Selasa, 10 Juli 2012

Problematika Istilah ‘Islamis’


Problematika Istilah ‘Islamis’
Firman Noor ; Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Peneliti Madya LIPI, PhD dari University of Exeter Inggris
REPUBLIKA, 09 Juli 2012

Pada sebuah pertemuan ilmiah, salah seorang pengajar senior di Australian National University (ANU) Prof Ann Kumar pernah menyampaikan keberatan mengenai istilah "Islamis" untuk melabelkan kelompok umat Islam yang berpolitik. Dia berkata, mengapa ketika umat Islam berpolitik dengan melandaskan diri pada nilai-nilai kegamaan yang dianutnya mudah saja orang menyebutnya sebagai "Islamis". Dia melanjutkan, tapi mengapa tatkala orang non-Muslim berpolitik dengan keyakinannya, pengamat Barat tidak serta-merta menyebutnya sebagai "Hinduist", "Buddhist", ataupun "Christianist".

Memang dalam kenyataannya, kalangan Hindu yang tergabung dalam Bharatiya Janata Party (BJP), yang berorientasi Hindu amat kental di India, tidak serta-merta disebut sebagai "Hinduist". Begitu pula dengan partai Christian Democratic Union (CDU) di Jerman dan berbagai partai agama sejenisnya atau setidaknya berlabelkan agama Kristen juga tidak disebut dengan istilah "Christianist".

Padahal, jelas-jelas partai-partai itu menggunakan label keagamaan yang dianutnya. Kemudian, dengan identitas Buddha yang kuat, mengapa pemerintahan Sinhala di Sri Lanka tidak dengan mudah disebut Rezim "Buddhist", yang berperang dengan kalangan minoritas Hindu.

Sebagian kalangan akademisi ataupun politisi di Barat dan kebanyakan pengamat kerap demikian objektif dan hati-hati dalam menerapkan istilah dan label pada sebuah gerakan yang bernuasakan keagamaan. Mungkin itu pulalah mereka tidak dengan mudah menyebut sebuah gerakan atau organisasi sebagai 'Hinduist'', 'Buddhist', atau 'Christianist'.

Namun, manakala mengkaji gerakan Islam, mereka seolah kehilangan sikap kehati-hatiannya itu. Dengan demikian, kerap sebagian dari mereka dengan mudahnya menyamaratakan semua gerakan Islam itu dengan sebutan Islamis. Kecenderungan ini, menurut Prof Ahmad Suhelmi, bukanlah hal baru. Cendekiawan sekelas Max Weber sekalipun, yang demikian berhati-hati dalam mengupas eksistensi agama semacam Protestan dan "agama Tokugawa", terlihat cair manakala membahas Islam. Alhasil, berbeda dengan Protestan dan agama Tokugawa yang diagungkan Weber dekat dengan semangat modernisme, Islam dipandang minor dan dianggap antimodernisme.

Tidak saja menjadi tidak imbang dan subjektif, sayangnya, istilah Islamis itu kerap lebih bernuansakan negatif dan bahkan melecehkan. Dengan demikian, tatkala istilah Islamis itu diterapkan pada sebuah gerakan atau tokoh, hampir dapat dipastikan muncul pencitraan dan pembahasan yang kental dan disandingkan dengan sikap kekerasan, tidak toleran, antidemokrasi, dan setumpuk citra negatif lainnya.

Selain persoalan di atas, dalam lingkup akademis, istilah Islamis sebenarnya cukup sulit diterapkan untuk melakukan klasifikasi ilmiah. Penerapannya lebih sulit jika dibandingkan istilah "tradisionalisme Islam", "modernisme Islam", atau bahkan "fundamentalisme Islam". Mengapa? Karena secara substansi istilah ini mengandung spektrum yang amat luas. "Islamis" dengan pemahaman bebas dan singkat dapat diartikan "mereka yang menggunakan Islam sebagai landasan berpikir dan bergerak". Sama dengan komunis, misalnya, sebagai penanda bagi mereka yang menggunakan komunisme (Marxisme-Leninisme) sebagai kerangka berpikir atau berperilaku.

Dalam kerangka sederhana dan tanpa embel-embel itu, dapat segera terlihat bahwa istilah Islamis ini mencakup semua gerakan dan pemikiran yang mendapatkan inspirasi dari ajaran-ajaran Islam. Hal ini berarti termaktub di dalamnya seluruh pemikir Islam, mulai yang berorientasi tradisionalis, modernis, fundamentalis, dan liberalis. Istilah ini juga menaungi seluruh partai dan gerakan Islam, baik yang berkecenderungan substansialistik maupun formalistik. Dengan demikian, menyebut Islamis berarti secara substansi merujuk pada keseluruhan umat Islam, yang kebanyakan dari mereka dituntun atau terins pirasi oleh agama yang dianutnya.

Kalau kemudian ada pembatasan lebih lanjut untuk lebih membela kategorisasi Islamis dengan mengatakan Islamis yang dimaksud adalah --selain terinspirasi oleh Islam-- "mereka yang mengedepankan simbol-simbol keislaman", sebagaimana yang dikatakan, misalnya, oleh Greg Barton (2004), batasan Islamis dengan embel-embel ini pun tetap akan mencakup banyak sekali varian pemikiran dan gerakan.

Dalam konteks gerakan saja, istilah Islamis semacam ini setidaknya mencakup, mulai dari (1) mereka yang mengedepankan cara-cara damai, konstitusional, dan demokratis, (2) mereka yang mengedepankan cara damai, tapi tidak mengakui demokrasi, (3) mereka yang tidak mengakui konstitusi dan tidak pula menolak cara-cara kekerasan, (4) mereka yang mengakui eksistensi negara yang ada berikut konstitusinya, tetapi tidak asing dengan cara-cara kekerasan, (5) hingga mereka yang mendahulukan cara-cara yang inkonstitusional dan kekerasan.

Di Indonesia, misalnya, untuk kelom pok yang pertama, termasuk di dalamnya Partai Sarekat Islam Indonesia, kebanyakan partai Islam pada era Demokrasi Liberal, seperti Masyumi dan partai-partai yang tergabung dalam "Faksi Islam" di parlemen, yang salah satu tuntutannya menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Beberapa partai Islam, semisal PKS, PPP, dan PBB, pada era Reformasi, juga beberapa ormas Islam yang berkomitmen atas penegakan syariah Islam, tetapi mengupayakannya dengan cara-cara persuasif.

Kelompok yang kedua dapat direpresentasikan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang mengedepankan cara damai, tapi tidak mengakui konstitusi negara dan demokrasi. Kalangan DI/TII masuk dalam kategori ketiga. Front Pembela Islam (FPI) dapat dikategorikan pada kelompok yang keempat. Dan, sisanya adalah kelompok yang dekat dengan cara-cara teroris yang cenderung anti-Islam, meski bagi mereka Islam dan kegelisahan umat Islam adalah inspirasinya.

Dengan menggunakan definisi Islamis sedemikian, akan kuat pula kecenderungan untuk menyamakan begitu saja seorang Natsir yang demokrat dengan seorang Baasyir yang anti-demokrasi. Jika kemudian istilah Islamis dikembangkan lagi dengan menambah embel-embel "dengan cara-cara yang mengedepankan kekerasan", setelah tambahan definisi sebelumnya, nah, di situlah letak ketidakadilan dan ketidakobjektifan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar