Minggu, 01 Juli 2012

Wajah Polri Pascareformasi

Wajah Polri Pascareformasi
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
SINDO, 30 Juni 2012
 

Memaknai refleksi hari Bhayangkara yang jatuh setiap 1 Juli, selain berhiaskan sejumlah prestasi gemilang, juga diselimuti kabut keprihatinan.

Betapa tidak, karena citra diri polisi dewasa ini yang lekat dengan fenomena kekerasan, kriminalitas, dan tindakan brutal dalam menjalankan tugas, tak ayal lagi polisi dikesankan dalam istilah Prancis sebagai “a corpse Perdu”, yaitu tindakan diluar batas-batas kompetensinya yang secara teknis yuridis dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik kepolisian dan pelanggaran HAM.

Perilaku polisi seperti itu, tiba-tiba membuyarkan image konstruktif di balik “smile of the police” sebagai salah satu aset pasukan bayangkara ini. Padahal sebagai institusi negara yang berfungsi sebagai pengayom dan pelindung rakyat,polisi pertama- tama harus memulai tugasnya dengan menanamkan “love humanity”. Polisi memang dituntut untuk tegas dalam mengejawantahkan fight crime.Namun dalam menghadapi kelompok aksi pengunjuk rasa,polisi sangat tidak dikehendaki untuk selalu bertindak represif.

Di sini aparat kepolisian harus mampu memilah dan memilih alasan kuat (argumentati gratia) dengan pilar utama“preventisbetterthencure”. Argumentasi sentral yang menjadi landasan terbitnya sikap apriori dan tidak simpatik publik di balik aksi berlebihan polisi, adalah karena tindakan brutal polisi seperti itu sudah sangat sering terjadi (ceteris paribus).

Padahal, bukankah Polri telah berkomitmen untuk berbenah diri dan membentuk citra polisi yang santun, ramah, serta profesional dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Bahkan sejak dikeluarkannya tap MPR No VI dan VII/MPR/2000 dan UU No 2/2002 sebagai dasar keterpisahan Polri dari TNI,maka korps kepolisian berkomitmen untuk menjauhkan diri dari kultur militeristik.

Deviasi

Fenomena deviasi yang melingkupi tantangan tugas Polri dewasa ini, jelas merupakan akibat langsung (causa efficiens) dari kegagalan program pembinaan dan aktualisasi paradigma baru Polri. Kalau tidak maka kampanye tentang paradigma baru Polri dimaksud, ternyata hanyalah merupakan jargon untuk menarik simpati publik terhadap institusi Polri dalam era reformasi.

Hal tersebut juga sebetulnya lebih menjadi medan konsumsi di tingkat elite Polri, sedangkan personal di tingkat lapangan hampir tak bergeming sedikit pun untuk menengok dan menganalisis lokomotif perubahan yang berlalu di hadapannya. Jika dicermati secara runut, fenomena kekerasan atau tindakan brutal yang kerap melibatkan oknum Polri, sebagian adalah manifestasi dari kekisruhan kurikulum dan pembinaan personel Polri di masa lalu yang terus berimbas di kekinian.

Sebagian lagi karena faktor personalitas oknum polisi yang cenderung bertemperamental tinggi, arogan atau ekspresi heroik, dan solidaritas korps Polri secara berlebihan. Selain pola represif seperti yang dikemukakan di atas, sejumlah oknum polisi sebetulnya cukup banyak yang terlibat skandal indisipliner,pelanggaran kode etik,bahkan tindak kriminal.

Hampir sudah bukan rahasia lagi jika beberapa tempattempat maksiat maupun sindikat perdagangan narkoba, justru di-backing bahkan dilakukan oleh oknum polisi yang tega menjual barang sitaan. Belum lagi tindakan amoral dan kriminal seperti pungli, pemerasan, selingkuh, sogok-menyogok, yang banyak melibatkan sosok yang berseragam cokelat ini. Sayangnya, skandal seperti ini amat jarang diekspos dan diselesaikan secara transparan, jujur, dan adil.

Kalaupun kasus seperti ini dilaporkan kepada atasan yang berhak menghukum, terjadi sikap acuh tak acuh,kepura-puraan dalam menerima pengaduan untuk seterusnya dipetieskan, maka biasanya juga hanya dalam bentuk teguran,mutasi,demosi,dan berbagai sanksi yang sama sekali tidak menimbulkan efek jera.

Hadirnya lembaga propam atau yang serupa dengan itu sebagai mekanisme internal Polri yang berwenang untuk melakukan projustisia terhadap anggotanya yang bermasalah, sulit dipercaya untuk menegakkan hukum dan keadilan demi mencegah pertumpahan darah (essen und blut) dalam interaksi kepolisian dengan publik.Pasalnya, karena pihak yang melakukan investigasi terhadap kasus yang melibatkan terperiksa adalah tim dari internal Polri sendiri.

Meski secara yuridis mekanisme itu sah, kualitas dan objektivitas dari output investigasi tim dimaksud sungguh merupakan hal yang tidak logis (ad absurdum) dalam mewujudkan keadilan. Bagaimanapun, ganasnya harimau tidak akan ada yang rela memakan anaknya, karena hanya orang gila saja yang mau membakar rumahnya sendiri.

Kriteria Penerimaan

Selama ini kita sering melihat perilaku sebagian oknum polisi yang cenderung beringas dan ugal-ugalan. Salah satu sebabnya adalah adanya mind stressing pertimbangan fisik dalam kriteria penerimaan anggota Polri dewasa ini.Sementara itu, dimensi moral dan potensi akhlaqul qarimah justru hanya sebagai pelengkap penderita.

Tragisnya lagi, karena program pembinaan profesionalitas anggota baik berdasarkan jenjang pendidikan maupun yang bersifat rutin,lagi-lagi terkonsentrasi pada aspek penguatan fisik dan pengayaan intelektual. Adapun aspek pengembangan kecerdasan emosi dan spiritual sebagai potensi yang sangat esensial dalam menopang interaksi konstruktif dari seorang anggota Polri dalam menghadapi medan tugas yang sangat sensitif, justru merupakan materi yang dianaktirikan dalam kurikulum pembinaan personil.

Tengoklah portofolio pembinaan mental (Bintal) dalam struktur Polri, yang keberadaannya dirasakan kurang efektif dan hanya memborosboroskan anggaran. Padahal, mungkin dalam benak kita tersimpan pemahaman bahwa ruang lingkup tugas Bintal seharusnya pada pemantapan moral berbasis agama, sebagaimana yang kerap dilakukan dalam proses pengaderan oleh ormas keagamaan Akibatnya wewenang Polri sebagai aparat penegak hukum, juga sering dieksploitasi dengan berbagai modus.

Banyak kasus sengaja dikriminalisasi secara paksa atau sebaliknya lebih karena ketidakcermatan atau terserempet mafia hukum. Rekening gendut yang melibatkan petinggi Polri dan para elite, nyaris dipetieskan. Tapi Polri sangat tegas, jika menyangkut teroris dan kriminal yang melibatkan kalangan papah. Belakangan ini makin menggejala sikap arogansi oknum anggota Polri yang dengan mudahnya mengintimidasi orang lain.

Tak pelak lagi, warga masyarakat yang selain menjadi korban penganiayaan hak dan kehormatan, oknum polisi juga tiba-tiba merasa paling berkuasa untuk melakukan penggeledahan, penahanan,penyitaan, bahkan perusakan barang milik warga dengan dalih penegakan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar