Senin, 24 September 2012

Buah Simalakama Otonomi Daerah


Buah Simalakama Otonomi Daerah
Diskusi Panel Ahli  
MEDIA INDONESIA, 24 September 2012


OTONOMI daerah yang mulai digulir kan sejak era reformasi ternyata hingga saat ini belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Yang terjadi justru munculnya `raja-raja kecil' yang menghancurkan daerah karena terlalu bernafsu mengeksploitasi sumber pendanaan.

Demikian benang merah Diskusi Panel Ahli Media Group dengan topik Otonomi daerah, birokrasi, dan pertumbuhan ekonomi di Kantor Media Group di Jakarta, Rabu (19/9). “Bupati atau wali kota sudah seperti raja kecil di wilayah ke kuasaan mereka. Mereka merasa kuat karena dipilih langsung rakyat,“ kata Yunarto Wijaya, pakar politik dari Charta Politika, salah satu pembicara diskusi.

Menurut dia, kemampuan para pemimpin daerah untuk menggali pendanaan bagi kesejahteraan rakyatnya hanya dengan lebih banyak mengeluarkan izin atau konsesi pengelolaan sumber daya alam.

“Karena itu, jangan heran kalau kemudian kerusakan lingkungan menjadi semakin parah. Mereka juga lebih bergantung pada dana alokasi khusus dan APBN untuk mengisi pendapatan asli daerah,“ paparnya.

Dia menambahkan bila tidak ditertibkan dan dibiarkan berlarut-larut, hal itu bisa mengacaukan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.

Pembicara lainnya, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, menilai selama ini pemerintah pusat tidak memberikan ruang yang cukup bagi daerah untuk mengembangkan diri secara optimal, baik secara ketatanegaraan maupun ekonomi. Akibatnya, kata Irman, daerah menjadi apatis sehingga sistem otonomi daerah gagal.

Desentralisasi Fiskal
Dari sisi ekonomi, Ahmad Erani Yustika, pakar ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), berpendapat pemerintah pusat harus membuat formulasi alokasi APBN yang lebih otonom. Maksud Erani, pusat lebih memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur regulasi anggaran sendiri. “Dengan memberikan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengelola sumbersumber pendapatan tersebut, percepatan pembangunan daerah dapat terwujud,“ tegasnya.

Erani menuturkan lebih dari satu dekade sejak otonomi daerah diberlakukan, ada sekitar 70% urusan pusat yang didesentralisasikan ke daerah. Sayangnya, hal itu tidak diikuti adanya desentralisasi fiskal sehingga beban kerja pemerintah daerah tidak dibarengi pembiayaan yang mencukupi.

Namun, baik Yunarto maupun Erani sepakat agar pemerintah pusat tetap memegang kendali atas sumber-sumber pendapatan penting dan strategis seperti izin tambang atau hutan. Itu penting untuk mencegah adanya penyelewengan kekuasaan. (Eko/X-5) andreastimothy @mediaindonesia.com)
* * *

Pada Rabu, 19 September 2012 Media Indonesia kembali mengadakan diskusi panel ahli. Topik diskusi kali ini ialah Otonomi daerah, birokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Para ahli yang mendiskusikan topik itu ialah Yudi Latif, pakar politik; Irmanputra Sidin, pakar hukum tata negara; Yunarto Wijaya, pakar politik; dan pakar ekonomi Ahmad Erani Yustika. Berikut resume diskusi tersebut.

DESENTRALISASI yang diformalkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah--kemudian populer dengan sebutan Otonomi Daerah--tentu bertujuan mulia. Intinya, UU itu berkehendak menjadikan daerah mandiri, kreatif, dan ujung-ujungnya masyarakat di daerah sejahtera. Sebisa mungkin, ibarat anak sapi, jangan sampai terus menyusu kepada induknya (pemerintah pusat).

Mari kita simak konsiderans UU tersebut yang berbunyi: `Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia'.

Lalu dengan cara apa dan bagaimana agar masyarakat di daerah bisa sejahtera? Masih di dalam konsiderans, pada butir b teruntai kalimat sebagai berikut. `Bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara'.

Desentralisasi lahir tentu ada yang melatarbelakangi. Fakta tidak bisa dimungkiri, pernah ada masa pemerintah pusat terlalu mendominasi segala urusan di daerah sehingga muncul kesan (mungkin juga faktanya begitu) pemerintah pusat (Jakarta) `mengeksploitasi' berbagai potensi yang dimiliki daerah, baik menyangkut urusan pemerintahan, birokrasi, maupun hal-hal yang berkait dengan ekonomi.

Sebelum UU No 32 Tahun 2004 dipraktikkan, proyek-proyek pembangunan di daerah `disapu bersih' oleh pemerintah pusat dan orang-orang di daerah cuma bisa menjadi penonton. Dengan dilatarbelakangi kenyataan-kenyataan itulah, desentralisasi diambil sebagai sebuah solusi sehingga pemerintah daerah bisa langsung ambil bagian.

Melalui desentralisasi, muncul kompetisi sehingga orang di daerah berlombalomba untuk berani mengatakan: “Lihat, daerah saya lebih bagus daripada daerah Anda.“ Jika dilihat dari sudut pandang seperti itu, desentralisasi jelas bagus dan positif. Apalagi hitam di atas putih dalam Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan: `Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan'.

Ayat (6) masih dalam pasal itu mengatur: `Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia'.

Pada ayat (7) disebutkan: `Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia'.

Lalu menyangkut keuangan, ayat (13) Pasal 1 UU itu mengatur: “Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung ja wab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan pe nyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan'.

Bagaimana soal keuangan diatur? Pasal 2 ayat (6) menyebutkan: `Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras'.

Pasal 17 ayat (1) disebut pula: `Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan'.

Berbagai aturan dan ketentuan yang tertuang dalam UU Nomor 32/2004 di atas jelas sangat bagus karena memungkinkan daerah untuk berkembang dan kreatif. Persoalannya apakah faktanya memang demikian di saat undang-undang tersebut telah berusia delapan tahun?

Sangat Bergantung kepada APBD
Fakta di lapangan, `napas' atau `nyawa' desentralisasi selama ini ternyata masih sangat menggantungkan diri kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Ekonominya masih ekonomi APBD, pengusahanya (di daerah) juga pengusaha APBD. Kelak jika suatu saat APBD-nya diambil atau ditiadakan, yang tertinggal di daerah hanya mayat-mayatnya.

Kalau kita amati angka-angka yang ada di APBD, komposisi anggaran untuk menggerakkan ekonomi daerah dan belanja pegawai sangat njomplang. Di banyak daerah, 65% anggaran dalam APBD hanya untuk gaji pegawai negeri sipil (PNS). Anggaran belanja untuk PNS itu setiap tahunnya rata-rata naik 9%, sementara tingkat kenaikan anggaran untuk belanja modal yang diharapkan bisa menggerakkan pereko nomian di daerah, ka laupun naik, hanya 9%. Ada bahkan daerah, seperti di Lumajang, Jawa Timur, yang 83% anggarannya di dalam APBD hanya untuk pos belanja pegawai. Di Karanganyar, Jawa Tengah, 75% anggaran APBD untuk gaji PNS.

Itu sekadar contoh betapa APBD masih dijadikan andalan bagi daerah, terutama birokrasi, untuk sekadar mempertahankan hidup. Sepertinya, kondisi seperti itu tidak akan ubah hingga beberapa ta berubah hingga beberapa ta hun ke depan.

Persoalan seperti itu masih pula diwarnai dengan munculnya `ketidakadilan' yang dilakukan pe merintah (pusat) dalam hal pemerataan anggaran.

Sebab ada daerah yang sebenarnya sudah kaya, tetapi mendapat dana (transfer) jauh lebih besar daripada daerah yang jelas-jelas miskin.

Pada 2010, tercatat ada 215 daerah maju yang mendapatkan alokasi dana Rp716 miliar, sementara 283 daerah miskin hanya mendapatkan dana transfer Rp486 miliar.

Karena itu, logis jika APBD praktis tidak membawa dampak apa-apa buat pembangunan di daerah. Katakanlah dana alokasi umum (DAU) dalam APBD dinaikkan 10%, penaikan itu hanya bisa memicu pertumbuhan ekonomi 0,03%, sedangkan jika dana alokasi khusus (DAK) dinaikkan 10%, juga tidak berdampak signifikan karena ekonomi yang tumbuh di daerah cuma 0,02%. Lalu, bagaimana jika belanja daerah dinaikkan 10%? Jangan kaget, dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi hanya 0,06%.

Sejak desentralisasi diberlakukan di 33 provinsi, tercatat hanya 9 provinsi yang terbukti bisa mengurangi angka kemiskinan, sementara 24 lainnya justru mengalami peningkatan jumlah orang miskin. Dengan didasarkan atas kenyataan itu, tidak berlebihan jika kita menyimpulkan desentralisasi tidak membawa dampak bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. Ibarat lalu lintas, otonomi daerah benar-benar macet total, tidak ada implikasi positif buat rakyat. Pernah ada survei yang menghasilkan fakta bahwa otonomi daerah tidak membawa perubahan dan dampak positif buat masyarakat.

Apakah pejabat di daerah tidak berupaya untuk melakukan kreativitas guna menumbuhkan ekonomi dan pendapatan daerah? Upaya ke arah sana memang ada. Namun, daerah hanya mengandalkan sumber daya alam (SDA) karena menjualbelikan SDA di daerah itulah cara yang paling mudah melalui pemberian konsesi-konsesi, seperti hutan dan pertambangan. Hal itu tentu tidak bisa dibiarkan. Karena itu, konsesi-konsesi SDA tersebut harus dikembalikan ke pemerintah pusat (disentralisasikan). 

Ikut Bertanggung Jawab
Tentu, tidaklah bijak jika kegagalan desentralisasi hanya kita timpakan kepada pemerintah daerah. Bagaimanapun juga, pemerintah pusat harus ikut  bertanggung jawab sebab otonomi daerah memang bukan berarti pemerintah memberikan ‘kemerdekaan’ penuh kepada pemerintah daerah.

Desentralisasi bukan berarti bahwa pemerintah pusat melahirkan ‘negara-negara’ merdeka di daerah. Kewenangan yang diberikan kepada daerah sebagaimana diatur dalam UU No 32/2004 seharusnya juga diikuti dengan pengawasan yang bertanggung jawab. Dalam persoalan yang seperti itu, memang ada kesalahan dalam system ketatanegaraan kita.

Pemerintah daerah melalui UU Otonomi Daerah memang diberi ruang untuk kreatif. Namun, kenyataannya, daerah juga tidak bisa berbuat apa-apa sebab ketika mereka membuat peraturan daerah (perda), pemerintah pusat malah melarang atau mencabut dengan dalih perda yang akan atau sudah diterbitkan bertentangan dengan undang-undang/peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat. Ratusan perda pun dibatalkan.

Jadi, terlalu berlebihan jika kita kemudian menggeneralisasi bahwa orang-orang daerah tidak kreatif atau melakukan stigmatisasi bahwa mereka ialah orang-orang tolol yang tidak bisa berbuat apa-apa. Kesalahan itu ada pada sistem. Jadi, sistemlah yang lebih dulu harus diubah. Karena ketidakjelas an sistem ketatanegaraan itulah, daerah menjadi apatis dan akhirnya mereka melakukan ‘kreativitas’ dengan cara-cara yang gampang, seperti melakukan jual beli konsesi SDA, melakukan pungutan liar, dan sogok-menyogok sebagaimana dilakukan para birokrat sebelum desentralisasi diberlakukan.

Ke depan, sistem ketatanegaraan harus mampu memberikan ruang kepada daerah untuk berbuat lebih maksimal tanpa harus keluar dari bingkai NKRI. Mengembalikan desentralisasi kepada pemerintah pusat jelas bukan solusi yang baik manakala fakta yang ada sekarang ini menunjukkan program desentralisasi telah gagal dilaksanakan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar