Sabtu, 21 Juli 2012

Puasa Kebangsaan


Puasa Kebangsaan
Asep Salahudin ; Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
KOMPAS, 21 Juli 2012

Ramadhan kembali menghampiri kita. Pada bulan ini biasanya ”kesalehan” menjadi tampak mengalami lonjakan. ”Tuhan” kita temukan di mana-mana, bahkan televisi menjadi berlomba-lomba mencitrakan sebagai media religius.

Puasa yang sejatinya menjadi ritus yang juga diajarkan semua agama dalam sesaat seakan mampu mengendalikan semua syahwat kebendaan kita. Tiba-tiba Tuhan tampak seolah akrab menjadi bagian integral dari napas kehidupan dan dinamika sejarah keseharian.

Ramadhan berkah, boleh jadi, ya. Bisa pula menjadi tidak berarti apa-apa manakala substansi Ramadhan dan spirit puasa tidak pernah tampak di hari-hari luar Ramadhan. Bahkan, ketika Lebaran tiba pun semua sudah bermetamorfosis, berubah ke habitat asal yang tidak cukup elok: tersungkur dalam daulat benda.

Bisa jadi muara semua itu karena sikap keberagamaan kita sudah tersandera oleh ”budaya populer”. Semuanya menjadi serba instan, dangkal, dan nyaris hilang sisi penghayatan dan kedalaman dari pengalaman keberagamaan itu.

Budaya populer dalam kenyatannya tak hanya menjangkiti cara kita berpakaian, bagaimana kita makan, seperti apa kita bersikap dalam panggung dramaturgi politik, sosial dan ekonomi. Akan tetapi, juga menyeruak memasuki wilayah sakral religiositas keberagamaan kita hari ini.

Dalam konsep budaya populer, yang dinomorsatukan adalah ”pencitraan”, ”pendangkalan”, ”kesan”, dan potret artifisial lainnya. Pada gilirannya: politik menjadi kehilangan kesantunan dan akal sehat; hukum surplus diskriminasi dan defisit rasa keadilan; ruang sosial hanya gaduh oleh perebutan atas nama kebenaran yang dipahami secara eksklusif dan fanatik. Lalu, ekonomi tidak pernah membersitkan pemerataan dan kesejahteraan, kecuali sekadar pemihakan kepada kaum pemodal. Selebihnya adalah fantasi kenaikan pendapatan per kapita yang disusun melalui retorika untuk kepentingan pengawetan kuasa.

Domain Religiositas

Hal yang tidak jauh berbeda budaya populer ketika menyergap domain religiositas. Maka, misalnya, menjadi mudah dipahami kalau animo haji tidak pernah sebanding lurus dengan terciptanya masyarakat yang naik tarap hidupnya. Menjamurnya rumah ibadah tidak kemudian otomatis membuka cakrawala tersemainya sikap inklusif dan toleran bagi pemeluk agama.

Puasa yang telah sekian tahun kita lakukan tidak menjadi garansi bagi terwujudnya ruang publik yang bebas dari sikap tamak dan rakus. Bahkan, kitab suci yang notabene diturunkan di bulan Ramadhan pun tidak luput dari korupsi.

Ayat-ayat Tuhan bukan hanya diperjualbelikan makna dan tafsirnya, bahkan fisiknya pun dirampok untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek. Nyaris, korupsi itu—kalau demikian adanya—telah mencapai jantungnya.

Padahal, kita mafhum puasa sejatinya mengajarkan tentang sikap eskatik (juhud), meginjeksikan kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang kita lakukan. Bahwa apa pun yang kita kerjakan bukan hanya harus dipertanggungjawabkan di hadapan manusia, melainkan juga harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Kuasa. Puasa menanamkan dalam relung kita keinsafan-keinsafan metafisis seperti ini atau dalam spiritualisme Jawa disebut eling sangkan paraning dumadi.

Rasaning eling melalui lelaku puasa bahkan ditarik ke titik nol. Anuning ning! Ada dalam ketiadaan. Tidak ada, dalam ada. Lahir sekaligus batin, batin sekaligus lahir. Menghindar dari tatapan manusia, bahkan dari mata KPK sekalipun, masih bisa kita lakukan. Akan tetapi, tatapan Sang Kuasa mustahil kita berkelit, Tuhan selalu—meminjam Amir Hamzah—cemburu/Engkau Ganas/Mangsa aku dalam cakarmu//.

Sebuah Teladan

Inilah tipologi puasa yang tempo hari diteladankan. Puasa Bunda Maryam melahirkan bayi penebar damai: Isa. Puasa yang dilakukan Musa berdampak rontoknya kekuasaan tiranik Firaun. Puasa yang diteladankan Sidarta Gautama tidak hanya membuat beliau menanggalkan gelanggang politik tengik yang penuh intrik, juga kuasa kembali ke arena kekuasaan dengan akal budi yang tercerahkan. Puasa yang dilakukan Socrates dan santrinya, Plato, dapat mencapai kematangan nalar atau Hipokrates yang memberikan resep kepada pasiennya agar sering berpuasa. Termasuk Pythagoras, yang ternyata Rumus Pythagoras-nya konon diperoleh setelah sebelumnya berpuasa.

Puasa itu pula yang dilakukan Muhammad SAW sehingga dia bukan hanya terampil mengelola kesabaran (puasa setengah dari sabar). Akan tetapi, juga kesabaran yang telah dirawat dan diruwatnya melalui puasa telah membuatnya menjadi pribadi yang bisa berempati kepada sahabat dan juga terhadap mereka yang berlainan haluan keyakinannya.

Puasa yang telah mengantarkannya bukan menjadi ”penguasa”, tetapi menjadi pemimpin egaliter yang dapat menjadi tenda dari keragaman fakta sosial di Madinah. Politik yang dikibarkannya menjadi ilham bagi sebuah gerakan kemanusiaan (humanisasi) yang membawa obor pencerahan (iluminasi), perubahan (transformasi), dan pembebasan (liberasi).

Semoga puasa kali ini tidak hanya menyisakan dahaga, tetapi benar-benar membersitkan inspirasi bagi terbitnya keadaban hidup, sekaligus menjadi ”ideologi kritik” bagi terbenamnya nafsu tamak yang dapat menenggelamkan perahu kebangsaan kita.
Inilah, menurut saya, sejatinya khitah puasa itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar