Jumat, 20 Juli 2012

RUU Pendidikan Tinggi Bermasalah

RUU Pendidikan Tinggi Bermasalah
Warjati Suharyono ; Pengamat Pendidikan pada Lingkar Kajian Profetik UGM
SINAR HARAPAN, 19 Juli 2012
Bandingkan dengan artikel Warjati Suharyono di MEDIA INDONESIA 14 Juli 2012 :
http://budisansblog.blogspot.com/2012/07/ruu-pendidikan-tinggi-bermasalah.html


Secara historis, kehidupan pembelajaran pendidikan tinggi di berbagai kampus Indonesia baik negeri maupun swasta tidak pernah lepas dari intervensi pola pengaturan oleh negara.

Pada 1970-an, pemerintah Orde Baru melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mengeluarkan kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) yang bertujuan untuk menghentikan sikap skeptis dan kritis mahasiswa terhadap jalannya pemerintahan Orde Baru.

Ketika itu, berbagai organisasi kemahasiswaan baik internal maupun eksternal yang kemudian disatukan dalam satu wadah bernama Senat Akademik Universitas yang langsung di bawah kendali Mendikbud.

Kebijakan NKK maupun pembentukan Senat Akademik Universitas secara langsung melakukan depolitisasi kampus dengan mengajak mahasiswa menghentikan sikap idealisme dan berpikir pragmatis hanya belajar, lulus cepat, wisuda, dan mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut ditambah dengan kewajiban mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pada Pancasila (P4) untuk setiap mahasiswa baru.

Pada era reformasi sekarang ini, perilaku intervensi negara terhadap kampus terulang lagi bahkan boleh dibilang lebih parah karena sudah melibatkan aktor asing ditambah dengan logika kapitalisme yang sudah merajut dalam sendi pembelajaran kurikulum pendidikan.

Tentunya, kita masih ingat bagaimana pemerintah memaksakan kampus negeri maupun swasta harus membiayai operasionalisasi kegiatan belajar mengajar (KBM) di kampus dengan melepaskan fungsi subsidi alokasi anggaran melalui UU Badan Hukum Milik Negara yang kemudian digugat.

Status badan hukum yang disematkan kepada kampus menyimbolkan bahwa kampus sudah layaknya korporasi terselubung di mana PT (perguruan tinggi) berganti makna menjadi perseroan tinggi.

Jika sudah demikian, kita sudahi dan rekonstruksi ulang saja makna Tri Dharma Pendidikan Tinggi yang selama ini menjadi dogma pendidikan tinggi Indonesia, yakni Penelitian, Pendidikan, dan Pengabdian kepada Masyarakat menjadi Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada yang Mbayar.

Hal itu konkret dan menegaskan PTN dan PTS sebagaimana yang diatur RUU PT menjadi jelas bahwa universitas bukan lagi lembaga nirlaba akan tetapi lembaga berorientasi untung.

Intervensi Pendidikan

Adanya rancangan UU PT yang akan disahkan DPR ini boleh dibilang merupakan NKK Jilid 2 di mana indepedensi kampus dalam menjalankan fungsi penelitian dan pendidikan sudah diawasi oleh mendikbud. RUU PT sudah cukup tegas terdapat pasal-pasal subversif yang dinilai mengacaukan sistem pendidikan kampus.

Pasal 9 Ayat 2 dan Ayat 4 maupun Pasal 16 Ayat 3 dalam rancangan UU PT yang mengatakan bahwa menteri berhak tahu dan awas terhadap kebebasan berpendapat dan berpikir dalam mimbar akademik yang dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab.

Keberadaan menteri selaku wakil pemerintah dalam mengurusi hal-hal teknis dan teknokratik itu saja sudah kontradiktif karena itu sudah menjadi urusan kampus yang bersangkutan.

Hal ini sama saja menteri bertindak subjektif terhadap pemilahan rumpun ilmu pengetahuan yang dinilai tidak membahayakan pemerintah. Sama saja pihak universitas dipasung gerak-gerik kakinya dan tidak bisa bertindak inovatif dan kreatif dalam menghasilkan produk pengetahuan yang bermutu serta berguna bagi masyarakat.

Adapun Pasal 20 yang terdiri dari enam ayat maupun Pasal 32 yang berisi tiga ayat menegaskan menteri berhak mengevaluasi dang mengawasi pendidikan tinggi kampus dalam menjalankan Tri Dharma Pendidikan maupun dalam upaya menjalin kerja sama penelitian dengan pihak ketiga, yakni dunia usaha dan dunia industri.

Pasal ini bisa dikatakan hipokrit mengingat pemerintah melepaskan fungsi pembiayaan pendidikan melalui otonomi kampus dalam mencari sumber mandiri.

Sama saja pemerintah menjilat ludahnya sendiri karena kampus sudah terlunta-lunta mencari sumber dana secara mandiri karena pemerintah pelit; dana yang sudah didapat pun masih harus dievaluasi pemerintah agar ditentukan kadar penerimaan dan pengeluarannya disesuaikan oleh pihak pemerintah.

Sekarang ini saja, para orang tua lulusan SMU/SMK yang mau kuliah di PTN dan PTS harus mengerenyitkan dahi melihat besaran sumbangan (SPMA) yang tidak logis untuk sekadar mendapat titel sarjana maupun diploma.

Menaikkan digit angka sumbangan SPMA merupakan modus kontemporer bagi PTN/PTS untuk mencari dana mandiri sejak subsidi dicabut. Imbasnya kemudian hanya anak-anak dari kelas menengah atas saja yang lebih berpeluang kuliah, sementara yang miskin peluangnya relatif lebih sulit.

Hal yang perlu untuk disoroti secara tegas adalah longgarnya dan lemahnya regulasi terhadap keberadaan lembaga pendidikan tinggi asing yang terus melakukan ekspansi ke Indonesia.

Dimensi yang kentara dari ekspansi tersebut adalah makna pendidikan tinggi di kampus kini sudah layaknya industri waralaba yang saban tahun mencetak sarjana siap jadi tanpa ada kejelasan masa depan. Logika orientasi bisnis semakin semerbak di mana PTN/PTS dihadapkan pada persaingan tinggi dengan PT asing yang konon akan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.

Jika susbtansi utama RUU PT itu meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, maka tak usahlah ada intervensi pemerintah maupun kompetisi dengan PT asing.
Pemerintah perlu untuk menggenjot dana hibah yang besar kepada kampus untuk melaksanakan tugasnya seperti yang termaktub dalam Tri Dharma Pendidikan Tinggi. Biarkan kampus mengelola tata laksana KBM-nya sendiri tanpa direcoki pemerintah. Kampus lebih tahu dan paham bagaimana caranya meningkatkan kualitas pendidikan daripada pemerintah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar