinya, kondisi seperti itu
tidak akan ubah hingga beberapa ta berubah hingga beberapa ta hun ke depan.
Persoalan
seperti itu masih pula diwarnai dengan munculnya `ketidakadilan' yang dilakukan
pe merintah (pusat) dalam hal pemerataan anggaran.
Sebab
ada daerah yang sebenarnya sudah kaya, tetapi mendapat dana (transfer) jauh
lebih besar daripada daerah yang jelas-jelas miskin.
Pada
2010, tercatat ada 215 daerah maju yang mendapatkan alokasi dana Rp716 miliar,
sementara 283 daerah miskin hanya mendapatkan dana transfer Rp486 miliar.
Karena
itu, logis jika APBD praktis tidak membawa dampak apa-apa buat pembangunan di
daerah. Katakanlah dana alokasi umum (DAU) dalam APBD dinaikkan 10%, penaikan
itu hanya bisa memicu pertumbuhan ekonomi 0,03%, sedangkan jika dana alokasi
khusus (DAK) dinaikkan 10%, juga tidak berdampak signifikan karena ekonomi yang
tumbuh di daerah cuma 0,02%. Lalu, bagaimana jika belanja daerah dinaikkan 10%?
Jangan kaget, dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi hanya 0,06%.
Sejak
desentralisasi diberlakukan di 33 provinsi, tercatat hanya 9 provinsi yang
terbukti bisa mengurangi angka kemiskinan, sementara 24 lainnya justru
mengalami peningkatan jumlah orang miskin. Dengan didasarkan atas kenyataan
itu, tidak berlebihan jika kita menyimpulkan desentralisasi tidak membawa
dampak bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. Ibarat lalu lintas, otonomi
daerah benar-benar macet total, tidak ada implikasi positif buat rakyat. Pernah
ada survei yang menghasilkan fakta bahwa otonomi daerah tidak membawa perubahan
dan dampak positif buat masyarakat.
Apakah
pejabat di daerah tidak berupaya untuk melakukan kreativitas guna menumbuhkan
ekonomi dan pendapatan daerah? Upaya ke arah sana memang ada. Namun, daerah
hanya mengandalkan sumber daya alam (SDA) karena menjualbelikan SDA di daerah
itulah cara yang paling mudah melalui pemberian konsesi-konsesi, seperti hutan
dan pertambangan. Hal itu tentu tidak bisa dibiarkan. Karena itu,
konsesi-konsesi SDA tersebut harus dikembalikan ke pemerintah pusat
(disentralisasikan).
Ikut Bertanggung Jawab
Tentu, tidaklah bijak jika kegagalan desentralisasi hanya
kita timpakan kepada pemerintah daerah. Bagaimanapun juga, pemerintah pusat
harus ikut bertanggung jawab sebab
otonomi daerah memang bukan berarti pemerintah memberikan ‘kemerdekaan’ penuh
kepada pemerintah daerah.
Desentralisasi bukan berarti bahwa pemerintah pusat
melahirkan ‘negara-negara’ merdeka di daerah. Kewenangan yang diberikan kepada daerah
sebagaimana diatur dalam UU No 32/2004 seharusnya juga diikuti dengan pengawasan
yang bertanggung jawab. Dalam persoalan yang seperti itu, memang ada kesalahan
dalam system ketatanegaraan kita.
Pemerintah daerah melalui UU Otonomi Daerah memang diberi
ruang untuk kreatif. Namun, kenyataannya, daerah juga tidak bisa berbuat apa-apa
sebab ketika mereka membuat peraturan daerah (perda), pemerintah pusat malah
melarang atau mencabut dengan dalih perda yang akan atau sudah diterbitkan
bertentangan dengan undang-undang/peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat.
Ratusan perda pun dibatalkan.
Jadi, terlalu berlebihan jika kita kemudian
menggeneralisasi bahwa orang-orang daerah tidak kreatif atau melakukan
stigmatisasi bahwa mereka ialah orang-orang tolol yang tidak bisa berbuat
apa-apa. Kesalahan itu ada pada sistem. Jadi, sistemlah yang lebih dulu harus
diubah. Karena ketidakjelas an sistem ketatanegaraan itulah, daerah menjadi
apatis dan akhirnya mereka melakukan ‘kreativitas’ dengan cara-cara yang
gampang, seperti melakukan jual beli konsesi SDA, melakukan pungutan liar, dan
sogok-menyogok sebagaimana dilakukan para birokrat sebelum desentralisasi diberlakukan.
Ke depan, sistem ketatanegaraan harus mampu memberikan
ruang kepada daerah untuk berbuat lebih maksimal tanpa harus keluar dari
bingkai NKRI. Mengembalikan desentralisasi kepada pemerintah pusat jelas bukan
solusi yang baik manakala fakta yang ada sekarang ini menunjukkan program desentralisasi
telah gagal dilaksanakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar