Selasa, 10 Juli 2012

Sedekah untuk IMF?


Sedekah untuk IMF?
Jusman Dalle ; Analis Ekonomi Society Research and Humanity Development Institute, Analis pada Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia Makassar
REPUBLIKA, 09 Juli 2012


Pada pertemuan G-20 di Los Cabos, Meksiko, Juni lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memaksa anggota G-20 memberi bantuan dalam bentuk pinjaman atau sumbangan untuk mengantisipasi dampak krisis global.  IMF mengancam, jika anggota G-20 tidak segera memberi bantuan untuk disalurkan kepada negara yang didera krisis, krisis di Eropa akan turut menghancurkan ekonomi negara-negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika, termasuk mengancam ekspor negara-negara anggota G-20. Selama ini, donasi terbesar IMF datang dari Amerika dan Eropa.

Namun, negara-negara yang dulu dikultuskan sebagai driver ekonomi dunia itu justru jatuh miskin. Sebagai salah satu anggota G-20, Pemerintah Indonesia tentu tak enak hati jika tidak turut mengamini permintaan lembaga yang pernah melilit Indonesia dengan utang itu. Menteri Keuangan Agus Martowardoyo mengatakan, memberikan bantuan kepada IMF sesungguhnya mencerminkan stabilitas keuangan bangsa dan kemampuan membantu lembaga peminjam yang berpusat di Washington itu.

Hanya karena gengsi, Indonesia lantas latah mengikuti Cina yang menyiapkan 10,43 miliar dolar AS atau 10 persen dari total kebutuhan IMF. Kita harus realistis dengan PDB Indonesia masih rendah, berkisar 3.500-4.000 dolar AS(?).

Sementara, cadangan devisa kita hanya 111,5 miliar dolar AS-apalagi imbas krisis yang mengoreksi devisa akibat tertahannya ekspor-impor. Bandingkan dengan Cina yang cadangan devisanya di atas 2,5 triliun dolar AS dan PDB dua kali lipat Indonesia.

Niat baik membawa Indonesia berperan lebih jauh dalam percaturan ekonomi global tentu sah-sah saja dan tak akan mendapat kritik ketika rencana tersebut realistis dan relevan dengan kon disi bangsa kita. Namun faktanya, Indonesia sendiri belumlah bebas dari berbagai masalah pelik di bidang sosial ekonomi yang kadung membelit; mulai dari kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan pendidikan, infrastruktur tak layak, utang membengkak, dan berbagai problem lainnya.

Seperti dilansir oleh Badan Pusat Statistik, warga miskin di Indonesia pada Maret 2012 masih tercatat 29,13 juta jiwa atau 11,96 persen dari total penduduk. Tak hanya itu, angka pengangguran juga masih sangat besar, mencapai 8,12 juta dari 119,4 juta angkatan kerja. Memberikan bantuan dana bailout sebesar 1 miliar dolar AS atau setara Rp 9,4 triliun kepada IMF, tentu mencederai rasa keadilan rakyat.

Bagi IMF, bantuan 1 miliar dolar AS dari Indonesia sebenarnya tak akan berarti banyak. Sangat jauh dari dana segar yang mereka butuhkan sebesar 430 miliar dolar AS. Ceritanya tentu menjadi berbeda jika Rp 9,4 triliun dialokasikan untuk mengungkit kesejahteraan rakyat, seperti bantuan modal bagi pengusaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Dari total 52,764 juta UMKM di Indonesia saat ini, baru 24,88 juta yang bisa mengakses bantuan modal perbankan.

Padahal pada forum yang sama, G-20 Summit, Indonesia dijadikan model sebagai negara yang katanya sukses membuka akses keuangan bagi rakyatnya, termasuk pengusaha. Di sisi lain, peran UMKM dalam membuka lapangan kerja sa ngat besar. Lebih dari 90 persen peker ja di Indonesia bekerja pada sektor UMKM. Tak hanya menjadi kritik atas keberpihakan pada pelaku ekonomi domestik yang menjadi sabuk pengaman bagi Indonesia dari krisis, sekarang negara ini juga masih menjadi negara pengutang.

Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan per Mei 2012 menunjukkan, total utang Pemerintah Indonesia mencapai Rp 1.944,14 triliun atau naik Rp 140,65 triliun dari posisi pada akhir 2011 yang mencapai Rp 1.803,49 triliun. Terakhir, dalam kunjungannya ke Australia pada awal Juli ini, Indonesia akan kembali dikucuri utang sebesar Rp 9 triliun oleh Negara Kanguru itu. Komposisi utang pemerintah terdiri atas pinjaman Rp 639,88 triliun dan surat berharga Rp 1.304,26 triliun. Adalah paradoks jika di tengah tumpukan dan beban pembayaran utang, pemerintah justru memberikan piutang kepada IMF.

Dengan rasio utang 26,5 persen atau nyaris diambang batas toleransi, semestinya anggaran yang ada digunakan pada sektor produktif. Utang yang membengkak jelas menciptakan situasi yang berbahaya untuk jangka panjang. Jika APBN terbebani pembayaran utang disertai bunganya, pembangunan berjalan lamban karena kita sibuk bayar utang. Belum lagi APBN yang baru pertengahan tahun, tetapi telah mengalami defisit mengerikan hingga Rp 60 triliun.

Pun dengan peran IMF selama ini dalam memajukan ekonomi global juga dipertanyakan. Di dalam bukunya yang berjudul Kegagalan Globalisasi dan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional(2002), peraih Nobel Ekonomi 2001 Joseph E Stiglitz, yang juga pernah menjadi wakil presiden Bank Dunia, mengatakan, IMF tak lain hanyalah perpanjangan tangan Amerika dan negara- negara kuat di Eropa untuk mengintervensi negara lain.

IMF datang ke negara berkembang memberikan resep liberalisasi ekonomi sehingga memudahkan jalan bagi hegemoni kekuatan yang ada di dalamnya untuk melakukan imperialisme ekonomi. Ingat, Indonesia adalah termasuk yang dirugikan oleh IMF melalui berbagai kebijakan liberalisasi ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar