Rokok
dan Wong Cilik
Badrul Munir ; Dokter,
Saat Ini Sedang Studi
Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Saraf FK Unair
KOMPAS,
21 Juli 2012
Rencana pemerintah untuk menerbitkan
Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Tembakau mendapat tantangan keras
dari buruh-petani tembakau dan kalangan industri rokok di beberapa daerah.
Dengan adanya (rancangan) PP baru ini, mereka
khawatir akan kehilangan mata pencarian. Angka pengangguran pun dikhawatirkan
melonjak, terutama untuk masyarakat golongan rendah yang selama ini tergantung
dari industri tembakau, seperti buruh tembakau, buruh pabrik rokok, petani,
pengecer rokok, dan masyarakat kecil lainnya.
Perlu diketahui, saat ini sekitar 34 juta
pekerja yang bersentuhan dengan industri rokok, baik langsung maupun tidak
langsung. Apabila industri rokok menurun atau bahkan tutup, bisa dibayangkan
berapa juta pengangguran baru yang muncul, terutama masyarakat kecil.
Karena PP ini diduga berpotensi ”mematikan”
industri rokok dan meningkatkan pengangguran, pemerintah dituduh tidak berpihak
dengan rakyat kecil. Namun, yang jadi sorotan kita adalah, benarkah dengan
adanya PP Pengendalian Tembakau akan merugikan wong cilik? Atau, dengan bahasa
lain, apakah selama ini industri tembakau (rokok) menguntungkan wong cilik?
Menurut Badan Pusat Statistik, tahun 2005
jumlah petani tembakau 1,6 persen dari jumlah tenaga sektor pertanian (2,2
juta) atau 0,7 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia. Namun, kesejahteraan
buruh tembakau sangat rendah.
Masih dari data BPS 2005, jumlah jam kerja
buruh tembakau dalam sehari 7-8 jam dengan upah rata-rata hanya 47 persen dari
upah buruh nasional. Bahkan, upah buruh tembakau paling rendah setelah buruh
cokelat, hanya separuh dari upah buruh tebu, dan jauh di bawah buruh teh, kopi,
dan padi. Lebih menyedihkan, 68 persen buruh tembakau perokok aktif,
menghabiskan seperempat upah hariannya untuk membeli rokok.
Petani tembakau juga dalam posisi lemah.
Penentuan harga tembakau sangat tidak adil dan didasarkan pada grade tembakau
yang ditentukan pabrik rokok. Akibatnya, petani dalam posisi menerima dengan
harga murah.
Di bidang kesehatan, para petani tembakau
juga sangat rentan terhadap penyakit akibat kerja, seperti green tobacco
sickness akibat paparan nikotin basah dan pestisida dengan gejala sesak napas,
pusing, mual-muntah, kram perut, dan lemah badan.
Pada sisi lain, penjualan rokok dan jumlah
perokok aktif di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar 2010, jumlah perokok di Indonesia 82 juta jiwa atau 34 persen dari
penduduk Indonesia. Angka ini meningkat bila dibandingkan tahun 2007 (60 juta)
dan tahun 1995 (34,7 juta). Lebih menyedihkan lagi, kelompok masyarakat miskin
yang merokok jauh lebih tinggi daripada masyarakat kaya, yakni 57 persen.
Umumnya mereka hidup di pedesaan dan hanya tamat SD.
Bahkan, pengeluaran untuk membeli rokok
menempati peringkat kedua (19 persen) dari semua pengeluaran keluarga setelah
membeli beras. Angka ini jauh lebih tinggi daripada untuk membeli daging-susu
(7 persen) dan pengobatan (2,5 persen).
Maka, tak mengherankan bila industri rokok
terus berkembang dan mendapat laba yang berlipat. Dari data majalah Forbes,
pengusaha terkaya di Indonesia tahun 2011, peringkat satu dan kedua adalah
pemilik PT Djarum (omzet Rp 127,4 triliun) dan PT Gudang Garam (Rp 91 triliun).
Kekayaan tersebut sebagian besar berasal dari ”sumbangan” perokok masyarakat
miskin: sesuatu yang ironi dan menyedihkan.
Pada sisi lain, kesejahteraan buruh rokok
masih memprihatinkan. Jam kerja yang panjang, jaminan kesehatan yang buruk,
upah buruh yang masih rendah, dan sistem outsourching masih menjadi masalah
klasik para buruh rokok tersebut.
Tingginya konsumsi rokok di kalangan masyarakat
miskin terutama akibat rendahnya pengetahuan tentang bahaya rokok dan gencarnya
iklan rokok di media massa. Untuk itu, perlu ”campur tangan” negara
(pemerintah). Dengan adanya PP Pengendalian Tembakau, diharapkan masyarakat
kalangan bawah mendapat informasi yang benar tentang rokok secara utuh sehingga
mereka tidak diperdaya oleh pengusaha industri rokok untuk meraup keuntungan
dengan menggadaikan kesehatan wong cilik.
Rancangan PP ini diharapkan juga memberi
perlindungan perokok pasif dalam haknya untuk bebas dari asap rokok. Sebab,
bahaya perokok pasif tak kalah dari perokok aktif. Bila perokok aktif mendapat
25 persen zat kimia dalam asap rokok, 75 persen zat kimia akan diembuskan di
udara dan berpotensi terhirup orang lain. Yang mengerikan, lebih dari 4.000 zat
kimia berbahaya siap ”menyerang” perokok pasif. Saat ini 97 juta lebih penduduk
perokok pasif kebanyakan di bawah usia 15 tahun, termasuk anak dan ibu hamil
(data Lembaga Demografi FE-UI).
Usia perokok yang muda juga diatur dalam
rancangan PP ini. Perlu diketahui, jumlah perokok remaja terus meningkat dari
tahun ke tahun (78 persen perokok mulai sejak di bawah 19 tahun). Ini akan
memberi dampak kesehatan yang sangat buruk akibat lamanya mereka terpapar asap
rokok. Membatasi usia merokok sangat penting diterapkan dalam peraturan
pemerintah demi menjaga kualitas generasi muda.
Merokok memang adalah hak
setiap orang, tetapi memberi penjelasan yang paripurna tentang bahaya rokok
adalah kewajiban negara (pemerintah) untuk melindungi warganya. Alasan
penolakan Rancangan PP Pengendalian Tembakau karena akan merugikan wong cilik
hanya akal bulus para pengusaha rokok agar tidak rugi dalam industri ”asap maut tersebut”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar