Menuntut
Daulat Rakyat
Veri Junaedi ; Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem)
KOMPAS,
21 Juli 2012
Hari Selasa (17/7) digelar sidang ketiga
gugatan terhadap ketentuan ambang batas nasional sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD.
Gugatan ini diajukan oleh Koalisi Amankan
Pemilu dan 22 partai politik yang tidak punya kursi di DPR. Mereka
mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 208 yang mengatur ambang batas secara
nasional.
Menurut pemohon, ketentuan ambang batas
nasional terang- terangan mengesampingkan prinsip kedaulatan rakyat karena
tidak memperhitungkan suara pemilih dalam menentukan keterpilihan anggota DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Jadi, ini bukan sekadar soal partai mana yang
berhak menduduki kursi DPRD, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana suara
rakyat dijunjung tinggi sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Berbicara soal kedaulatan berarti bicara soal
siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Menurut Pasal 1 Ayat (2)
UUD 1945, pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Kedaulatan rakyat sebagai
kekuasaan tertinggi diwujudkan melalui pemilu. Di situ rakyat memberikan suara
untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD.
Kelembagaan DPR, DPD, presiden dan wakil
presiden, serta DPRD tidak memiliki legitimasi tanpa didasarkan pada pilihan
rakyat yang semestinya.
Oleh karena itu, pilihan rakyat itu harus
diberikan secara besar tanpa paksaan. Dengan kata lain, kekuasaan rakyat tidak
dapat ditundukkan oleh kekuasaan politik orang lain tanpa kesepakatan mereka.
Apalagi, jika kemudian kekuasaan rakyat itu dimanipulasi melalui sistem yang
tidak adil.
Peringatan terhadap sistem yang tidak adil
terhadap daulat rakyat pernah disampaikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
2009. Melalui Putusan No. 22-24/PUU-VI/2009, MK memperingatkan agar sistem
penetapan calon terpilih menjunjung tinggi pilihan rakyat.
Penetapan berdasarkan nomor urut dalam Pemilu
2009 dianggap tidak ramah terhadap pemilih karena tidak mengindahkan pilihan
rakyat.
Ketidakramahan itu semakin menjadi dengan
ketentuan ambang batas nasional yang tidak konsisten dengan semangat penetapan
calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Pemberlakuan ambang batas telah
mengingkari nilai kedaulatan. Mestinya, aturan itu konsisten dengan penetapan
suara terbanyak.
Aturan menghendaki dan menghargai kehendak
rakyat dalam pilihan langsung. Namun, aturan itu justru mengesampingkan daulat
rakyat dalam penetapan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Bagaimana
mungkin, penetapan calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota didasarkan
pada perolehan suara anggota DPR di tingkat nasional.
Ambang batas nasional telah sengaja didesain
untuk menganulir pilihan rakyat di daerah. Perolehan suara di tingkat nasional
sebagai patokan jelas tidak logis karena tidak ada jaminan bahwa pemilih akan
memberikan suara yang sama untuk DPR dan DPRD. Karena itu, pemberlakuan ambang
batas nasional nyata-nyata telah menganulir kedaulatan rakyat. Pilihan rakyat
dalam suara terbanyak dianulir oleh aturan yang diberlakukan secara
diskriminatif.
Pasal 22 E Ayat (2) UUD 1945 memberikan
mandat konstitusional agar pilihan dilakukan secara berjenjang. Pemilu untuk
memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden, anggota DPRD
provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota. Artinya, desain konstitusi
membedakan lima sasaran penggunaan hak pilih. Pemberian hak suara dilakukan
dengan tingkat representasi yang berbeda, baik terhadap anggota DPR, DPD,
presiden dan wakil presiden, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD
kabupaten/kota.
Praktik pemilihan turut memperkuat mandat
konstitusional. Praktik pemilu, pemilih memberikan suara berbeda untuk anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Kertas suara untuk anggota DPR dimasukkan
dalam kotak suara warna kuning, surat suara untuk memilih anggota DPRD provinsi
dimasukkan ke kotak suara warna biru, dan surat suara untuk memilih anggota
DPRD kabupaten/kota dimasukkan ke kotak suara warna putih.
Praktik ini secara eksplisit menunjukkan
bahwa alat ukur untuk menentukan keterpilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah
berbeda. Sebagai salah satu wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, suara yang
ditujukan ke dalam kotak suara tertentu tidak boleh menegasikan dan mereduksi
makna pemberian suara ke kotak lain. Begitu juga dengan pemberian suara untuk
memilih anggota DPR, tidak boleh dijadikan dasar dan diberlakukan untuk
menentukan keterpilihan dan keterwakilan anggota DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota. Sebab, pilihan rakyat sangat mungkin berbeda untuk setiap kotak
suara ataupun pilihan partai politik.
Membuktikannya, terlihat dari beragamnya
partai politik di daerah. Partai nonkursi DPR eksis berdasarkan pilihan rakyat.
Beberapa daerah menunjukkan bahwa partai-partai nonkursi DPR memperoleh
dukungan rakyat cukup signifikan sehingga memiliki kursi di DPRD.
Beberapa partai nonkursi DPR mampu menembus
lima besar perolehan kursi di sembilan daerah. Partai Kebangkitan Nasional
Ulama (PKNU) di Jawa Timur. PNI Marhaenisme di Bali. Partai Bulan Bintang (PBB)
di Nusa Tenggara Barat. Partai Damai Sejahtera di Sulawesi Utara dan Sulawesi
Tengah. Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI) di Sulawesi
Tenggara. PBB di Maluku Utara. Partai Patriot di Papua dan Partai Demokrasi
Kebangsaan (PDK) di Papua Barat.
Mengingat itu, sangat beralasan untuk
menuntut daulat rakyat. Semoga Mahkamah Konstitusi menunjukkan keberpihakannya
terhadap daulat rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar