“Panas
Dingin” Indonesia-IMF
Sunarsip ; Ekonom
The Indonesia Economic Intelligence,
Pengajar
Program Magister Ekonomi Universitas Trisakti
REPUBLIKA,
16 Juli 2012
Dalam
seminggu ini, diskursus terkait dengan Dana Moneter Internasional (IMF) cukup menyita
perhatian publik. Penyebabnya adalah rencana Indonesia membeli obligasi yang
diterbitkan IMF sebesar satu miliar dolar AS. Kini, IMF memang terlihat aktif
mendatangi negara-negara yang dinilainya memiliki kinerja ekonomi kuat untuk
menggalang pendanaan melalui penjualan obligasi, termasuk kepada Indonesia. Nantinya,
dana hasil penjualan obligasi tersebut digunakan untuk membiayai pemulihan
krisis ekonomi global yang kini terjadi.
Sebenarnya,
tidak ada yang aneh dengan keputusan Indonesia untuk membeli obligasi IMF ini.
Pembelian obligasi IMF oleh Bank Indonesia (BI) sesungguhnya hal biasa,
sebagaimana penempatan dana BI di berbagai surat berharga yang diterbitkan oleh
suatu negara. Kemudian, dari penempatan dana ini, BI akan memperoleh keuntungan
(return), baik dalam bentuk yield maupun bunga (meskipun rendah).
Pertanyaannya, lalu mengapa transaksi pembelian obligasi IMF ini kini
menimbulkan kontroversi?
Saya
melihat bahwa penolakan terhadap keputusan pembelian obligasi IMF ini
setidaknya dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, sejarah gelap ketika IMF
menangani krisis ekonomi Indonesia pada 1997-2000-an. Kedua, IMF telah dinilai
sebagai institusi gagal dalam menjalankan misinya: menciptakan kestabilan
ekonomi global. Karena itu, tidak relevan bila kita masih menaruh kepercayaan
pa da IMF akan mampu mengatasi krisis ekonomi global saat ini.
Kita
memang memiliki sejarah gelap ketika IMF terlibat dalam pemulihan krisis
ekonomi 15 tahun lalu. Resep yang digunakan IMF saat itu dinilai telah menimbulkan
beban yang berat bagi rakyat, meskipun pada akhirnya kita berhasil keluar dari
krisis. Pada 1998, misalnya, kita mengalami resesi ekonomi yang ditandai dengan
pertumbuhan ekonomi negatif dan inflasi yang sangat tinggi (hyperinflation). Biaya yang harus kita
tanggung juga sangat besar, sebagaimana terlihat dari munculnya utang baru
(berupa obligasi rekap berbunga komersial) sekitar Rp 650 triliun.
IMF
juga dinilai tidak akurat dalam kegiatan pemantauan (surveillance). Perlu diketahui, surveillance
adalah salah satu fungsi utama IMF. Melalui surveillance,
IMF melakukan pemantauan terkait dengan perkembangan dan kebijakan ekonomi
negara anggotanya. Terjadinya krisis Meksiko (1994/1995) dan krisis Asia
(1997/1998) adalah bukti ketidakakuratan surveillance
IMF. Meksiko yang tadinya dinyatakan telah keluar dari krisis pada 1993 akibat
krisis utang 1982, lalu tiba-tiba pada 1994/1995 kembali terkena krisis.
Sementara itu, negara-negara ASEAN-5, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, dan Thailand yang setiap tahunnya tumbuh rata-rata 7-8 persen,
tiba-tiba jatuh terkena krisis.
Kegagalan
surveillance IMF juga pernah tertuang
dalam laporan US Government Accounting
Office (GAO), badan auditnya Amerika Serikat. Dalam laporannya, GAO
menyatakan bahwa laporan IMF berupa World
Economic Outlook (WEO) memiliki catatan yang kurang akurat dalam
memprediksi resesi. Laporan GAO menyebutkan, selama 1991-2001, WEO hanya
memprediksi secara akurat 15 dari 134 resesi yang terjadi di negara berkembang.
Sedangkan sisanya, sebanyak 119 resesi justru diprediksi sebaliknya: mengalami
pertumbuhan.
Nah,
atas dasar inilah yang kira-kira melatarbelakangi sejumlah kalangan mempertanyakan
rencana Indonesia yang hendak memberikan pinjaman kepada IMF tersebut. Apakah
IMF masih bisa dipercaya untuk menyembuhkan krisis global saat ini? Namun, jika
kita mencermatinya secara jernih, pembelian obligasi IMF tersebut sesungguhnya
bukanlah hal yang negatif. Kenapa? Pertama, saya kira, Indonesia juga memiliki
kewajiban untuk membantu negara-negara yang kini sedang kesulitan akibat
krisis. Perlu diketahui, sejumlah negara yang kini terkena krisis, dahulu juga
membantu kita ketika kita mengalami krisis. Satu hal lagi, bila krisis global
ini tidak segera berakhir, dampaknya juga akan mengenai kita. Saat ini saja,
krisis global ini telah memberikan dampak negatif yang nyata bagi kita,
khususnya melalui jalur perdagangan dan keuangan.
Mungkin
ada yang bertanya: betul bahwa kita harus membantu negara-negara yang terkena
krisis. Tapi, kenapa harus melalui IMF? Tidakkah bisa dilakukan secara
bilateral? Pada dasarnya, alternatif menyalurkan pinjaman secara bilateral
(atau saluran lainnya) memang bisa dilakukan. Tetapi, menyalurkan sendiri dana
pinjaman bukanlah hal yang mudah, khususnya terkait dengan monitoring agar dana
yang kita salurkan digunakan secara tepat.
Perlu
diketahui, saat ini banyak negara yang berkomitmen memberikan bantuan finansial
kepada negara-negara yang kini terkena krisis, seperti dari Cina dan
negara-negara Timur Tengah. Tetapi faktanya, mereka lebih senang menyalurkannya
melalui IMF demi menjamin efektivitas penggunaan dana dan pengembaliannya.
Kedua,
kita memang boleh tidak suka dengan IMF. Tetapi, faktanya keanggotaan IMF kini
justru semakin mengglobal. Bila pada Juli 1949 anggota IMF baru 45 negara, kini
sudah berjumlah 188 negara. Artinya, sekalipun kehadiran IMF tidak diharapkan
(karena kalau IMF hadir berarti telah terjadi krisis), namun eksistensi IMF
masih diperlukan setidaknya sebagai pertahanan terakhir (second line of defence), bila suatu saat mengalami krisis.
Ketiga,
tingkat return yang di peroleh dari
penempatan dana pada obligasi IMF tersebut memang rendah (kurang dari satu
persen). Namun, penempatan dana ke dalam obligasi IMF memiliki arti strategis
bagi positioning Indonesia di mata
internasional. Posisi leverage
Indonesia berpeluang naik, yang tentunya berpotensi menarik investor asing
masuk ke Indonesia.
Keempat,
sebagai anggota IMF, kita sebenarnya memiliki kewajiban secara reguler menyetorkan
dana ke IMF sebagai deposit atau yang disebut dengan kuota (quota subscription). Besarnya kuota ini
didasarkan pada analisis tingkat kemakmuran dan ekonomi negara anggota. Semakin
tinggi kemakmuran dan tingkat ekonomi suatu negara, akan semakin besar jumlah
kuota yang harus dibayarkan sebagai kontribusi.
Saya
melihat bahwa pembelian obligasi IMF ini nantinya dapat diarahkan untuk
menambah kuota kita di IMF. Peningkatan kuota tentunya akan meningkatkan voting power kita dalam pengambilan
keputusan di IMF. Sebagai negara yang perlu berperan lebih aktif dalam kancah
internasional, semestinya peningkatan kuota dan voting power ini harus digunakan untuk mendorong reformasi di IMF.
Salah
satunya, dengan mengarahkan penyaluran dana IMF secara lebih adil, khususnya
untuk membantu negara-negara miskin. Nah, bila kita mengambil peran ini,
keberadaan kita di IMF akan semakin bermakna, baik bagi kepentingan nasional
maupun di dunia internasional.
Kita memang memiliki hubungan yang “panas
dingin“ dengan IMF. Tetapi, hendaknya kita juga lebih proporsional dalam
melihat hubungan Indonesia-IMF saat ini. IMF, 15 tahun yang lalu, saya kira
berbeda dengan IMF sekarang yang tentunya telah melakukan perbaikan internal,
terutama terkait dengan peningkatan kualitas survaillance-nya. Dan saya kira, yang paling tepat saat ini adalah
bagaimana meningkatkan peran Indonesia untuk mendorong agar IMF berperan secara
lebih tepat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar