PERGURUAN
TINGGI DI INDONESIA :
Program
Studi, Demi Ilmu atau Cuma Daya Tarik?
Laporan Khusus Tim Kompas (Suhartono)
KOMPAS,
22 Juli 2012
Pegawai Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta
Wilayah III DKI Jakarta di Cawang, Jakarta Timur, Kamis (19/7) siang, tersenyum
saat Kompas bertanya soal program studi manajemen informatika dan komputerisasi
akuntansi yang kini marak di sejumlah perguruan tinggi swasta.
”Nama program studinya memang aneh-aneh.
Selain ada manajemen informatika dan komputerisasi akuntansi, yang sekarang
banyak digunakan, program studi teknik dan manajemen perkapalan. Kalau yang
terakhir program studinya ditutup karena jangankan punya mahasiswa, tempat
untuk praktiknya saja tidak ada,” ujar pegawai itu terkekeh.
Menurut dia, yang menilai program studi
perguruan tinggi swasta (PTS) adalah Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
(BAN-PT). Sejak berdiri beberapa tahun lalu, lembaga itu secara berkala
mengakreditasi program-program studi yang diselenggarakan perguruan tinggi.
Dari penilaian itu, program studi bisa mendapat akreditasi A, B, atau C.
Sejak disetujuinya Rancangan Undang-Undang
tentang Pendidikan Tinggi (RUU PT) oleh DPR, Jumat (13/7), program-program
studi seperti itu sulit dicari di mana rumpun keilmuannya.
”Coba, kalau manajemen informatika, rumpun
ilmunya apa? Apakah komputer dan ekonomi? Juga kalau komputerisasi akuntansi,
rumpun ilmunya apakah ekonomi komputer? Padahal, di UU PT hanya ada rumpun ilmu
sosial dan ilmu terapan,” katanya.
Merujuk ke Pasal 10 UU PT, yang disebut rumpun
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan
ranting ilmu pengetahuan yang disusun secara sistematis.
Adapun rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi
hanya terdiri dari enam rumpun, yaitu rumpun ilmu agama, ilmu humaniora, ilmu
sosial, ilmu alam, ilmu formal, dan ilmu terapan.
Penjelasan Pasal 10 Ayat (2) huruf c UU PT
menyebutkan, rumpun ilmu sosial merupakan rumpun ilmu pengetahuan yang mengkaji
dan mendalami hubungan antarmanusia dan berbagai fenomena masyarakat. Misalnya,
sosiologi, psikologi, antropologi, ilmu politik, arkeologi, ilmu wilayah, ilmu
budaya, ilmu ekonomi, dan geografi.
Sementara itu, penjelasan Pasal 10 Ayat (2)
huruf f mengatakan, rumpun ilmu terapan merupakan rumpun ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mengkaji dan mendalami aplikasi ilmu bagi kehidupan manusia.
Contohnya, pertanian, arsitektur dan perencanaan, bisnis, pendidikan, teknik,
kehutanan dan lingkungan, keluarga dan konsumen, kesehatan, olahraga,
jurnalistik, media massa dan komunikasi, hukum, perpustakaan dan permuseuman,
militer, administrasi publik, kerja sosial, serta transportasi.
”Jadi, rumpun yang mana?” tanya pegawai
Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) itu lagi.
Koordinator Kopertis Wilayah III DKI Jakarta
Ilza Mayuni belum bisa memberikan tanggapan kepada Kompas perihal keberadaan
program-program studi PTS setelah disetujuinya RUU PT.
Janji pegawai Kopertis untuk mengirimkan data
program studi yang sudah dinilai dan dicabut oleh BAN-PT hingga Kamis sore ini
belum juga diterima meskipun sebelumnya dijanjikan akan dikirimkan.
Pertanyaan itu mungkin benar jika merujuk UU
PT yang baru. Namun, diakui, hingga kini banyak PTS di Indonesia menggelar
program studi yang bermacam-macam untuk menarik minat calon mahasiswa.
Salah satunya Akademi Manajemen Informatika
dan Komputer Bina Sarana Informatika (AMIK BSI), yang berkantor pusat di Jalan
Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur. Lembaga ini masih memiliki program studi
manajemen informatika dan komputerisasi akuntansi, selain juga program studi
teknik komputer.
”Sebenarnya sama saja manajemen informatika
dan komputerisasi akuntansi. Jangan dilihat sepotong-sepotong. Manajemen
sendiri, informatika sendiri. Harus menjadi satu kesatuan,” kata Direktur BSI
Naba Aji Notoseputro kepada Kompas, Rabu (18/7).
Menurut Naba, manajemen informatika adalah
bagaimana menata data dalam sistem perangkat komputer untuk mempermudah sebuah
pekerjaan. Sementara komputerisasi akuntansi lebih kepada penataan sistem
melalui perangkat lunak bagi penghitungan dan dukungan akuntansi.
”Kami mengharapkan, AMIK BSI menghasilkan
tenaga kerja ahli madya yang siap pakai dan menguasai teknologi komputer dan
informatika serta menguasai bidang studi jurusan. Perpaduan ilmu itu akan
sangat dibutuhkan di semua sektor usaha,” tambahnya.
Juwita, salah seorang mahasiswi AMIK BSI,
yang tengah menyelesaikan tugas akhir di program studi komputerisasi akuntansi,
menyatakan bahwa program studi yang diambilnya tidak menjadi masalah hingga
kini. Sebagai lulusan SMA jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, dengan dasar
pelajaran akuntansi yang pernah diterimanya, Juwita mengaku bisa belajar
mengembangkan sistem perangkat komputer melalui perangkat lunak yang ada.
”Dua-duanya saya dapat, akuntansinya ataupun
komputernya,” ujar Juwita.
Hingga Juli 2012, AMIK BSI masih menawarkan
program studi manajemen informatika dan komputerisasi akuntansi. Bahkan, dalam
brosurnya, disebutkan lembaganya terakreditasi di BAN-PT dengan kurikulum yang
terus dikembangkan dan disempurnakan dengan perkembangan teknologi maju.
Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara PTS
Indonesia Thomas Suyatno menyatakan, sebenarnya bisa saja jika PTS menawarkan
program studi yang akan diunggulkannya asalkan sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan, dan kualitas dari hasil proses pendidiknya.
Namun, Thomas mengingatkan, sejak Oktober
tahun lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sudah mengeluarkan moratorium kepada PTS untuk tidak mengeluarkan
program studi baru, kecuali ilmu-ilmu langka dan untuk di daerah-daerah
tertentu yang memang memerlukan sarjana-sarjana dengan program studi tertentu.
Pemerhati pendidikan Dharmaningtyas juga
menyatakan, bisa saja ada program studi yang diajukan PTS sepanjang dipenuhi
persyaratannya, seperti kemampuan dosen, kurikulum, dan kebutuhan. ”Namun,
kualitasnya harus dijaga,” katanya.
Larangan Mendikbud
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad
Nuh pernah akan melarang program studi yang belum mengantongi akreditasi untuk
melakukan wisuda bagi mahasiswanya. Alasannya, kebanyakan PTS masih memiliki
urusan internal di kampusnya sehingga tak mampu mengejar tenggat waktu
pembuatan proposal untuk diajukan ke BAN-PT.
Namun, ada juga PTS yang justru mengatakan,
kinerja BAN-PT sendiri yang lamban karena sedikitnya jumlah tenaga yang dimilikinya.
”Kalau kewalahan memang benar,” ujar Nuh.
Lantas Nuh memberikan batas waktu hingga 16
Mei 2012 agar pengelola kampus segera mengajukan surat akreditasi ke BAN-PT.
Namun, hingga batas waktunya, banyak prodi yang belum diajukan status
akreditasinya.
Dalam catatan Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso, masih ada sekitar
6.000 program studi di PTS yang belum terakreditasi dari total lebih dari
13.000 prodi.
”Mereka akan dikenai status ilegal dengan ancaman
tak boleh mengeluarkan ijazah dan menggelar wisuda bagi mahasiswanya yang lulus
ujian akhir,” tambah Nuh.
Multitafsir
Memang persoalannya bukan soal PTS atau
BAN-PT semata. Menurut Djoko Santoso, pada waktu itu, aturan main soal
akreditasi program studi baru dibahas dalam RUU PT.
Jika melihat aturan transisi pada Pasal 97 UU
PT, tidak hanya izin pendirian PT yang dinyatakan tetap berlaku, tetapi juga
izin penyelenggaraan program studi yang sudah diterbitkan masih tetap diakui.
”Bunyi Pasal 97 Ayat 1 ini terkesan buru-buru
dan tidak dirumuskan secara baik sehingga bisa multitafsir. Misalnya, PTS yang
sudah dinilai oleh BAN-PT bisa menganggap tak perlu adanya penilaian program
studi lagi. Sebab, izin itu sifatnya sekali dan bukan perpanjangan yang harus
didaftarkan ulang,” kata pegawai Kopertis itu.
Demikian pula di Pasal 97 ayat berikutnya dan
Pasal 98 UU PT, masih ada kesempatan dua tahun bagi pengelola PTS untuk
menyesuaikan diri dengan isi UU PT ini, selain menunggu peraturan pemerintah
agar bisa efektif diterapkan.
”Ini berarti mereka masih bisa untuk
menyesuaikan diri, termasuk prodinya selama dua tahun,” tuturnya.
Hingga kini, di DKI Jakarta, dalam catatan
Kopertis, ada 340 PTS yang mempunyai 1.576 prodi. Hingga akhir Mei lalu,
tercatat baru 51 persen program studinya yang sudah terakreditasi oleh BAN-PT.
Namun, jumlah itu diperkirakan akan bertambah
karena masih ada yang sedang diproses akreditasinya ataupun akreditasi yang
masa berlakunya masih ada.
Kopertis DKI Jakarta sempat akan memberikan
sanksi jika PTS tidak menaati aturan akreditasi program studi. Sanksinya, mulai
dari pemberhentian beasiswa hingga pencabutan izin operasional.
Sepanjang 2011, Kopertis DKI Jakarta tercatat
sudah menutup sebanyak 39 program studi dengan berbagai alasan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar