Beda
UU PT dan UU BHP
Sukemi ; Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang
Komunikasi Media
REPUBLIKA,
19 Juli 2012
Meski
sudah secara aklamasi dinyatakan disetujui oleh DPR bersama pemerintah,
penolakan pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) masih terjadi. Bahkan,
ada kelompok yang akan mengajukan judicial
review atau peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi (MK) segera setelah
UU ini diundangkan atau ditandatangani oleh presiden dan dimasukkan dalam
lembar negara, sebagaimana lazimnya UU lain.
Perdebatan
yang terjadi seputar pemberian hak otonomi. Selain otonomi, ada juga kelompok
masyarakat yang menyejajarkan UU PT dengan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP),
yang telah dibatalkan oleh MK pada 31 Maret 2010, yang dinilai tidak sesuai
dengan konstitusi karena memaksakan pengelolaan perguruan tinggi harus
berbentuk badan hukum.
Sangat Berbeda
Logikanya,
pemerintah maupun DPR tidak ingin `jatuh' di lubang yang sama untuk menyiapkan
dan membuat UU. Jika sebelumnya UU BHP telah dibatalkan karena dinilai telah
mencederai hak konstitusi berkait dengan pengelolaan perguruan tinggi, dalam UU
PT hal yang berkait dengan kemungkinan akan dibatalkannya UU ini di MK pun
menjadi pertimbangan.
Jika
dilihat substansinya, tentu sangat berbeda konsep otonomi yang pernah ada dalam
UU BHP dan apa yang ada dalam RUU PT. Klausul dan pertimbangan yang
melatarbelakangi pemberian otonomi itu pun berbeda.
Dalam
amar putusan MK No 11-1412-126-136/PUU-VII/2009 tertanggal 31 Maret 2010
dinyatakan bahwa tidak boleh terjadi penyeragaman bentuk lembaga pendidikan,
pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab keuangan untuk penyelenggaraan
pendidikan, dan tidak terjadi liberalisasi serta komersialisasi pendidikan.
Amar putusan MK ini menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam penyusunan UU
PT sehingga memang sangat berbeda dan tidak bisa disejajarkan antara UU PT
dengan UU BHP.
Berkait
dengan kekhawatiran pemberian otonomi, wajar adanya karena pengalaman
membuktikan, praktik dari tujuh PT BHMN nyata dirasakan telah memberatkan dan
membatasi akses masyarakat kurang mampu masuk ke perguruan tinggi. Tapi, itu
`cerita lama' karena setelah dibatalkannnya UU BHP oleh MK yang kemudian
melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) No 66 Tahun 2010, telah jelas diatur bahwa
sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN harus memberikan porsi minimal 20
persen dari jumlah mahasiswa baru untuk keluarga tidak mampu.
Dalam
UU PT, kepastian bagi masyarakat tidak mampu untuk bisa mengenyam pendidikan
tinggi yang sebelumnya diatur dalam PP, kini diperkuat dengan kehadiran UU ini.
Hal ini sangat penting karena selama ini menunjukkan, masyarakat tidak mampu
yang melanjutkan dan mengakses pendidikan tinggi baru mencapai 2,8 persen pada
2009.
Dengan
UU PT ini, pemerintah juga berharap ke depan bukan hanya akses bagi masyarakat
tidak mampu yang terwadahi, melainkan kenaikan terhadap angka partisipasi kasar
(APK) pendidikan tinggi, yang pada 2010/2011 baru mencapai angka 26,34 persen.
Dalam UU PT sejak awal dinyatakan, perguruan tinggi dikelola dengan prinsip nirlaba.
Itu sebabnya, UU PT ini mengamanatkan pula bahwa bagi PTN, penentuan besaran
biaya pendidikan akan diatur tersendiri dalam sebuah peraturan menteri dengan
mempertimbangkan pada indeks kemahalan wilayah (pasal 88 ayat 5).
Dua Otonomi
Soal
otonomi yang diperdebatkan sesungguhnya ada dua hal. Pertama, otonomi,
kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan ilmiah.
Untuk hal ini, sudah melekat dalam pengelolaan pendidikan tinggi.
Untuk hal ini, sudah melekat dalam pengelolaan pendidikan tinggi.
Artinya,
otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik masih tetap luas.
Bagaimana dengan masih adanya pasal yang menyatakan kurikulum, program studi,
penelitian, akan diatur melalui peraturan menteri. Sekali lagi, ini adalah
bagian lain dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat. Bukankah saat ini
banyak perguruan tinggi yang membuka progran studi yang tidak jelas dan tidak
terakreditasi.
Kedua,
otonomi pengelolaan keuangan. Ada dua bentuk pengelolaan keuangan bagi PTN
sebagaimana tercantum dalam pasal 65 ayat 1. Pertama, PTN dengan pengelolaan keuangan
berbentuk satuan kerja badan layanan umum (BLU).
PTN
dalam kelompok otonomi ini adalah perguruan tinggi dengan organisasi dan tata
kelola berpola BLU di mana aset sepenuhnya milik negara, dengan anggaran atau
pendanaan melalui mekanisme APBN di kementerian. Sementara, penerimaan dana
masyarakat dibukukan sebagai PNBP yang bisa langsung digunakan setelah melalui
pelaporan dan pencatatan.
Kedua,
PTN Berbadan Hukum (PTN BH). Perguruan tinggi yang diberikan otonomi penuh di
dalam organisasi dan tata kelola yang asetnya bisa dipisahkan antara milik
negara dan milik perguruan tinggi dengan alokasi pembiayaan APBN melalui
mekanisme subsidi atas penyediaan pelayanan publik.
Dalam
hal memberikan kepercayaan penuh untuk mengelola keuangan itulah diperlukan penilaian
dari kementerian. Dalam konteks inilah, otonomi diberikan oleh pemerintah
melalui proses dan penilaian (pasal 65 ayat 1). Penilaian ini menjadi penting,
antara lain berkait dengan kemampuan keuangan dan pengelolaan sumber daya
sehingga ke depan dapat mewujudkan tata kelola perguruan tinggi yang baik dan
bersih.
Melalui
penilaian inilah pemerintah harus dapat memastikan PTN yang akan menjadi PTN BH
telah mendapatkan penguatan dalam tata kelola keuangan, mampu melakukan
pemberdayaan terhadap sumber daya yang dimiliki, dan dapat bersinergi. Dengan
demikian, tidak mementingkan diri sendiri.
Sementara untuk pengelolaan keuangan,
sepenuhnya berada di tangan badan penyelenggara yang dapat berbentuk yayasan,
perkumpulan, dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (pasal 60 ayat 1 dan 2). Itulah beberapa perbedaan antara UU
PT dan UU BHP. Dengan perbedaan yang signifikan itu dan mengandung nilai-nilai
kesetaraan dalam mengakses pendidikan tinggi, kita berharap UU ini tidak kandas
lagi di meja MK. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar