Selasa, 03 Juli 2012

Kapitalisasi Alam


Kapitalisasi Alam
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 02 Juli 2012


Konferensi Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro (Rio+20), Brasil, 20-22 Juni, usai sudah. Pada akhir pertemuan, ratusan kepala negara menyepakati deklarasi politik yang disiapkan beberapa hari sebelumnya: "The Future We Want". 

Dokumen 53 halaman itu dibuat oleh United Nations Environmental Programme (UNEP). Isinya memuat komitmen negara-negara anggota PBB yang meneguhkan kembali niat merawat bumi. Sepanjang konferensi, perundingan dokumen ini berlangsung tertutup. Kalaupun ada hal baru, itu sebatas pengakuan atas eksistensi masyarakat adat. Sebaliknya, perlindungan kehidupan laut, pembatasan subsidi BBM fosil, dan jaminan hak-hak warga miskin gagal disepakati.

Seperti yang sudah-sudah, konferensi menimbulkan kekecewaan. Gro Harlem Brundtland, misalnya, tak yakin hasil Rio+20 bisa mengatasi krisis sosial dan lingkungan. Pengamat lingkungan dan penulis laporan pembangunan berkelanjutan PBB 25 tahun lalu itu yakin hasil konferensi bakal mendorong pemerintah di negara-negara berkembang untuk mempersilakan korporasi besar membabat sumber daya alam di negeri mereka. Seperti KTT Bumi 20 tahun lalu, demikian pula aneka kesepakatan penyelamatan bumi di bawah PBB, konferensi alpa mengatur sepak terjang korporasi transnasional (TNCs). Padahal TNCs paling bertanggung jawab atas aneka kerusakan lingkungan, pengurasan sumber daya alam, dan menciptakan pola-pola konsumsi sesaat serta budaya konsumtif.

Meski ada kesadaran kuat bumi makin rusak, komitmen dalam "The Future We Want" akan bernasib sama seperti 20 tahun lalu: tak lebih dari retorika politik belaka. Dalam dokumen itu ditawarkan konsep green economy (ekonomi hijau) sebagai platform pembangunan baru. Ekonomi hijau inilah yang menggantikan platform pembangunan berkelanjutan yang dihasilkan di Rio 20 tahun lalu. Sejatinya, ekonomi hijau tak lebih re-branding pembangunan berkelanjutan. Salah satu elemen penting ekonomi hijau adalah pasar jasa-jasa lingkungan hidup yang dihitung dengan melakukan valuasi lingkungan. Penciptaan pasar jasa-jasa lingkungan didasari oleh kegagalan pasar menampung kebutuhan sosial dan lingkungan dalam pasar ekonomi. Lewat valuasi lingkungan, jasa sosial dan lingkungan yang tidak punya nilai karena tak punya pasar akhirnya tertampung di pasar. Muslihat para ekonom neoliberal itu menghasilkan aneka skema jasa lingkungan hidup, seperti perdagangan karbon (carbon sink) melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM), pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan (reduction of emission from deforestation and forest degradation (REDD), atau jasa keanekaragaman hayati (the economic of ecosystem and biodiversities/TEEB).

Pasar jasa lingkungan melibatkan dua pihak: penjual (sellers) atau penyedia (providers) jasa, dan pembeli (buyers) atau penerima (beneficiaries) jasa lingkungan hidup. Penjual dan pembeli jasa lingkungan hidup akan bertemu dalam arena transaksi jual-beli atau pasar jasa lingkungan hidup. Seperti pada umumnya pasar, posisi penjual dan pembeli tidak selalu setara. Para penjual jasa lingkungan adalah negara-negara miskin dan berkembang yang mengandalkan ekonomi pada berkah sumber daya alam, seperti pertanian, kehutanan, atau perikanan.

Sebaliknya, pembeli adalah negara-negara maju yang menumpukan ekonomi pada industri, transportasi, pertambangan, dan industri ekstraktif lain yang amat polutif dan berdampak eksternal tinggi pada lingkungan. Penjual-pembeli memikul dan mengemban agenda serta kepentingan ekonomi-sosial-politik yang berbeda. Negara-negara maju tidak mau mengerem laju ekonomi dan mengubah industrinya yang polutif atau mengubah gaya konsumsi yang boros. Untuk mempertahankan gaya hidup itu, dengan kekuatan finansialnya mereka membeli jasa-jasa lingkungan yang ditawarkan negara-negara berkembang dan miskin. Sebaliknya, negara berkembang dan miskin, karena kapasitasnya terbatas, jadi tak berdaya. Jika kemudian transaksi jual-beli jasa-jasa lingkungan berjalan timpang dan jauh dari pasar sempurna, itu adalah sebuah keniscayaan. Ironisnya, keniscayaan itu sengaja diciptakan.

Skema pasar jasa lingkungan yang diusung ekonomi hijau sama sekali tidak menjawab persoalan kerusakan lingkungan yang makin masif. Ekonomi hijau mustahil melahirkan perubahan paradigma di industri, konsumsi, dan gaya hidup. Lewat pasar jasa lingkungan, baik CDM, REDD, maupun TEEB, negara maju mendapatkan tiket resmi untuk terus menyemburkan karbon, mencemari atmosfer dan lingkungan, sepanjang bisa membeli hak emisi, tapak hutan, dan keanekaragaman hayati negara lain. Lewat CDM, misalnya, negara-negara industri bisa bebas menyemburkan emisi karbonnya. Lewat CDM, mereka tidak perlu mengubah gaya hidup boros dan rakus. Di sisi lain, negara miskin penerima dana CDM wajib menjaga hutan. Hutan menjadi wilayah keramat dan dilarang dijamah siapa pun, termasuk masyarakat adat yang hidup di sekitar dan di dalam hutan, yang telah selama ratusan tahun secara turun-temurun memanfaatkan sumber daya hutan untuk penghidupan. Lewat CDM, terjadilah pengusiran warga adat besar-besaran.

Jadi, melalui jasa lingkungan, sementara semula hanya tanah, kini justru atmosfer, hutan, dan keanekaragaman hayati diprivatisasi. Di balik ekonomi hijau, terselip agenda busuk: metamorfosis kapitalisme dengan menjadikan lingkungan dan alam sebagai komoditas baru nan seksi. Proses kapitalisasi alam inilah yang sejatinya terjadi di Rio de Janeiro. Hal ini sama halnya dengan memutar uang tanpa peduli potensi dampak yang mengerikan, termasuk deforestasi, kenaikan emisi, business as usual dalam pola produksi dan konsumsi, serta pelanggaran hak-hak asasi masyarakat adat. Fakta ini menunjukkan, kalkulasi untung-rugi dalam bisnis telah mensubordinasi isu lingkungan dari pembangunan ekonomi.

Indonesia, yang diharapkan bisa jadi penghubung antara kepentingan negara maju dan negara miskin, justru mempromosikan kapitalisasi alam. Ini bisa dibaca dari dua dokumen yang dirilis di Rio: "Indonesia and Rio+20" dan "Submission by the Government of the Republic of Indonesia to the Zero Draft of UNCSD 2012 Outcome Document". Sepertinya, isu lingkungan tidak pernah jadi arus utama dalam peradaban manusia. Tanpa sanksi tegas dan mengamalkan prinsip "tanggung jawab bersama yang dibedakan" (common but differentiated responsibilities), prinsip yang diadopsi Konvensi Perubahan Iklim, upaya menyelamatkan bumi hanya berujung kesia-siaan. Bumi akan selamat bila negara maju secara kesatria mengakui "dosa" masa lalu seperti terekam dalam jejak industri mereka, dan mau memikul beban dosa tanpa perlu menyeret negara miskin. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar