Jumat, 20 Juli 2012

Reformasi Tata Niaga Migas


Reformasi Tata Niaga Migas
Eddy Purwanto ; Mantan Deputi BP Migas
KORAN TEMPO, 17 Juli 2012

Sungguh ironis membandingkan harga gas di dua negara yang berbeda kelas. Negara adidaya Amerika Serikat mengkondisikan harga gas yang sangat murah kepada rakyatnya. Konon, salah satu tujuannya adalah mendongkrak perekonomian AS yang belum pulih serta mengangkat kembali gairah industri yang terimbas lesu darah global. Pemerintah AS belum mengizinkan ekspor gas.

Di Henry Hub, salah satu sentra distribusi gas di AS yang dikelola oleh perusahaan transporter gas Sabine Pipeline LLC, afiliasi Chevron, dengan kapasitas distribusi gas 1,8 miliar kaki kubik per hari yang menghubungkan jaringan gas di sembilan negara bagian, harga gas selama 2012 rata-rata di bawah US$ 3 per MMBTU (million British thermal unit), bahkan minggu lalu harga jatuh hingga US$ 2,49 per MMBTU. Harga jual sudah termasuk harga gas dari pengembang,toll fee, biaya operasi, dan biaya lainnya.

Mekanisme pembentukan harga gas domestik di AS tidak dikaitkan langsung dengan harga minyak dunia, tetapi lebih bergantung pada keseimbangan pasokan dan permintaan. Dari sisi pasokan belakangan ini AS cenderung surplus setelah sukses dengan revolusi shale gas yang membanjiri AS dengan gas murah.  Dengan harga jual gas di bawah US$ 3 per MMBTU, perusahaan pengembang gas di sektor hulu memang mengeluh. Namun perusahaan distributor gas  seperti Sabine tetap bertahan berkat tata niaga gas yang efisien.

Adapun di Indonesia, negara berkembang dengan pendapatan per kapita jauh di bawah AS, rakyat dan industri dipaksa membeli gas dengan harga yang jauh lebih mahal, terlebih setelah PGN mengumumkan hendak menaikkan harga secara sepihak menjadi US$ 10,2 per MMBTU atau sekitar empat kali lipat harga gas di AS.

Bandingkan dengan tingkat efisiensi tata niaga gas di AS. Biaya transportasi gas (toll fee) dari salah satu trader gas, yaitu Sempra di Costa Azul (Meksiko) ke jaringan Henry Hub di AS, yang berjarak sekitar 400 km, hanya berkisar 25 sen. Bandingkan dengan toll fee yang dikutip PGN di Indonesia  ditambah biayasurcharge dan lainnya, bisa lima hingga 10 kali lebih mahal! 

Di sektor hulu, memang era gas murah di Indonesia sudah berlalu. Penemuan cadangan gas dalam dua dasawarsa terakhir relatif banyak, namun sayang kecil-kecil, jauh dari sentra konsumen dengan tingkat kesulitan tekno-ekonomi yang semakin tinggi ,sehingga biaya pengembangan lapangan semakin mahal. Guna meningkatkan kemampuan pasokan gas nasional, wajar bila pemerintah akhirnya menyetujui usulan kenaikan harga dari pengembang gas. 

Selama ini dimaklumi PGN telah menikmati harga gas yang murah. Sebagai contoh, ada kontrak jual-beli dengan harga US$ 1,85 per MMBTU, sementara PGN menjual US$ 5,6 per MMBTU. PGN mengambil untung kelewat tinggi di luar kewajaran bisnis, mengingat risiko bisnis di sektor hilir jauh lebih rendah dibandingkan dengan risiko di sektor hulu. 

Pada masa lalu PGN adalah BUMN yang 100 persen sahamnya dimiliki negara. Kini status PGN sudah berubah, PGN menjadi perusahaan publik di mana pemerintah hanya menguasai saham 57 persen, sedangkan 43 persen saham dimiliki publik dan sebagian adalah investor asing. Tentunya tidak adil mempertahankan kebijakan harga gas murah kepada PGN demi keuntungan perusahaan dan investor, sementara di sisi lain mengorbankan kepentingan nasional yang lebih luas. 

Ambisi PGN meraup margin di luar kewajaran menjadi salah satu pertanda bahwa tata niaga gas perlu segera direformasi, terutama wacana mereposisi PGN agar lebih sejalan dengan Undang-Undang Migas serta aturan-aturan turunannya. 

Unbundling Policy

Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 sejatinya telah mengamanahkan kebijakan unbundling, yaitu memisahkan rantai usaha di sektor migas menjadi beberapa kegiatan usaha dengan tujuan mengoptimalkan tingkat efisiensi kegiatan usaha hulu maupun hilir. Dengan demikian, pelaku usaha di bidang hulu dapat lebih fokus pada tujuannya mencari cadangan minyak dan gas bumi secara lebih efisien, begitu pula pelaku usaha di sektor hilir, seperti transporter                                  atau distributor gas. Selain itu, tujuan unbundling adalah menghindari adanya konsolidasi biaya dan pajak melalui mekanisme pemisahan kegiatan usaha hulu dan hilir, dengan harapan penerimaan negara dari sektor migas menjadi lebih optimal.

Ambisi yang tersirat dalam slogan Visi dan Misi PGN, yaitu mengarungi rantai bisnis dari hulu hingga ke hilir, dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi perniagaan gas nasional. Wacana untuk mereposisi PGN tidak hanya berdampak positif bagi PGN sebagai perusahaan publik, tetapi juga bagi sektor migas dari hulu selaku pemasok gas hingga ke hilir termasuk industri lokal.  

Di dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, terbuka peluang campur tangan pemerintah di dalam penetapan harga gas nasional. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu sungkan untuk turut mengontrol harga gas sebagai komoditas yang penting bagi hajat hidup rakyat banyak serta bagi perkembangan industri di dalam negeri, tanpa merugikan PGN atau investor lainnya sebagai pelaku usaha. 

Pemerintah sebaiknya segera menetapkan kebijakan untuk mencegah praktek monopoli yang cenderung merugikan konsumen. Dewasa ini PGN menguasai lebih dari 90 persen distribusi pasar gas domestik. Seyogianya pemerintah segera menciptakan kemudahan dengan membuka pintu bagi pelaku usaha lain, baik BUMN, BUMD, maupun swasta nasional, dengan tujuan memperbaiki tingkat efisiensi pengusahaan gas nasional. 

Ketentuan Pasal 13 UU Migas mengamanatkan bahwa setiap badan usaha (BU) atau badan usaha tetap (BUT) hanya diberi satu wilayah kerja. Hal ini untuk memastikan bahwa pembebanan biaya operasi dan pajak dalam satu wilayah kerja tidak dapat dikonsolidasikan dengan wilayah kerja lainnya, sehingga penerimaan negara dijamin lebih optimal. Ketentuan ini sebaiknya juga diterapkan dalam kegiatan usaha distribusi gas melalui sistem pembagian wilayah kerja distribusi sehingga model pengusahaan yang bersifat monopolistik dapat dihindarkan. 

Posisi PGN sebagai transporter merangkap trader menyebabkan harga gas di konsumen sangat mahal, kemudian ambisi PGN masuk ke sektor hulu sebagai pengembang lapangan gas, selain melanggar Undang-Undang Migas, telah melanggar Permen Nomor 19 Tahun 2009. Manuver bisnis PGN sewajarnya ditanggapi pemerintah dengan mereposisi PGN, sekaligus mereformasi tata niaga gas nasional agar lebih mampu bersaing di kancah global.

Badan pemeringkat rating Fitch percaya bahwa posisi PGN di pasar cukup kuat untuk menerima kenaikan harga beli gas tanpa harus menaikkan harga jual secara tidak wajar yang akan berdampak negatif terhadap daya saing industri lokal.

DPR bersama pemerintah, BPH Migas, dan BP Migas tampaknya perlu segera duduk bersama membangun cetak biru tata niaga gas yang lebih transparan untuk peningkatan pengusahaan gas domestik dari hulu hingga ke hilir, sehingga lebih berpihak kepada rakyat, industri, dan penerimaan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar