Senin, 24 September 2012

Penerbangan Rintisan


Penerbangan Rintisan
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ;  Pengamat Ekonomi
SINDO, 24 September 2012


Belum lama ini saya menghadiri pelantikan Uskup Gereja Katolik Ketapang, Kalimantan Barat. Pelantikan itu, yang menurut istilah gereja Katolik adalah penahbisan, ternyata dihadiri ribuan umat Katolik setempat dan ratusan tamu undangan dari seluruh Tanah Air. 
Bahkan uskup yang hadir dari seluruh Indonesia berjumlah 26 orang, pemandangan yang bagi kami sungguh luar biasa. Apalagi bagi masyarakat Katolik Ketapang, yang tentunya hal itu merupakan sesuatu yang sangat langka. Tamu undangan yang berasal dari Jawa tengah, tempat asal uskup baru Mgr Riana Prapdi Pr yang berasal dari Semarang, jumlahnya sangat banyak. Bagaimana semua tamu tersebut sampai ke kota kecil Ketapang?

Saya menggunakan penerbangan Garuda dari Jakarta ke Pontianak, kemudian bersambung penerbangan dari Pontianak ke Ketapang dengan menggunakan perusahaan penerbangan Trigana Air. Dari Pontianak ke Ketapang paling tidak ada tiga perusahaan penerbangan, yaitu Trigana Air, Kalstar, dan Indonesia Air. Tamu-tamu dari Jawa Tengah umumnya menggunakan penerbangan Trigana Air dari Semarang ke Ketapang melewati satu persinggahan, yaitu Pangkalan Bun.

Karena penerbangan tersebut juga berawal dari Surabaya, banyak tamu dari Jawa Timur yang menggunakan penerbangan tersebut. Hal yang mirip terjadi dengan penerbangan Kalstar yang juga terbang ke Pangkalan Bun dan Semarang maupun tempat lain di Pulau Jawa. Umumnya penerbangan tersebut menggunakan pesawat dengan baling-baling yang kapasitasnya cukup besar. Trigana Air untuk penerbangan ke Ketapang tersebut menggunakan pesawat ATR 72-200 buatan Prancis yang mampu mengangkut penumpang sampai 68 orang,suatu jumlah yang cukup besar.

Kalstar dan Trigana baru-baru ini juga memiliki penerbangan dari Jakarta ke Pontianak dengan menggunakan pesawat Boeing 737. Pengalaman melakukan penerbangan ke Ketapang tersebut membuka mata saya terhadap potensi yang dimiliki oleh penerbangan periphery semacam itu. Zaman dulu penerbangan semacam ini disebut sebagai penerbangan perintis.

Namun menurut hemat saya,penerbangan ini justru merupakan suatu celah pasar (market niche) yang luar biasa karena ternyata permintaannya cukup besar. Menurut informasi yang saya peroleh,tingkat keterisian penumpang di jalur-jalur tersebut cukup tinggi, sehingga membuat Indonesia Air, misalnya, mencoba memasuki persaingan di jalur tersebut.

Di Kalimantan Barat, penerbangan periphery melayani kota-kota kecil seperti Sintang di Kabupaten Sintang dan Putusibau di Kabupaten Kapuas Hulu. Penerbangan ke Sintang,misalnya, menjadi populer karena banyaknya perkebunan yang berkembang di wilayah tersebut dan sekitarnya. Jika perjalanan ditempuh dengan mobil maka dibutuhkan antara 6 sampai 8 jam untuk sampai di tempat, dengan kondisi jalan raya yang tidak mulus.

Kelelahan yang ditimbulkan maupun juga risiko yang harus dihadapi selama melakukan perjalanan darat tampaknya melampaui ambang batas, sehingga mendorong banyak warga melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang.Apalagi jika ingin mencapai Kota Putusibau yang jaraknya sekitar 700 kilometer dari Pontianak. Perjalanan darat jelas akan memakan waktu lebih dari 12 jam. (Saya sendiri pernah mengendarai mobil ke kota tersebut dan memakan waktu 16 jam).

Oleh karena itu, tersedianya penerbangan ke kota tersebut merupakan suatu solusi bagi mereka yang sering melakukan perjalanan ke kota itu. Sekarang ini, orang dari Kapuas Hulu bisa melakukan perjalanan ke Jakarta,bahkan ke luar negeri, dalam waktu yang singkat. Menariknya, sebuah perusahaan lain menggunakan pesawat yang lebih kecil melakukan penerbangan reguler dari Ketapang ke Sintang dan Putusibau maupun ke Nanga Pinoh, ibu kota Kabupaten Malawi di Kalimantan Barat.

Perusahaan dimaksud adalah Susi Air yang memang dikenal sebagai jawaranya penerbangan rintisan semacam itu. Ini berarti perusahaan penerbangan tersebut sungguh menciptakan pasar baru dan tidak memanfaatkan pasar yang diciptakan sistem hub and spokeyang tentunya berawal di Pontianak. Ini merupakan suatu contoh penerbangan yang bersifat point to point yang banyak terjadi di negara-negara lain.

Penumpang pada akhirnya memiliki alternatif apakah akan menggunakan penerbangan lain dengan pesawat yang lebih besar, yaitu ATR 72 yang berpenumpang 68 orangke Pontianak dan dari Pontianak bersambung ke Sintang atau Putusibau, atau dengan menggunakan Susi Air terbang langsung dari Ketapang ke Sintang dan Putusibau, tetapi dengan pesawat yang lebih kecil. Susi Air dewasa ini juga aktif melayani rute seperti Banjarmasin–Kotabaru maupun juga rute-rute lain di Pulau Kalimantan.

Dengan melihat perkembangan tersebut, saya bisa membayangkan betapa besar prospek penerbangan rintisan semacam ini. Penerbangan dari Pontianak ke Ketapang, yang dengan menggunakan pesawat baling-baling hanya memakan waktu 35 menit, memerlukan biaya lebih dari Rp600.000, harga yang tidak kalah dengan tiket dari Pontianak ke Jakarta yang menggunakan pesawat jet dengan lama penerbangan yang lebih panjang.

Ini jelas suatu sumber pendapatan yang cukup besar bagi penerbangan yang melayani rute tersebut. Jika bisnis semacam ini ditekuni terus dan dilakukan perbaikan di sana-sini, potensi berkembangnya bisnis ini akan menjadi semakin besar, terutama karena semakin besarnya kemampuan masyarakat untuk membayar jasa penerbangan. Jika dahulu untuk penerbangan rintisan semacam ini mensyaratkan subsidi dari pemerintah daerah agar tercapai kelayakan bisnisnya,rasanya dewasa ini usaha penerbangan semacam itu sudah menjadi sangat layak untuk dikelola secara komersial.

Dengan melihat per-kembangan tersebut, saya melihat potensi penerbangan semacam itu berkembang di tempattempat lain, bahkan mungkin juga di Pulau Jawa.Jika dewasa ini kita melihat berkembangnya bandar-bandar udara penting seperti Cengkareng, Surabaya, Semarang, Yogya, Solo, Bandung,dan Malang,maka ke depan prospeknya akan semakin terbuka bagi pengembangan penerbangan ke kotakota lain seperti Cilacap,Tasikmalaya, Cepu/Bojonegoro, Jember, dan Banyuwangi.

Dewasa ini bandar udara kecil seperti Banyuwangi pun sudah mulai berkembang dengan menghubungkan kota tersebut,dengan Denpasar dan Surabaya.Ke depan, perjalanan semacam ini akan menjadi daya tarik yang lebih besar bagi mereka yang memiliki mobilitas sangat tinggi. Lapangan kecil seperti Pondok Cabe, Curug, dan Rumpin di sekitar Jakarta akhirnya memiliki prospek untuk berkembang melayani penerbangan rintisan semacam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar