Virtualitas
Kita
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
KOMPAS,
17 Juli 2012
Sepuluh tahun lalu, Arief
Budiman, ahli sosiologi politik lulusan Harvard itu, menulis pengantar buku
Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2002. Ia membuat sinyalemen bahwa karya-karya
dalam kumpulan itu memiliki kecenderungan untuk lebih kerap memasuki wilayah
supranatural dan juga mistik.
Kecenderungan itu ia baca
sebagai bagian dari ketakberdayaan para pengarang—pekerja budaya yang terbiasa
dengan dunia imajiner—menghadapi realitas aktual yang ternyata jauh lebih
”imajinatif” ketimbang fiksi dan fantasi sang pengarang. Sepuluh tahun
kemudian, ketika saya dipercaya membuat pengantar yang sama bagi edisi KCK
2012, saya menemukan bukti sahih sinyalemen Arief Budiman di atas.
Tsunami Data
Mengenai sebab, pertama,
kita bisa mengafirmasi kenyataan hidup mutakhir ditandai oleh kian luas dan
pekatnya kompleksitas hidup. Bukan saja akibat bertambahnya jumlah, intensitas,
dan kualitas persoalan, juga terbukanya ruang pemahaman dan kesadaran kita akan
apa saja yang terjadi di muka bumi ini.
Kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi seperti melesakkan—dengan kekuatan dan kapasitas tsunami—data
peristiwa itu, termasuk data intelijen dan rahasia lainnya, ke dalam alam sadar
kita yang secara tradisional terbiasa dengan jumlah input data yang lebih
kecil. Terjadi apa yang disebut ”bencana data” yang menciptakan semacam ”gegar
data”, di mana kapasitas tradisional memori dan proses penyerapannya tak mampu
menampung. Akhirnya terjadi semacam kekacauan dalam proses pemahaman,
penyimpulan, hingga ekspresinya.
Bagi anak muda di bawah usia
20 tahunan, tsunami data ini direspons dengan membuat cara baru dalam
mengabsorpsinya. Mereka melakukan pemindaian (scanning) yang mengakibatkan data tak lagi teramati, terpahami, dan
terpergunakan secara akurat dan adekuat. Bagi generasi sebelumnya, yang masih
dalam tradisi manual-tradisional, terjadi seleksi otomatis. Akibatnya, sebagian
besar data itu tidak berhasil diangkat ke atas-sadar dan terbuang ke dalam
lembah gelap bawah-sadar.
Pada saat yang bersamaan,
sebab kedua muncul dengan dahsyatnya, juga dengan menggunakan kendaraan
globalisasi yang dilengkapi perangkat dahsyat teknologi informasi dan
komunikasi. Dalam satu kata, hal kedua ini bisa kita sebut sebagai virtual
world atau dunia virtual, dengan jenderalnya yang bernama internet. Sebuah
dunia yang berkembang menjadi realitas alternatif. Di sana berdiam orang
dewasa, dan terutama anak muda dan remaja, dalam sebuah kenyamanan hidup
(fiksional) yang tidak mereka temukan dalam hidup aktualnya sehari-hari.
Dalam virtualitas ini, kita
bisa menciptakan klaim dengan kebebasan tak terperi. Kita bisa menyatakan diri,
beraktualisasi, mengkreasi apa pun, bahkan menyisihkan siapa pun yang
menghalangi. Kita menciptakan kebenaran kita sendiri, dunia kita sendiri,
dengan kebebasan (artifisial) yang terberi. ”Terberi” yang dimaksud adalah
legitimasi yang diberikan oleh sistem (demokrasi dan kapitalisme) yang kita
pilih dan terapkan.
Hal yang menarik dan sangat
berbahaya adalah ketika kenyamanan realitas yang virtual itu kemudian dianggap
sebagai ”realitas sesungguhnya”. Lalu, sebagian dari mereka memindahkan
”realitas sesungguhnya” itu ke dalam realitas aktual. Dan, menggunakannya
sebagai acuan bahkan panduan bagi ia dalam menegaskan eksistensi,
beraktualisasi dan mengonstitusi hidup nyata serta bagi orang lain.
Maka, saksikanlah komunitas cosplay, harajuku, star trek, little monster
(fans Lady Gaga), kaum punk baru di
banyak perempatan jalan, dan seterusnya. Mereka sudah tak lagi mampu
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengaktualisasi dunia pragmatis- praktis di
sekitarnya. Jadilah mereka—masyarakat atau bangsa itu—sebuah adab baru yang
virtual, fantasional, dan ilusional.
Menunggangi Teknologi
Dua sebab itu saja—di
samping beberapa sebab lain yang dapat dideretkan—sudah jadi pangkal dahsyat
untuk menciptakan realitas baru kita, sebagaimana yang antara lain
terepresentasikan oleh para pengarang di KCK 2012.
Pada diri pengarang, seperti
dinyatakan banyak kalangan, ada semacam tugas kenabian—yang bersilang tumpuk
dengan tugas keshamanan—untuk mencari
makna, signifikansi, dan hikmah dari pergulatan abadi manusia dalam dikotomi
realitas tersebut. Jika kemudian para pengarang sudah ”lari” dengan ekor
terlipat ke wilayah unreal atau hyper-real, jelas ia menjadi indikasi
telah terjadi keletihan luar biasa, bahkan frustrasi, ketakutan luar biasa
bahkan kepengecutan, dalam menghadapi ”realitas sesungguhnya”. Sebagian bahkan
menganggap—secara filosofis dan ontologis, katanya—justru yang terakhir itu
sebenarnya yang tiada. Apalagi agama menyiapkan apologi purbanya: bahwa kenyataan nyata itu sesungguhnya fana dan
yang sejati ada dalam baka.
Baik, kita tidak
membicarakan agama, yang dalam hal ini sebenarnya lebih diposisikan secara
apologetik, bukan dalam posisi teologis apalagi spiritualnya. Yang kita pantas
cemaskan kini adalah bagaimana bangsa kita, dalam tiap elemen dan tingkatannya,
merespons atau menyikapi semua kondisi di atas demi kepentingan ke depan.
Ketika anak cucu kita saat ini termangu dalam hidup yang penuh tipu.
Tak terelak kita mesti
berbagi dan bersinergi—dengan segala kearifan dan kecerdasan yang kita
miliki—untuk menerima, memahami, dan menggunakan adab global itu demi
peningkatan harkat kebudayaan, kemanusiaan kita. Mungkin dapat dimulai dengan
secara dewasa dan taktis menghentikan penggunaan dunia virtual atau gadget-gadget
yang hanya menjerumuskan kita menjadi korban. Menyiasati bagaimana teknologi
dan globalisasi dapat kita tunggangi, bukan sebaliknya. Menjadi master, bukan
hambanya.
Mari kita berhenti memainkan
spekulasi-spekulasi dalam kepala kita, menciptakan opini yang menyesatkan, dan
memproduksi ilusi dalam cara kita bereksistensi hingga bernegara. Jangan gosip
dipilin menjadi opini, bahkan berbuah kebenaran yang sebenarnya palsu. Termasuk
berbagai kasus korupsi yang ditangani (KPK) belakangan ini, dipenuhi opini
publik yang dibentuk berdasar bukan data tetapi ilusi. Sebutlah seperti sebuah
stasiun TV yang berani menyatakan 70 persen publik (dalam poll yang diselenggarakannya) ”terlibat dalam korupsi”, sebelum
satu pun data terbukti atau tervalidasi.
Bencana sebenarnya akan
terjadi bukan ketika negara menjadi gagal, tetapi ketika kita gagal
mengidentifikasi realitas aktual dan faktual kita sesungguhnya. Di titik itu,
bukan lagi negara, tetapi kebudayaan yang gagal. Negara boleh gagal berkali-kali, tetapi sekali kebudayaan gagal, bangsa
pun binasa. Dan, riwayatnya hapus, menyisa artefak lapuk di sejarah dunia. ●
izin share ya. trims.
BalasHapus