Sabtu, 15 September 2012

Masa Depan Partai Agama


Masa Depan Partai Agama
Arya Fernandes ;  Manajer Survei Charta Politika Indonesia
KORAN TEMPO, 14 September 2012


Beberapa waktu lalu Charta Politika Indonesia menggelar rilis Survei Nasional 2012 bertajuk "Stagnasi Perilaku Pemilih". Salah satu hasil temuan survei nasional yang dilaksanakan pada Juli lalu itu adalah rendahnya penerimaan publik terhadap partai berbasis agama. Bagi publik, isu agama tak menjadi daya pikat utama untuk memilih partai. Hal tersebut tampak dari jebloknya perolehan suara partai berbasis agama dibanding partai nasionalis. Bila pemilu legislatif dilaksanakan ketika survei dilakukan, Partai Golkar memperoleh suara 18 persen, Demokrat 12,5 persen, PDI Perjuangan 10,8 persen, Gerindra 4,7 persen, NasDem 4,3 persen, PKS 3,9 persen, PPP 2,7 persen, PKB 2,6 persen, PAN 1,9 persen, Hanura 1,6 persen, jawaban lainnya 2,7 persen, dan responden yang belum menentukan pilihan 34,4 persen.

Dari pemilu ke pemilu, perolehan suara partai berbasis agama cenderung menurun signifikan. Bahkan beberapa partai agama gagal memperoleh angka parliamentary threshold 2,5 persen pada Pemilu 2009, seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Bintang Reformasi (PBR). Mengapa suara partai agama terus menurun? Saya mengunakan empat variabel untuk menjelaskan jebloknya perolehan suara partai agama, yaitu perilaku pemilih, platform, jaringan, dan kepemimpinan partai. 

Pertama, tiga pemilu demokratis pascareformasi mempengaruhi perubahan perilaku pemilih dari pemilih primordial menjadi pemilih yang rasional. Perubahan tersebut ditandai dengan kecilnya pengaruh isu-isu yang bersifat primordial, seperti agama, suku, dan ras dalam mempengaruhi pilihan publik dalam pemilu. Pada pemilu terakhir, studi yang dilakukan Liddle & Mujani (2010) menunjukkan kecenderungan pemilih yang semakin rasional. 

Rasionalitas tersebut ditunjukkan dengan tidak berperannya agama dalam mempengaruhi pilihan publik. Publik menggunakan indikator ekonomi dan kinerja pemerintah dalam menentukan pilihan dalam pemilu. Liddle & Mujani menunjukkan kinerja dan prestasi pemerintah di bidang ekonomi sebagai alasan utama pilihan publik dalam Pemilu 2009. 

Dalam temuan mereka, masyarakat mengapresiasi secara positif capaian pemerintah dalam bidang ekonomi sebelum pemilu digelar. Tingginya kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam bidang ekonomi memberi keuntungan elektoral bagi SBY dan partai penguasa (the ruling party). Akhirnya, dengan mudah pasangan SBY-Boediono berhasil memenangi pemilu presiden, dan Partai Demokrat tampil sebagai partai pemenang dalam pemilu legislatif 2009 dengan perolehan suara mencapai 20,8 persen. 

Kedua, partai agama cenderung gagal dalam mendefinisikan agenda politik. Definisi terhadap agenda politik cenderung konvensional, yaitu dengan tetap menggunakan isu-isu agama untuk menjaring dan memikat perhatian pemilih. Padahal, secara umum, bagi pemilih, isu agama tidak menjadi indikator utama dalam memilih partai politik. Temuan Charta Politika menunjukkan sebesar 59,6 persen pemilih memilih karena alasan figur atau kualitas personal dari calon anggota legislatif. 

Ketiga, jaringan dan segmen pemilih. Partai-partai agama kurang berhasil mencari segmen dan jaringan pemilih baru. Partai tersebut cenderung melanjutkan kembali basis-basis pemilih yang dulu pernah dikuasai oleh Partai Masyumi pada Pemilu 1955. Bahkan, trennya, suara partai berbasis agama cenderung menurun signifikan di lumbung-lumbung suara mereka pada 2004 dan 2009. 

Perolehan suara PKB pada 2009, misalnya, menurun signifikan di Jawa Timur dibanding perolehan pada Pemilu 1999 dan 2004. Lemahnya diferensiasi pada level isu dan program juga mempengaruhi jebloknya suara partai agama. Sangat sulit mengidentifikasi perbedaan gagasan antara satu partai dan partai lainnya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kebingungan di level pemilih, bahkan sering kali terjadi irisan pemilih di sejumlah basis suara.

Keempat, partai berbasis agama mengalami kemandekan dalam proses kaderisasi kepemimpinan. Dulu, lumbung-lumbung perkaderan kepemimpinan bekerja dengan baik, dan partai secara konsisten melakukan pematangan ideologisasi di tingkat kader. Sekarang, partai-partai kurang serius menjadikan proses kaderisasi kepemimpinan sebagai jalan untuk membentuk karakter dan menjaring pemilih baru. 

Bahkan beberapa partai mencari jalan pintas untuk mengatrol perolehan suara dengan menggandeng sejumlah artis papan atas. Bukannya malah mendapat simpati pemilih, partai itu malah dicibir. Belajar dari Pemilu 2009, dengan kecenderungan pemilih yang semakin rasional, faktor popularitas semata tak cukup untuk meraih dukungan pemilih. Hal itu tampak dari susahnya artis melaju ke Senayan. Bahkan banyak yang gagal mendapatkan tiket ke Senayan. Temuan Charta Politika menunjukkan terjadinya resistansi masyarakat terhadap figur artis, sekitar 62,1 persen responden mengaku tidak setuju partai merekrut artis sebagai calon anggota legislatif.

Evaluasi

Partai agama sudah di ujung tanduk. Bila gagal mengevaluasi diri, ia bisa dimakan zaman. Untuk bisa bertahan pada pemilu mendatang, saya kira partai agama dapat mengevaluasi beberapa hal, di antaranya evaluasi karakter dan agenda partai serta penerapan standar kualifikasi yang tinggi untuk merekrut calon anggota legislatif yang berkualitas.

Partai agama perlu ke tengah, yaitu dengan menggarap segmen pemilih tengah yang umumnya tidak menjadikan agama sebagai patokan utama dalam memilih. Kelompok tersebut bukan ekstrem kanan dan kiri. Mereka adalah mayoritas yang diam (silent majority) yang umumnya tertarik pada ide-ide baru dan suka dengan kebijakan-kebijakan yang populis, seperti kebijakan pemberantasan korupsi, pemerintahan yang bersih, dan sebagainya. 

Untuk bisa bertahan, partai agama perlu menjadi partai tengah (catch-all party), yaitu partai yang menyerap dan menyalurkan aspirasi serta ideologi semua lapisan sosial di masyarakat, dan pada proses pembuatan kebijakan cenderung menekankan kebijakan yang populis. Tahapan seleksi dan rekrutmen calon anggota legislatif perlu mendapat perhatian serius dari partai agama.

Penjaringan terhadap calon-calon anggota legislatif yang berkualitas (memiliki integritas dan empati, visioner) penting untuk dipertimbangkan bila partai agama masih ingin terus bertahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar