Selasa, 17 Juli 2012

Virtualitas Kita


Virtualitas Kita
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
KOMPAS, 17 Juli 2012

Sepuluh tahun lalu, Arief Budiman, ahli sosiologi politik lulusan Harvard itu, menulis pengantar buku Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2002. Ia membuat sinyalemen bahwa karya-karya dalam kumpulan itu memiliki kecenderungan untuk lebih kerap memasuki wilayah supranatural dan juga mistik.

Kecenderungan itu ia baca sebagai bagian dari ketakberdayaan para pengarang—pekerja budaya yang terbiasa dengan dunia imajiner—menghadapi realitas aktual yang ternyata jauh lebih ”imajinatif” ketimbang fiksi dan fantasi sang pengarang. Sepuluh tahun kemudian, ketika saya dipercaya membuat pengantar yang sama bagi edisi KCK 2012, saya menemukan bukti sahih sinyalemen Arief Budiman di atas.

Tsunami Data

Mengenai sebab, pertama, kita bisa mengafirmasi kenyataan hidup mutakhir ditandai oleh kian luas dan pekatnya kompleksitas hidup. Bukan saja akibat bertambahnya jumlah, intensitas, dan kualitas persoalan, juga terbukanya ruang pemahaman dan kesadaran kita akan apa saja yang terjadi di muka bumi ini.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti melesakkan—dengan kekuatan dan kapasitas tsunami—data peristiwa itu, termasuk data intelijen dan rahasia lainnya, ke dalam alam sadar kita yang secara tradisional terbiasa dengan jumlah input data yang lebih kecil. Terjadi apa yang disebut ”bencana data” yang menciptakan semacam ”gegar data”, di mana kapasitas tradisional memori dan proses penyerapannya tak mampu menampung. Akhirnya terjadi semacam kekacauan dalam proses pemahaman, penyimpulan, hingga ekspresinya.

Bagi anak muda di bawah usia 20 tahunan, tsunami data ini direspons dengan membuat cara baru dalam mengabsorpsinya. Mereka melakukan pemindaian (scanning) yang mengakibatkan data tak lagi teramati, terpahami, dan terpergunakan secara akurat dan adekuat. Bagi generasi sebelumnya, yang masih dalam tradisi manual-tradisional, terjadi seleksi otomatis. Akibatnya, sebagian besar data itu tidak berhasil diangkat ke atas-sadar dan terbuang ke dalam lembah gelap bawah-sadar.

Pada saat yang bersamaan, sebab kedua muncul dengan dahsyatnya, juga dengan menggunakan kendaraan globalisasi yang dilengkapi perangkat dahsyat teknologi informasi dan komunikasi. Dalam satu kata, hal kedua ini bisa kita sebut sebagai virtual world atau dunia virtual, dengan jenderalnya yang bernama internet. Sebuah dunia yang berkembang menjadi realitas alternatif. Di sana berdiam orang dewasa, dan terutama anak muda dan remaja, dalam sebuah kenyamanan hidup (fiksional) yang tidak mereka temukan dalam hidup aktualnya sehari-hari.

Dalam virtualitas ini, kita bisa menciptakan klaim dengan kebebasan tak terperi. Kita bisa menyatakan diri, beraktualisasi, mengkreasi apa pun, bahkan menyisihkan siapa pun yang menghalangi. Kita menciptakan kebenaran kita sendiri, dunia kita sendiri, dengan kebebasan (artifisial) yang terberi. ”Terberi” yang dimaksud adalah legitimasi yang diberikan oleh sistem (demokrasi dan kapitalisme) yang kita pilih dan terapkan.

Hal yang menarik dan sangat berbahaya adalah ketika kenyamanan realitas yang virtual itu kemudian dianggap sebagai ”realitas sesungguhnya”. Lalu, sebagian dari mereka memindahkan ”realitas sesungguhnya” itu ke dalam realitas aktual. Dan, menggunakannya sebagai acuan bahkan panduan bagi ia dalam menegaskan eksistensi, beraktualisasi dan mengonstitusi hidup nyata serta bagi orang lain.

Maka, saksikanlah komunitas cosplay, harajuku, star trek, little monster (fans Lady Gaga), kaum punk baru di banyak perempatan jalan, dan seterusnya. Mereka sudah tak lagi mampu mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengaktualisasi dunia pragmatis- praktis di sekitarnya. Jadilah mereka—masyarakat atau bangsa itu—sebuah adab baru yang virtual, fantasional, dan ilusional.

Menunggangi Teknologi

Dua sebab itu saja—di samping beberapa sebab lain yang dapat dideretkan—sudah jadi pangkal dahsyat untuk menciptakan realitas baru kita, sebagaimana yang antara lain terepresentasikan oleh para pengarang di KCK 2012.

Pada diri pengarang, seperti dinyatakan banyak kalangan, ada semacam tugas kenabian—yang bersilang tumpuk dengan tugas keshamanan—untuk mencari makna, signifikansi, dan hikmah dari pergulatan abadi manusia dalam dikotomi realitas tersebut. Jika kemudian para pengarang sudah ”lari” dengan ekor terlipat ke wilayah unreal atau hyper-real, jelas ia menjadi indikasi telah terjadi keletihan luar biasa, bahkan frustrasi, ketakutan luar biasa bahkan kepengecutan, dalam menghadapi ”realitas sesungguhnya”. Sebagian bahkan menganggap—secara filosofis dan ontologis, katanya—justru yang terakhir itu sebenarnya yang tiada. Apalagi agama menyiapkan apologi purbanya: bahwa kenyataan nyata itu sesungguhnya fana dan yang sejati ada dalam baka.

Baik, kita tidak membicarakan agama, yang dalam hal ini sebenarnya lebih diposisikan secara apologetik, bukan dalam posisi teologis apalagi spiritualnya. Yang kita pantas cemaskan kini adalah bagaimana bangsa kita, dalam tiap elemen dan tingkatannya, merespons atau menyikapi semua kondisi di atas demi kepentingan ke depan. Ketika anak cucu kita saat ini termangu dalam hidup yang penuh tipu.

Tak terelak kita mesti berbagi dan bersinergi—dengan segala kearifan dan kecerdasan yang kita miliki—untuk menerima, memahami, dan menggunakan adab global itu demi peningkatan harkat kebudayaan, kemanusiaan kita. Mungkin dapat dimulai dengan secara dewasa dan taktis menghentikan penggunaan dunia virtual atau gadget-gadget yang hanya menjerumuskan kita menjadi korban. Menyiasati bagaimana teknologi dan globalisasi dapat kita tunggangi, bukan sebaliknya. Menjadi master, bukan hambanya.

Mari kita berhenti memainkan spekulasi-spekulasi dalam kepala kita, menciptakan opini yang menyesatkan, dan memproduksi ilusi dalam cara kita bereksistensi hingga bernegara. Jangan gosip dipilin menjadi opini, bahkan berbuah kebenaran yang sebenarnya palsu. Termasuk berbagai kasus korupsi yang ditangani (KPK) belakangan ini, dipenuhi opini publik yang dibentuk berdasar bukan data tetapi ilusi. Sebutlah seperti sebuah stasiun TV yang berani menyatakan 70 persen publik (dalam poll yang diselenggarakannya) ”terlibat dalam korupsi”, sebelum satu pun data terbukti atau tervalidasi.

Bencana sebenarnya akan terjadi bukan ketika negara menjadi gagal, tetapi ketika kita gagal mengidentifikasi realitas aktual dan faktual kita sesungguhnya. Di titik itu, bukan lagi negara, tetapi kebudayaan yang gagal. Negara boleh gagal berkali-kali, tetapi sekali kebudayaan gagal, bangsa pun binasa. Dan, riwayatnya hapus, menyisa artefak lapuk di sejarah dunia. ●

1 komentar: