Selasa, 25 September 2012

Sekali Lagi Soal Pajak

Sekali Lagi Soal Pajak
Said Aqil Siradj ;  Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
REPUBLIKA, 24 September 2012


Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) yang di helat di Pesantren Kempek telah usai. Akan tetapi, tindak lanjut dari hasil musyawarah para ulama tentu saja belum selesai. Dalam perhelatan itu, NU secara internal dan eksternal menyadari pentingnya berbenah-diri secara kolektif.
Salah satu dari sekian hasil Munas dan Konbes NU yang menarik perhatian kalangan luas adalah persoalan pajak.

Sebagaimana kemudian diketahui bersama, persoalan ini ditanggapi dan ditafsiri oleh berbagai pihak dengan cara pandang yang berbeda-beda. Di dalam dan luar arena Munas dan Konbes NU, terutama di media-media, beredar istilah-istilah semacam “boikot” dan “moratorium” atas pajak.

Berbagai tanggapan dan tafsiran itu secara umum dapat terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama menilai bahwa NU menunjukkan sikap bughat (pembangkangan) terhadap pemerintah.

Pandangan ini biasanya disertai asumsi bahwa keberlangsungan tata pemerintahan tak mungkin tegak tanpa disokong pajak. Sampai batas tertentu, pandangan ini boleh jadi benar dengan mengingat bahwa sekitar 70 persen dari pendapatan negara diperoleh dari sektor pajak.

Kelompok kedua adalah pihak-pihak yang menilai bahwa godaan politik praktis masih saja mendera NU. “Kembali ke Khitah Indonesia 1945” yang merupakan tema besar Munas dan Konbes NU dicurigai sebagai strategi untuk mendapatkan jatah politik kekuasaan. Pandangan macam ini mungkin berangkat dari asumsi bahwa syahwat politik dalam tubuh Nahdliyin masih besar. Dengan demikian, rekomendasi NU dalam soal pajak hanya dianggap sebagai “gertak-sambal”.

Kelompok ketiga adalah mereka yang secara diam-diam dan sengaja memanfaatkan situasi untuk meraih keuntungan sepihak. Kelompok ini menjanjikan intervensi dan upaya fasilitasi antara unsur pemerintahan dan unsur NU. Tujuannya, isu pajak bisa diredam dengan kompromi-kompromi tertentu.

Terhadap itu semua, Pengurus Besar NU tentu tidak gelap mata. Saya merasa perlu menyusun tulisan tanggapan ini dengan satu sikap: “Ambil yang jernih, tinggalkan yang keruh”. Saya hendak menegaskan kembali apa yang telah disepakati Sidang Komisi Rekomendasi dan Rapat Pleno dalam Munas dan Konbes NU. Berikut ini merupakan kutipan persisnya.

“Bahwa, bagi umat Islam, pungutan yang wajib dibayar berdasarkan perintah langsung dari Alquran dan Hadis secara eksplisit adalah zakat. Sedangkan, kewajiban membayar pajak hanya berdasarkan pada perintah yang tidak langsung (implisit) dalam konteks mematuhi penguasa (ulil ‘amr). Penguasa dalam membelanjakan uang negara yang diperoleh dari pajak, berdasarkan kaidah fikih tasharruful imaamm alar-ra’iyyah manuuthun bil mashlahah, mesti mengacu pada tujuan kemaslahatan warga negara (terutama kaum fakir miskin).

Ketika ternyata bahwa uang negara yang berasal dari pajak tidak dikelola dengan baik atau tidak dibelanjakan sebagaimana mestinya, bahkan terbukti banyak dikorupsi, maka muncul pertanyaan, “Apakah kewajiban membayar pajak oleh warga negara itu masih punya landasan hukum keagamaan yang kuat?”

Dari situ kemudian lahir rekomendasi. Pertama, pemerintah harus lebih transparan dan bertanggung jawab terkait dengan penerimaan dan pengalokasian uang pajak, serta memastikan tidak ada kebocoran. Kedua, pemerintah harus mengutamakan kemaslahatan warga negara, terutama fakir miskin, dalam penggunaan uang pajak. Ketiga, PBNU perlu mengkaji dan mempertimbangkan mengenai kemungkinan hilangnya kewajiban warga negara membayar pajak, ketika pemerintah tidak dapat melaksanakan rekomendasi poin 1 dan 2.

Dalam sidang sempat muncul kaidah fiqh al-ashlu fil maal al hurmah. Hukum dasar menarik pajak dari rakyat adalah haram. Jika kemudian negara diperbolehkan menarik pajak maka alasannya adalah hajat (ada kebutuhan) yang disamakan dengan darurat (keharusan). Sebab, sesuatu yang dibolehkan karena darurat berlaku sepanjang dengan-dan di batasi sesuai-kadar daruratnya. Jadi, zakat adalah wajib syar’i dan wajib siyasi.

Dasar dan orientasi poin-poin rekomendasi di atas sudah sangat jelas sehingga penafsiran lebih jauh tentu saja tidak terlalu perlu. Selain itu, saya bisa memastikan bahwa topik pajak ini, sebagaimana topik-topik lain, berangkat dari usulan-usulan warga NU hingga di tingkat ran ting (desa). Para peserta Munas dan Konbes NU adalah para ulama yang berang kat dengan titipan persoalan konkret yang dialami warga di daerah daerah. Pola semacam ini, yang memungkinkan penye rapan suara rakyat, sudah ditradisikan sejak NU lahir pada 1926.

Sembari menulis ini, saya kembali terbayang wajah orang-orang Cirebon mau pun luar Cirebon yang dengan sukarela menyerahkan infak untuk kelancaran logistik Munas dan Konbes NU. Mereka datang satu per satu dengan kemampuannya masing-masing. Mereka menyumbang tanpa mengharap imbal-balik selain rida Allah SWT. Di area dapur panitia, saya menyaksikan sembilan ekor sapi, dua ton buah-buahan, satu ton gula pasir, 1.600 kardus air mineral, tiga truk sayur-mayur, lima ton beras, setengah kuintal bandeng, tumpukan kerupuk yang menggunung, 1000 paket peralatan MCK, 600 buah peci, satu boks mobil susu, dan 25 kardus besar berisi minyak goreng.

Atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Saya mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada mereka. Hanya Allah yang tahu niat terdalam hamba-hambanya. Hanya Allah yang tahu bagaimana cara membalasnya. Ungkapan terima kasih ini tidak hanya karena mereka telah membantu kelancaran acara, tetapi juga karena mereka telah memberi teladan yang melebihi harga nominal sumbangan. Teladan itu berupa bukti bahwa keimanan bisa bertransformasi menjadi kekuatan sosial dan ekonomi. Kesukarelaan dengan pamrih hanya kepada Allah inilah yang juga mendorong kesetiaan warga NU pada NKRI.

Saya yakin, kesukarelaan semacam itu yang membuat warga NU berani mempertahankan kedaulatan Indonesia dengan harga apa pun. Maka, sepanjang kesukarelaan itu direspons para pemangku kekuasaan dengan cara yang diridai Allah, warga NU akan ikhlas memberikan dukungan. Sebaliknya, jika kesukarelaan tersebut dikhianati, warga NU akan bersikap keras kepada pemerintah. Ini berlaku dalam semua segi dan soal, bukan hanya pajak!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar