Selasa, 17 Juli 2012

Ritus Kultural Munggahan


Ritus Kultural Munggahan
Asep Salahudin ; Kandidat Doktor Unpad dan Wakil Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya MEDIA INDONESIA, 17 Juli 2012

MASYARAKAT etnik Sunda sudah tidak asing lagi dengan istilah munggahan, sebuah ritus kultural yang diselenggarakan sebagai bentuk penyambutan datangnya bulan suci Ramadan. Itu merupakan sikap pemuliaan budaya lokal akan hadirnya bulan yang disucikan dalam agama Islam.

Dalam munggahan terjadi proses interaksi simbolis yang sangat menarik. Orang kota atau mereka yang selama ini mengembara ke wilayah lain pulang ke kampung halaman untuk menjalin silaturahim, saling memaafkan, dan kalau perlu nyekar ke leluhur yang telah lama meninggalkan alam fana.

Munggahan menjadi sebentuk jembatan untuk memperantarai kembali ingatan akan akar dan masa silam, dalam konteks ini disimbolisasikan dengan ‘kampung halaman’. Di ‘kampung halaman’ diandaikan, diri akan mengalami lonjakan spiritual (munggahan berasal dari kata munggah yang berarti ‘naik’) karena di sana telah tersedia keakraban, solidaritas, dan kesantunan sosial yang notabene berbanding terbalik dengan fakta keseharian di kota yang serbasoliter, tidak kenal sesama, diburu waktu, dan menjadi mesin. Dalam kajian antropologi, suasana seperti itu disebut closed coorporate community.

Kalau kita mau jujur, setiap kita sejatinya tidak akan bisa berkelit dari masa lalu. Masa lalu selalu menyekap kita baik dalam makna positif maupun negatif. Contoh ingatan masa lalu yang positif itu ialah munggahan. Inilah yang disebut Durkhaim sebagai ‘kenangan sejarah’.

“Akan sulit ditemukan,” demikian jelas Mircea Eliade, “Contoh yang lebih mengesankan dari kepercayaan bahwa setiap kelahiran baru itu mewakili sebuah ikhtisar yang simbolis dari asal usul alam semesta dan mitos sejarah. Objek dari ikhtisar ini untuk mengenalkan sang bayi yang baru lahir itu pada realitas sakramen dunia dan kebudayaan, dan dengan demikian mengesahkan keberdayaan sang bayi dengan mengumumkan bahwa dia telah menyesuaikan diri dengan modal pola mitos itu. Namun ini belum semuanya, sang bayi yang baru lahir itu juga dijadikan saksi terhadap beberapa ‘seri mula’. Dan seseorang tidak akan dapat berbuat sesuatu kecuali ia mengetahui asal usul sejarahnya dan bagaimana itu terjadi.”

Makna Spiritual

Munggahan sebagai metafora untuk menaikkan kualitas jiwa tentu merupakan gugusan kearifan perenial sebagai wujud ekspresi leluhur kita dalam merumuskan dialog antara agama dan budaya.

Itu mengenai bagaimana nenek moyang kita membangun sebuah konsep diri dan konstruksi tafsir keagamaan yang benar-benar mengakar dalam memori kolektif masyarakat. Hal tersebut menjadi sebuah peneguhan bahwa beragama yang benar tidak mengandung makna harus bertolak belakang dengan akar kultural yang telah memupuknya dalam bentangan waktu yang lama. Justru se baliknya, penghayatan keagamaan yang benar hampir selalu berbanding lurus dengan sikap memosisikan budaya sebagai jembatan untuk memperkaya alam pikiran dan pengalaman keagamaan seseorang. Inilah yang dalam tradisi epistemologi hukum Islam disebut ‘urf’.

Urf bagi saya merupakan rumusan metodologis hukum Islam yang cemerlang dalam rangka mendialogkan agama dengan budaya lokal tanpa harus satu sama lain saling menegaskan, tapi justru saling melengkapi, memberi, dan memperkaya sudut pandang.
Munggahan merupakan contoh nyata tentang hal tersebut. Kalau dialihbahasakan ke dalam idiom agama, munggahan menjadi serupa dengan silaturahim. Bahkan, boleh jadi maknanya bukan sekadar silaturahim, melainkan juga memuat `konsep lain' yang berkaitan dengan nuansa psikologis, atmosfer sosiologis, dan sensitivitas sosial yang tidak cukup kuat kalau hanya diwadahi dengan idiom silaturahim.

Inilah yang dahulu disebut almarhum Gus Dur sebagai pribumisasi Islam. Islam dengan wajah pribumi lengkap dengan budayanya dianggap penting agar umat tidak kehilangan pijakan kultural. Pribumisasi yang memperkaya agama dan budaya satu sama lain. Islam tumbuh dengan keragaman budaya, tidak monolitik.

Agama dan kebudayaan saling memengaruhi karena keduanya memiliki simbol dan dikomunikasikan juga secara simbolis. Agama merupakan simbol nilai ketaatan kepada Tuhan, sedangkan kebudayaan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya.

Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo (1986), agama memerlukan budaya seperti budaya membutuhkan agama. Agama tanpa budaya akan kering, sebagaimana kebudayaan tanpa topangan agama tidak akan memiliki visi yang jelas. Melalui agama dan budaya, kata Huntington, seperti dikutip Larry S Samovar (2010), manusia menjelaskan diri mereka.

Nilai Penting

Munggahan (menaikkan kualitas diri dalam makna hakiki) menjadi penting justru ketika saat ini keberagaman kita sering kali terlepas dari substansi. Upacara-upacara religius seperti puasa, misalnya, acap kali berhenti sebatas ritual yang kehilangan makna terdalamnya.

Ramadan yang datang setiap tahun, yang seharusnya mampu melonjakkan muruah kita baik sebagai individu ataupun sebagai umat dan bangsa, pada kenyataannya tidak banyak memiliki pengaruh signifikan.

Di sisi lain, beragama pun menjadi terpenggal dari arus budaya lokal. Orang merasa belum sempurna kalau belum mengganti idiom-idiom dengan bahasa Arab, belum merasa sempurna kalau tradisi keseharian tidak identik dengan manusia Timur Tengah.
Itu bukan hanya pada aspek kebiasaannya, tidak sedikit yang nalar dan ideologinya merujuk kepada bangsa lain yang belum tentu relevan dengan konteks nalar dan budaya kita.

Dengan sangat sempurna, saat ini posisi kita baik sebagai umat ataupun sebagai bagian dari bangsa sedang kehilangan arah dalam segala sisi. Kehilangan jati diri dan karakter unggul yang dapat dibanggakan. Lihat saja, korupsi semakin gila bahkan kitab suci pun tidak luput dari perampokan. Anggaran negara menjadi ajang bancakan politisi tengik yang telah kehilangan akal sehat. Kekerasan nyaris menjamur dan terus mengalami peningkatan.

Bagi saya, munggahan harus kita tempatkan sebagai `modal sosial' untuk bersama-sama munggahkeun (menaikkan) harkat diri demi terengkuhnya muruah kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar