Babak
Baru (Sains) Perikanan Dunia
Alan F Koropitan ; Lektor Kepala Bidang Oseanografi, IPB, dan
Anggota Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia
KOMPAS,
21 Juli 2012
Uraian Arif Satria tentang Babak Baru
Perikanan Dunia yang dimuat Kompas, 8 Juni 2012, sangat menarik untuk dibahas
lebih lanjut. Babak baru perikanan dunia, menurut Arif, adalah berdasarkan
kesadaran China—yang notabene adalah produsen ikan terbesar dunia—untuk
mengendalikan laju pertumbuhan perikanan tangkap.
Kesadaran China, termasuk Jepang, terlihat
melalui upaya mengurangi jumlah kapal ikan. Namun, Arif tidak mengungkapkan
bahwa baik China maupun Jepang justru mengalami peningkatan konsumsi energi
untuk mesin kapal ikan, seperti yang diungkapkan oleh laporan yang sama (FAO,
2010).
Jadi, dalam hal ini memang terjadi penurunan
jumlah kapal ikan, tetapi jumlah hari layar mengalami peningkatan. Data FAO
(2010) memperlihatkan bahwa produksi perikanan tangkap China meningkat dari
12,4 juta ton (2004) menjadi 12,7 juta ton (2009). Akhirnya, Uni Eropa coba
mengatasi hal ini dengan mengeluarkan kebijakan pembatasan usaha (effort)
penangkapan dengan mempertimbangkan jumlah kapal (ukuran tonase), total
konsumsi energi, dan jumlah hari layar yang berlaku bagi negara-negara Eropa.
Fakta lain terkait perikanan tangkap adalah
kemampuan penangkapan oleh satu unit alat tangkap yang sangat ditentukan oleh
faktor sains dan teknologi. Hal ini terlihat pada bervariasinya kapasitas
produksi tahunan oleh setiap orang yang bekerja di bidang perikanan.
Menurut FAO (2010), rata-rata produksi ikan
tahunan per orang di Asia hanya 2,4 ton. Sementara di Eropa sudah hampir 24 ton
dan Amerika Utara sebesar 18 ton.
Pemahaman akan sains untuk perikanan sudah
menjadi keharusan. Selain sangat diprioritaskan oleh banyak negara kelautan,
juga menjadi dasar bagi pengembangan teknologi.
Kemajuan sains dan teknologi di Eropa dan
Amerika Utara memang sudah berkembang lama sehingga menjadi modal kuat dalam
pengelolaan perikanan. Ini disadari betul oleh Jepang dan selanjutnya oleh
China.
Alhasil, berbagai upaya untuk mengatasi
ketertinggalan itu dilakukan. Di antaranya melalui dibukanya berbagai lembaga
riset perikanan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Pada tingkat nasional,
Jepang dan China masing-masing mendirikan Universitas Ilmu dan Teknologi
Kelautan di Tokyo dan Qing Dao.
Pada tingkat internasional dan regional, IGBP
(International Geosphere-Biosphere Programme) mengoordinasikan salah satu
proyek intinya yang dikenal dengan GLOBEC (Global Ocean Ecosystem Dynamic). Ada
lima aspek yang dikaji dalam riset GLOBEC, yaitu variabilitas iklim dan
pemanasan global yang berdampak pada ekosistem laut; dinamika jaringan rantai
makanan di laut; proses biogeokimiawi; sintesis dan prediksi, serta dampak
aktivitas manusia.
Interaksi kelima aspek tersebut membawa
banyak pemahaman baru, seperti pola pertumbuhan, habitat, migrasi, stok serta
kebijakan jumlah ikan yang dapat ditangkap pada periode dan lokasi tertentu.
Namun, sayangnya, sampai berakhirnya GLOBEC pada 2010, tidak ada partisipasi
aktif Indonesia untuk mengadopsi riset GLOBEC.
Pada pertemuan Ikatan Sarjana Oseanologi
Indonesia (ISOI) tahun 2010 di Bangka, Prof Cho-Teng Liu sebagai pembicara tamu
dari Institut Oseanografi, Universitas Nasional Taiwan, memaparkan pemahaman
siklus hidup tuna yang terintegrasi mulai dari ketersediaan nutrien bagi
fitoplankton diikuti pemangsaan oleh zooplankton, ikan pelagis kecil, dan
akhirnya tuna. Setelah pemahaman ini, mereka melakukan pengembangan teknologi
yang dapat melacak keberadaan tuna. Pertanyaan seorang peserta pada pertemuan
ISOI tersebut tentang kemampuan alat pelacak tuna itu hanya dijawab dengan
enteng oleh Prof Cho-Teng Liu: bahwa, pokoknya, mereka menangkap banyak.
Patrick Lehodey, seorang peneliti perikanan
di Sekretariat Pasifik Forum, mengembangkan model numerik untuk siklus hidup
dan distribusi tuna. Hasil modelnya telah divalidasi dengan alat penanda
elektronik yang ditaruh pada tubuh tuna (tuna tagging) sehingga sangat
bermanfaat untuk mengestimasi stok, rencana pengelolaan perikanan, termasuk
mengantisipasi penangkapan ilegal.
Isu berkelanjutan pada prinsipnya adalah
bagaimana memanfaatkan suatu sumber daya alam dengan cerdas dan pengelolaan
perikanan berkelanjutan hanya dapat tercapai melalui pemahaman sains dan
aplikasi teknologi yang tepat. Inilah langkah serius yang menjadi babak baru
perikanan dunia.
Indonesia paling tidak memiliki beberapa
universitas yang memiliki fakultas perikanan dan ilmu kelautan ataupun program
studi ilmu kelautan/oseanografi. Kita juga memiliki Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI, Badan Penelitian dan Pengembangan pada Kementerian Kelautan
dan Perikanan, serta beberapa institusi terkait lainnya yang melakukan kajian
tentang kelautan. Pada tingkat nasional, kita memiliki Dewan Kelautan Indonesia
yang dipimpin langsung oleh Presiden RI.
Namun, perumusan bidang kajian belum
terkoordinasi dengan baik dan tidak memiliki payung riset yang jelas. Kegiatan
penelitian masih berjalan sendiri-sendiri dan tidak tertutup kemungkinan
terjadi tumpang tindih. Hal ini diperparah dengan sistem anggaran birokrasi
yang kaku.
Ke depan, pengelolaan perikanan berkelanjutan
di Indonesia memiliki dua tantangan. Pertama, tantangan terhadap perubahan
lingkungan pesisir dan laut (akibat pencemaran dan penangkapan yang merusak).
Kedua, tantangan terkait perubahan iklim.
Untuk itu, prioritas kebijakan sains dan
teknologi untuk perikanan dan kelautan adalah suatu keharusan yang tidak dapat
ditawar. Tentu saja jika memang Indonesia ingin menghadirkan babak baru
perikanan dunia bagi dirinya sendiri.
Untuk menjawab tantangan ini, pertama, perlu
adanya konsorsium riset yang melibatkan seluruh universitas/lembaga penelitian
di mana secara administrasi dapat dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan atau Kementerian Riset dan Teknologi. Namun, arahan penelitian
dikelola oleh kelompok panel peneliti.
Kedua, sudah saatnya dibentuk satu
lembaga/yayasan yang khusus dan aktif mengelola dana penelitian yang sumbernya
dapat berasal dari hibah perorangan, swasta, pemerintah, baik dalam maupun luar
negeri. Sebagai contoh, Amerika Serikat memiliki National Science Foundation, Jepang dengan Japan Society for the Promotion of Science, dan China membuat
National Natural Science Foundation.
Ketiga, perlu dipertimbangkan adanya
universitas ilmu dan teknologi kelautan sebagai center of excellence kelautan Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar