Sabtu, 21 Juli 2012

Menghormati Sejarah


Menghormati Sejarah
James Luhulima ; Wartawan Kompas
KOMPAS, 21 Juli 2012

Dewan Perwakilan Rakyat, 4 Juli lalu, menyepakati bahwa pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ditempuh melalui penetapan dan bukan melalui pemilihan umum kepala daerah. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, pun menyetujui hal itu. Dengan demikian, Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam secara otomatis menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta.

Tentu saja kesepakatan yang dicapai DPR itu patut disambut gembira mengingat proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta itu adalah bagian dari perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keinginan untuk mengganti proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta dari penetapan menjadi melalui pemilihan umum kepala daerah adalah pengabaian terhadap sejarah NKRI.

Penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta adalah lanjutan dari keistimewaan yang diberikan kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII atas kesediaan mereka dengan sukarela bergabung dengan NKRI.

Ketika NKRI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman merupakan wilayah yang berdaulat di luar NKRI. Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman baru bergabung dengan NKRI pada 30 Oktober 1945.

Pada saat itu, Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII membacakan amanat yang isinya, Mataram (Keraton Yogyakarta) dan Kadipaten Pakualaman adalah negeri merdeka serta memiliki peraturan dan tata pemerintahan sendiri.

Dalam perkembangan selanjutnya, tentunya dengan juga memperhitungkan peran Yogyakarta, termasuk peran Sultan Hamengku Buwono IX, dalam sejarah awal NKRI, diatur bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertakhta ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta.

Seperti telah dikatakan di atas, kesepakatan DPR untuk mempertahankan penetapan dalam memilih Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta patut disambut gembira karena hal itu menunjukkan bahwa DPR menghormati sejarah. Ini senada dengan isi pidato Presiden Soekarno pada peringatan Kemerdekaan RI 17 Agustus 1966 yang intinya menegaskan agar (bangsa Indonesia) jangan sekali- sekali meninggalkan sejarah.

Entah mengapa, sejak era reformasi tahun 1998, muncul keinginan untuk mengubah proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun berkeinginan seperti itu. Atas alasan ingin menyamakan DI Yogyakarta dengan provinsi-provinsi lain, Presiden Yudhoyono mengatakan, Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta harus dipilih melalui pemilihan umum kepala daerah.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa presiden ”mengganggu” sesuatu hal yang telah berlangsung dengan baik selama 67 tahun. Padahal, ada banyak persoalan penting yang mengantre untuk segera diselesaikan oleh Presiden.

Hamengku Buwono IX Dikecewakan

Penghormatan terhadap sejarah kerap diabaikan. Semasa menjabat sebagai Wakil Presiden (1973- 1978), mendampingi Presiden Soeharto, Hamengku Buwono IX pernah dikecewakan.

Ia meminta kepada Presiden Soeharto agar Hotel Des Indes yang berlokasi di Jalan Gadjah Mada tidak dibongkar untuk membangun pusat pertokoan Duta Merlin. Ia ingin Hotel Des Indes dilestarikan karena di hotel itulah, pada 1939, ia menerima keris pusaka Keraton, Kiai Jaka Piturun, dari ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VIII, yang menjadi tanda penyerahan kekuasaan dari Sultan Hamengku Buwono VIII kepada Sultan Hamengku Buwono IX.

Namun, permintaan Sultan Hamengku Buwono IX tidak diindahkan. Hotel Des Indes dibongkar dan dijadikan pusat pertokoan Duta Merlin. Sultan Hamengku Buwono IX merasa kecewa. Kekecewaan itu menjadi salah satu alasan yang membuat Sultan Hamengku Buwono IX menolak dipilih kembali sebagai wakil presiden periode 1978-1983.
Proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta dengan penetapan bukan tanpa masalah. Dikhawatirkan tidak lancarnya proses suksesi di Keraton Yogyakarta atau di Kadipaten Pakualaman dapat mengganggu penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta.

Dalam kaitan itulah, diatur agar Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yang bertakhta harus memenuhi syarat sebagai gubernur dan wakil gubernur, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, sebelum ditetapkan DPR.

Syarat itu, antara lain, pendidikan minimal SLTA atau sederajat, berusia minimal 30 tahun, sehat jasmani dan rohani, tidak pernah dijatuhi hukuman penjara dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun, tidak sedang dicabut hak pilihnya, serta tidak memiliki tanggungan utang.

Selain itu, Sultan dan Adipati juga harus mengikuti proses verifikasi persyaratan yang dilakukan DPRD DI Yogyakarta setiap lima tahun. Jika memenuhi persyaratan, secara otomatis mereka ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar