Jumat, 20 Juli 2012

Beda UU PT dan UU BHP


Beda UU PT dan UU BHP
Sukemi ; Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Media
REPUBLIKA, 19 Juli 2012

Meski sudah secara aklamasi dinyatakan disetujui oleh DPR bersama pemerintah, penolakan pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) masih terjadi. Bahkan, ada kelompok yang akan mengajukan judicial review atau peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi (MK) segera setelah UU ini diundangkan atau ditandatangani oleh presiden dan dimasukkan dalam lembar negara, sebagaimana lazimnya UU lain.

Perdebatan yang terjadi seputar pemberian hak otonomi. Selain otonomi, ada juga kelompok masyarakat yang menyejajarkan UU PT dengan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang telah dibatalkan oleh MK pada 31 Maret 2010, yang dinilai tidak sesuai dengan konstitusi karena memaksakan pengelolaan perguruan tinggi harus berbentuk badan hukum.

Sangat Berbeda

Logikanya, pemerintah maupun DPR tidak ingin `jatuh' di lubang yang sama untuk menyiapkan dan membuat UU. Jika sebelumnya UU BHP telah dibatalkan karena dinilai telah mencederai hak konstitusi berkait dengan pengelolaan perguruan tinggi, dalam UU PT hal yang berkait dengan kemungkinan akan dibatalkannya UU ini di MK pun menjadi pertimbangan.

Jika dilihat substansinya, tentu sangat berbeda konsep otonomi yang pernah ada dalam UU BHP dan apa yang ada dalam RUU PT. Klausul dan pertimbangan yang melatarbelakangi pemberian otonomi itu pun berbeda.

Dalam amar putusan MK No 11-1412-126-136/PUU-VII/2009 tertanggal 31 Maret 2010 dinyatakan bahwa tidak boleh terjadi penyeragaman bentuk lembaga pendidikan, pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan, dan tidak terjadi liberalisasi serta komersialisasi pendidikan. Amar putusan MK ini menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam penyusunan UU PT sehingga memang sangat berbeda dan tidak bisa disejajarkan antara UU PT dengan UU BHP.

Berkait dengan kekhawatiran pemberian otonomi, wajar adanya karena pengalaman membuktikan, praktik dari tujuh PT BHMN nyata dirasakan telah memberatkan dan membatasi akses masyarakat kurang mampu masuk ke perguruan tinggi. Tapi, itu `cerita lama' karena setelah dibatalkannnya UU BHP oleh MK yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) No 66 Tahun 2010, telah jelas diatur bahwa sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN harus memberikan porsi minimal 20 persen dari jumlah mahasiswa baru untuk keluarga tidak mampu.

Dalam UU PT, kepastian bagi masyarakat tidak mampu untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi yang sebelumnya diatur dalam PP, kini diperkuat dengan kehadiran UU ini. Hal ini sangat penting karena selama ini menunjukkan, masyarakat tidak mampu yang melanjutkan dan mengakses pendidikan tinggi baru mencapai 2,8 persen pada 2009.

Dengan UU PT ini, pemerintah juga berharap ke depan bukan hanya akses bagi masyarakat tidak mampu yang terwadahi, melainkan kenaikan terhadap angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi, yang pada 2010/2011 baru mencapai angka 26,34 persen. Dalam UU PT sejak awal dinyatakan, perguruan tinggi dikelola dengan prinsip nirlaba. Itu sebabnya, UU PT ini mengamanatkan pula bahwa bagi PTN, penentuan besaran biaya pendidikan akan diatur tersendiri dalam sebuah peraturan menteri dengan mempertimbangkan pada indeks kemahalan wilayah (pasal 88 ayat 5).

Dua Otonomi

Soal otonomi yang diperdebatkan sesungguhnya ada dua hal. Pertama, otonomi, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan ilmiah.
Untuk hal ini, sudah melekat dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Artinya, otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik masih tetap luas. Bagaimana dengan masih adanya pasal yang menyatakan kurikulum, program studi, penelitian, akan diatur melalui peraturan menteri. Sekali lagi, ini adalah bagian lain dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat. Bukankah saat ini banyak perguruan tinggi yang membuka progran studi yang tidak jelas dan tidak terakreditasi.

Kedua, otonomi pengelolaan keuangan. Ada dua bentuk pengelolaan keuangan bagi PTN sebagaimana tercantum dalam pasal 65 ayat 1. Pertama, PTN dengan pengelolaan keuangan berbentuk satuan kerja badan layanan umum (BLU).

PTN dalam kelompok otonomi ini adalah perguruan tinggi dengan organisasi dan tata kelola berpola BLU di mana aset sepenuhnya milik negara, dengan anggaran atau pendanaan melalui mekanisme APBN di kementerian. Sementara, penerimaan dana masyarakat dibukukan sebagai PNBP yang bisa langsung digunakan setelah melalui pelaporan dan pencatatan.
Kedua, PTN Berbadan Hukum (PTN BH). Perguruan tinggi yang diberikan otonomi penuh di dalam organisasi dan tata kelola yang asetnya bisa dipisahkan antara milik negara dan milik perguruan tinggi dengan alokasi pembiayaan APBN melalui mekanisme subsidi atas penyediaan pelayanan publik.

Dalam hal memberikan kepercayaan penuh untuk mengelola keuangan itulah diperlukan penilaian dari kementerian. Dalam konteks inilah, otonomi diberikan oleh pemerintah melalui proses dan penilaian (pasal 65 ayat 1). Penilaian ini menjadi penting, antara lain berkait dengan kemampuan keuangan dan pengelolaan sumber daya sehingga ke depan dapat mewujudkan tata kelola perguruan tinggi yang baik dan bersih.

Melalui penilaian inilah pemerintah harus dapat memastikan PTN yang akan menjadi PTN BH telah mendapatkan penguatan dalam tata kelola keuangan, mampu melakukan pemberdayaan terhadap sumber daya yang dimiliki, dan dapat bersinergi. Dengan demikian, tidak mementingkan diri sendiri.

Sementara untuk pengelolaan keuangan, sepenuhnya berada di tangan badan penyelenggara yang dapat berbentuk yayasan, perkumpulan, dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 60 ayat 1 dan 2). Itulah beberapa perbedaan antara UU PT dan UU BHP. Dengan perbedaan yang signifikan itu dan mengandung nilai-nilai kesetaraan dalam mengakses pendidikan tinggi, kita berharap UU ini tidak kandas lagi di meja MK. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar