RUU
Pendidikan Tinggi Bermasalah
Warjati Suharyono ; Pengamat Pendidikan pada Lingkar Kajian
Profetik UGM
SINAR
HARAPAN, 19 Juli 2012
Bandingkan dengan artikel Warjati Suharyono di MEDIA INDONESIA 14 Juli 2012 :
http://budisansblog.blogspot.com/2012/07/ruu-pendidikan-tinggi-bermasalah.html
Secara historis, kehidupan pembelajaran
pendidikan tinggi di berbagai kampus Indonesia baik negeri maupun swasta tidak
pernah lepas dari intervensi pola pengaturan oleh negara.
Pada 1970-an, pemerintah Orde Baru melalui
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mengeluarkan kebijakan NKK
(Normalisasi Kehidupan Kampus) yang bertujuan untuk menghentikan sikap skeptis
dan kritis mahasiswa terhadap jalannya pemerintahan Orde Baru.
Ketika itu, berbagai organisasi kemahasiswaan
baik internal maupun eksternal yang kemudian disatukan dalam satu wadah bernama
Senat Akademik Universitas yang langsung di bawah kendali Mendikbud.
Kebijakan NKK maupun pembentukan Senat
Akademik Universitas secara langsung melakukan depolitisasi kampus dengan
mengajak mahasiswa menghentikan sikap idealisme dan berpikir pragmatis hanya
belajar, lulus cepat, wisuda, dan mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut ditambah
dengan kewajiban mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pada
Pancasila (P4) untuk setiap mahasiswa baru.
Pada era reformasi sekarang ini, perilaku
intervensi negara terhadap kampus terulang lagi bahkan boleh dibilang lebih
parah karena sudah melibatkan aktor asing ditambah dengan logika kapitalisme
yang sudah merajut dalam sendi pembelajaran kurikulum pendidikan.
Tentunya, kita masih ingat bagaimana
pemerintah memaksakan kampus negeri maupun swasta harus membiayai
operasionalisasi kegiatan belajar mengajar (KBM) di kampus dengan melepaskan
fungsi subsidi alokasi anggaran melalui UU Badan Hukum Milik Negara yang
kemudian digugat.
Status badan hukum yang disematkan kepada
kampus menyimbolkan bahwa kampus sudah layaknya korporasi terselubung di mana
PT (perguruan tinggi) berganti makna menjadi perseroan tinggi.
Jika sudah demikian, kita sudahi dan
rekonstruksi ulang saja makna Tri Dharma Pendidikan Tinggi yang selama ini
menjadi dogma pendidikan tinggi Indonesia, yakni Penelitian, Pendidikan, dan
Pengabdian kepada Masyarakat menjadi Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian
kepada yang Mbayar.
Hal itu konkret dan menegaskan PTN dan PTS
sebagaimana yang diatur RUU PT menjadi jelas bahwa universitas bukan lagi
lembaga nirlaba akan tetapi lembaga berorientasi untung.
Intervensi Pendidikan
Adanya rancangan UU PT yang akan disahkan DPR
ini boleh dibilang merupakan NKK Jilid 2 di mana indepedensi kampus dalam
menjalankan fungsi penelitian dan pendidikan sudah diawasi oleh mendikbud. RUU
PT sudah cukup tegas terdapat pasal-pasal subversif yang dinilai mengacaukan
sistem pendidikan kampus.
Pasal 9 Ayat 2 dan Ayat 4 maupun Pasal 16
Ayat 3 dalam rancangan UU PT yang mengatakan bahwa menteri berhak tahu dan awas
terhadap kebebasan berpendapat dan berpikir dalam mimbar akademik yang
dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab.
Keberadaan menteri selaku wakil pemerintah
dalam mengurusi hal-hal teknis dan teknokratik itu saja sudah kontradiktif
karena itu sudah menjadi urusan kampus yang bersangkutan.
Hal ini sama saja menteri bertindak subjektif
terhadap pemilahan rumpun ilmu pengetahuan yang dinilai tidak membahayakan
pemerintah. Sama saja pihak universitas dipasung gerak-gerik kakinya dan tidak
bisa bertindak inovatif dan kreatif dalam menghasilkan produk pengetahuan yang
bermutu serta berguna bagi masyarakat.
Adapun Pasal 20 yang terdiri dari enam ayat
maupun Pasal 32 yang berisi tiga ayat menegaskan menteri berhak mengevaluasi
dang mengawasi pendidikan tinggi kampus dalam menjalankan Tri Dharma Pendidikan
maupun dalam upaya menjalin kerja sama penelitian dengan pihak ketiga, yakni
dunia usaha dan dunia industri.
Pasal ini bisa dikatakan hipokrit mengingat
pemerintah melepaskan fungsi pembiayaan pendidikan melalui otonomi kampus dalam
mencari sumber mandiri.
Sama saja pemerintah menjilat ludahnya
sendiri karena kampus sudah terlunta-lunta mencari sumber dana secara mandiri
karena pemerintah pelit; dana yang sudah didapat pun masih harus dievaluasi
pemerintah agar ditentukan kadar penerimaan dan pengeluarannya disesuaikan oleh
pihak pemerintah.
Sekarang ini saja, para orang tua lulusan
SMU/SMK yang mau kuliah di PTN dan PTS harus mengerenyitkan dahi melihat
besaran sumbangan (SPMA) yang tidak logis untuk sekadar mendapat titel sarjana
maupun diploma.
Menaikkan digit angka sumbangan SPMA merupakan
modus kontemporer bagi PTN/PTS untuk mencari dana mandiri sejak subsidi
dicabut. Imbasnya kemudian hanya anak-anak dari kelas menengah atas saja yang
lebih berpeluang kuliah, sementara yang miskin peluangnya relatif lebih sulit.
Hal yang perlu untuk disoroti secara tegas
adalah longgarnya dan lemahnya regulasi terhadap keberadaan lembaga pendidikan
tinggi asing yang terus melakukan ekspansi ke Indonesia.
Dimensi yang kentara dari ekspansi tersebut
adalah makna pendidikan tinggi di kampus kini sudah layaknya industri waralaba
yang saban tahun mencetak sarjana siap jadi tanpa ada kejelasan masa depan.
Logika orientasi bisnis semakin semerbak di mana PTN/PTS dihadapkan pada
persaingan tinggi dengan PT asing yang konon akan meningkatkan mutu pendidikan tinggi
di Indonesia.
Jika susbtansi utama RUU PT itu meningkatkan
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, maka tak usahlah ada intervensi
pemerintah maupun kompetisi dengan PT asing.
Pemerintah perlu untuk menggenjot dana hibah
yang besar kepada kampus untuk melaksanakan tugasnya seperti yang termaktub
dalam Tri Dharma Pendidikan Tinggi. Biarkan kampus mengelola tata laksana
KBM-nya sendiri tanpa direcoki pemerintah. Kampus lebih tahu dan paham
bagaimana caranya meningkatkan kualitas pendidikan daripada pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar