Selasa, 17 Juli 2012

Pembelian Surat Berharga IMF dan Penanggulangan Kemiskinan


Pembelian Surat Berharga IMF
dan Penanggulangan Kemiskinan
Carunia Mulya Firdausy ; Guru Besar dan Profesor Riset Bidang Ekonomi
Pusat Penelitian Ekonomi LIPI
MEDIA INDONESIA, 17 Juli 2012

PEMBELIAN surat berharga International Monetary Fund (IMF) oleh pemerintah sebesar US$1 miliar baru-baru ini telah menuai kritik berbagai pihak. Salah satu kritiknya yakni langkah tersebut berpotensi ‘mematikan’ upaya dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Ini sekaligus dapat diartikan bahwa jargon pembangunan pro-poor hanya sebatas jargon dan belum serius menjadi komitmen nasional pembangunan.
Kritik tersebut tentu sah-sah saja terutama jika pembelian surat berharga IMF dicairkan dari sumber yang berasal dari pos dana penanggulangan kemiskinan. Jika tidak, lantas bagaimana agar pembelian surat berharga tersebut memberikan keuntungan bagi upaya pemberantasan kemiskinan? Mengapa pula dana untuk upaya tersebut tidak boleh dikurangi?

Sebagaimana diketahui, dasar utama IMF melakukan penjualan surat berharga kepada berbagai negara ialah krisis ekonomi yang terjadi di Eropa telah merontokkan kinerja pertumbuhan negaranegara di zona tersebut. Berawal dari utang yang melebihi produk domestik bruto (PDB) Yunani, yang menyebabkan negara tersebut mengalami kesulitan dana pembangunan negara. Kesulitan tersebut selanjutnya memengaruhi pembangunan ekonomi negara Eropa lainnya, terutama negara mitra dekatnya seperti Italia, Portugal, dan Spanyol.

Efek domino krisis ekonomi di negara-negara tersebut kemudian berimplikasi pada perekonomian negara-negara maju di Eropa, seperti Jerman dan Prancis. Akibatnya, dana talangan untuk menangani krisis ekonomi tidak hanya terbatas untuk Yunani, tetapi juga untuk negara Eropa lainnya. Mengingat negara-negara di Eropa itu merupakan anggota IMF, penjualan surat berharga menjadi salah satu solusi dalam mengatasi krisis ekonomi di negara-negara tersebut.

Pembelian surat berharga IMF oleh Indonesia tentu dapat membantu IMF dalam memberikan talangan kepada negara Eropa yang mengalami krisis. Namun, persoalannya tentu tidak berhenti di situ saja. Yang juga harus menjadi pertimbangan pemerintah yakni bagaimana implikasi pembelian surat berharga tersebut sekaligus menguntungkan Indonesia dalam pembangunan jangka pendek, bukan sebaliknya.

Optimalisasi Keuntungan
Untuk mengoptimalkan keuntungan jangka pendek dari pembelian surat berharga IMF, pemerintah agaknya perlu menelusuri list pinjaman Indonesia yang berasal dari negara-negara di Eropa. Salah satu pinjaman yang nilainya relatif besar ialah berasal dari Jerman. Pembayaran pinjaman selayaknya dapat dinegosiasikan oleh pemerintah untuk dialihkan dalam bentuk debt swap bagi peruntukan pengembangan pendidikan dan infrastruktur perdesaan serta upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
Selain bentuk debt swap, pemerintah misalnya juga dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah Italia dalam mengembangkan proyek pembangkit tenaga listrik, yang kini telah dilakukan di Nusa Tenggara Barat, untuk diterapkan juga di daerah lainnya.

Pentingnya negosiasi dan kerja sama pemerintah dengan negara-negara Eropa melalui contoh tadi dimaksudkan agar keuntungan kita tidak hanya dipatok berupa bunga pinjaman semata. Selain itu, juga harus diperhitungkan di atas
bunga pinjaman semata. Selain itu, juga harus diper hitungkan di atas kerugian kesempatan kita untuk pencapaian program pembangunan terutama yang bersifat pro-job dan pro-poor. Mengapa demikian?

Argumentasi utama pentingnya fokus pembangunan yang berorientasi pro-poor dan pro-job yakni karena persoalan kemiskinan saat ini dan mendatang tidak lagi sebatas bagaimana pemerintah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di atas garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar Rp250 ribu per orang per bulan. Namun, yang terpenting yakni bagaimana pemerintah menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), dan mengurangi disparitas pembangunan di berbagai daerah.

Ketimpangan Pendapatan

Perhatian terhadap program tersebut disebabkan fakta yang berkembang saat ini bahwa persoalan ketimpangan pendapatan menjadi persoalan yang semakin kritis di Indonesia selain persoalan kemiskinan itu sendiri.

Rhee (2012), Kepala Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB), mencatat bahwa masalah ketimpangan pendapatan di 11 negara di Asia termasuk Indonesia telah meningkat dalam 10 tahun terakhir.

Rasio Gini Indonesia, misalnya, meningkat dari 0,29 pada 2000 menjadi 0,39 pada 2010. Demikian pula dengan China yang meningkat dari 0,32 menjadi 0,43. Adapun India meningkat dari 0,33 menjadi 0,37 dalam 10 tahun terakhir.

Ketimpangan pendapatan tersebut terjadi pada lebih dari 80% dari jumlah penduduk di Asia.

Oleh karena itu, pembelian surat berharga IMF oleh pemerintah sebesar US$1 miliar harus dimanfaatkan sebaik mungkin dalam membangun kesejahteraan masyarakat. Barangkali inilah kesempatan emas bagi pemerintah dalam mengoptimalkan pembelian surat berharga IMF tersebut. Jika tidak, pembelian surat berharga IMF hanya akan menjadi catatan pemasukan bunga semata, tanpa memberikan pengaruh positif bagi kesejahteraan masyarakat.

Padahal kita membutuhkannya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar