Minggu, 01 Juli 2012

Merumahkan (Kembali) Pancasila

Merumahkan (Kembali) Pancasila
Trisno S Sutanto ; Koordinator Penelitian Biro Litkom PGI
KOMPAS, 30 Juni 2012


Mungkin ironis, kalau bukan tragis, bahwa Pancasila hanya dilirik saat bulan Juni tiba, lalu dilupakan kembali.

Apalagi hampir semua praktik kekuasaan, dari presiden sampai kepala daerah, justru menafikan butir-butir yang terkandung di dalamnya. Terlalu panjang jika mau disebut satu per satu bagaimana setiap butir Pancasila diingkari. Dan praktik pengingkaran ini, kalau dibiarkan terus-menerus, sudah menggerus alasan dasar mengapa Indonesia, sebagai entitas negara-bangsa, didirikan dan patut dipertahankan.

Pancasila tak lain adalah seni mengelola kemajemukan. Jika butir-butirnya dinafikan, bahkan sengaja diingkari, jelas Indonesia sebagai negara-bangsa ”tempat kemajemukan suku, budaya, bahasa, agama, keyakinan, dan adat tumbuh subur” sudah tak punya alasan untuk berdiri.

Ada contoh bagus untuk itu. Beberapa waktu lalu saya menghadiri peluncuran buku karya Pastor Neles Tebay dan diskusi ”Jalan Damai Papua”. Seorang peserta mengajukan pertanyaan yang mengentak nurani. Kata anak muda dari Papua itu, sampai sekarang ia tidak tahu apa alasan Papua harus jadi bagian dari Indonesia, dan apakah memang benar bahwa Papua merupakan bagian utuh dari Indonesia.

Pengalaman seumur hidupnya mengajarkan: Papua tak pernah mendapat untung apa-apa, malah terus-menerus jadi ladang pembantaian dan eksploitasi besar-besaran sumber daya alam.

Saya kira, ketika mengajukan pertanyaan itu, pemuda dari Papua sedang mempersoalkan seluruh konstruk tentang keindonesiaan kita dan membuat frase ”Persatuan Indonesia” dalam Pancasila problematis. Apa landasan persatuan kalau seluruh pengalaman empiris justru menafikannya? Seperti sebuah keluarga, untuk apa terus mempertahankan keutuhan apabila pengalaman memperlihatkan persatuan justru menyengsarakan? Bukankah jalan perceraian pilihan yang lebih masuk akal?

Rumah Bersama

Sengaja saya membahasakan ulang pertanyaan itu dengan merujuk pada keluarga sebab Pancasila sering disebut sebagai ”rumah bersama” tempat tiap kelompok, apa pun latar suku, agama, adat, kepercayaan, warna kulitnya dapat menemukan tempat dan betah tinggal di situ.

Namun, dalam sejarah negeri ini banyak penghuni rumah itu merasa makin tersingkir, bahkan selalu ditempatkan di luar rumah bersama itu, menjadi orang yang (di)asing(kan). Kita dapat menemukan gema pertanyaan pemuda Papua itu pada banyak kelompok: Ahmadiyah, Syiah, para penghayat tradisi dan kepercayaan lokal, kelompok etnis dan agama minoritas, sampai kelompok yang (di)marjinal(kan) lainnya, seperti LGBTQ. Rumah bersama itu kian tak mampu mengayomi mereka.

Soalnya memang mendasar. Seperti sebuah keluarga, yang diikat lebih oleh rasa saling percaya dan saling menerima, dan bukan sekadar ikatan darah, begitu juga suatu bangsa sebagai ”komunitas terbayangkan”. Orang, komunitas, atau kelompok menjadi bagian utuh dari suatu bangsa karena dalam pengalaman riil mereka merasa diterima, diberi tempat, diperlakukan setara, dan ikut dilibatkan mengurus kepentingan bersama, dan ini pada gilirannya, semakin memperkukuh serat-serat pengikat suatu bangsa.

Saya kira, serat-serat ini yang sekarang sedang tercerai-berai setelah 14 tahun reformasi berjalan. Ruang-ruang politik yang terbuka makin lebar pascalengser Soeharto Mei 1998 membuat kelompok-kelompok dengan berbagai ideologi dan kepentingan bebas tampil ke permukaan. Dan dalam demokrasi elektoral, ketika jumlah suara (satu-satunya) tolok ukur, maka berlaku diktum klasik bahwa the winner takes all. Di situ kelompok (di)marjinal (kan) lalu dianggap tak ada, suara mereka tak perlu didengar, eksis- tensinya bisa dimusnahkan.

Menurut saya, persis di situlah tantangan paling serius terhadap Pancasila sebagai seni dan cara mengelola kemajemukan: bagaimana menjadikannya fungsional, bukan sekadar lampiran pidato pejabat yang hanya ditengok saban Juni tiba. Itulah agenda strategi kebudayaan kita ke depan.

Kecambah ”Civic Pluralism”

Ada sisi lain yang perlu diteroka karena mungkin dapat menjadi titik tolak bagi agenda strategi kebudayaan itu. Di tengah masifnya penyingkiran kelompok- kelompok yang (di)marjinal(kan) dan pengabaian negara, justru muncul suara dan gerakan tandingan dari civil society yang merebut kembali makna Pancasila.

Memang benar, suara dan gerakan ini masih sporadis, malah cenderung terfragmentasi. Namun, saya kira gejala ini memberi secercah harapan karena di situ Pancasila tak diperlakukan sebagai ideologi yang hanya dilirik saban Juni tiba, tapi selaku diskursus tandingan terhadap arus penyeragaman. Dan ini bertitik pangkal dalam perjumpaan konkret lintas-batas, baik agama, keyakinan, etnis, sampai orientasi seks. Pada tiap titik perjumpaan itu serat-serat yang makin tercerai-berai kembali dirajut. Kali ini: tanpa tangan kuat negara!

Bagi saya inilah kecambah baru civic pluralism yang lebih kasih harapan ketimbang pidato para politisi. Bentuk dan situs pertarungannya bisa beragam, dari aksi Little Monsters yang kecewa Lady Gaga gagal tampil sampai kelompok lintas agama pembela hak-hak beribadah GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Jamaah Ahmadiyah, Syiah. Kampanye kultural BedaIsMe yang diadakan merayakan kemajemukan sekaligus Hari Pancasila adalah contoh par excellence perebutan makna itu.

Perjumpaan konkret lintas batas itu menyediakan laboratorium tempat kemajemukan diterima-dihargai-dirayakan. Pancasila menjadi kerangka bersama. Kali ini bukan sebagai ideologi dominan paksaan rezim otoriter seperti Orba, tapi hasil eksperi- mentasi merumahkannya lagi, menjadikannya betul-betul rumah bagi setiap orang. Semoga saya tidak sedang bermimpi! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar