Minggu, 22 Juli 2012

Otonomi Perguruan Tinggi, Disparitas Menjadi Pokok Persoalan


PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA :
Otonomi Perguruan Tinggi,
Disparitas Menjadi Pokok Persoalan
Laporan Khusus Tim Kompas
KOMPAS, 22 Juli 2012

Kualitas ilmuwan Indonesia tidak kalah dibandingkan kualitas ilmuwan negara-negara lain di kawasan Asia. Bahkan, kualitas ilmuwan Indonesia cukup disegani di tataran dunia. Namun, dari sisi peringkat indikator pendidikan tinggi, harus diakui, posisi Indonesia tergolong rendah.

Posisi Indonesia dengan skor 46 jauh di bawah Singapura (2), bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia (21), Brunei (28), dan Thailand (39). Indonesia hanya sedikit di atas Vietnam, Filipina, dan Kamboja. Dalam peringkat indikator inovasi, posisi Indonesia pun demikian.

”Kunci pengembangan perguruan tinggi sebenarnya ada di otonomi. Jika diberi otonomi, perguruan tinggi akan terpacu untuk maju dan berkembang,” kata Guru Besar (Emeritus) Universitas Indonesia Emil Salim.

Namun, di sinilah letak persoalannya. Disparitas perguruan tinggi di Indonesia sangat beragam. Dari sekitar 92 perguruan tinggi negeri (PTN), hanya tujuh PTN yang bisa mandiri secara keuangan dan sebagian besar berada di Pulau Jawa. Sementara PTN lain masih harus banyak dibantu, bahkan tertatih-tatih untuk pengembangan kampusnya.

Perguruan tinggi di Jawa, karena kualitas dosennya sangat memadai, sangat mudah menjalin kerja sama penelitian dengan industri. Kerja sama penelitian soal kualitas batubara saja, misalnya, Institut Teknologi Bandung bisa mendapatkan sekitar Rp 30 miliar. ”Karena itu, otonomi perguruan tinggi semestinya diperluas,” kata Harijono A Tjokronegoro, Guru Besar Institut Teknologi Bandung.

Universitas Indonesia, dengan anggaran di atas Rp 1,4 triliun per tahun, bisa mendapatkan banyak pemasukan dari hasil kerja sama penelitian. Kondisi serupa dialami perguruan tinggi lain yang sudah relatif mandiri.

Luar Jawa Tertinggal

Di sisi lain, sebagian perguruan tinggi di luar Jawa, sangat kesulitan untuk melakukan kerja sama penelitian dengan institusi lain karena keterbatasan jumlah dan kemampuan dosen.

Di Universitas Tanjungpura, Pontianak, misalnya, dari sekitar Rp 300 miliar anggaran universitas, hanya sekitar 33 persen yang bisa dipenuhi dari sumbangan mahasiswa dan hasil kerja sama penelitian. ”Dari sisi keuangan, kami sangat tergantung dari pemerintah,” kata Rektor Universitas Tanjungpura Thamrin Usman.

Menaikkan biaya pendidikan dari mahasiswa juga tidak mungkin karena kemampuan ekonomi orangtua sebagian besar mahasiswa pas-pasan. Selain itu, menggenjot pendapatan dari hasil penelitian juga sangat berat karena keterbatasan kemampuan dosen.

”Dari sekitar 1.000 dosen, jumlah guru besarnya tak sampai lima persen,” kata Thamrin Usman.

Universitas Riau, meskipun berada di daerah kaya, tidak mudah pula menjalin kerja sama penelitian dengan industri untuk menambah pendapatan perguruan tinggi. ”Kualitas dosen pengajar masih harus ditingkatkan. Dan itu menjadi prioritas kami,” kata Rektor Universitas Riau Ashaludin Jalil.

Saat ini dari sekitar 1.200 dosen Universitas Riau, sekitar 75 persen sudah berpendidikan S-2, sekitar 100 dosen berpendidikan S-3, sedangkan jumlah guru besar tak sampai 50 orang. ”Idealnya jumlah guru besar 20 persen atau 240 orang,” kata Ashaludin Jalil.

Begitu juga di Universitas Pattimura, Ambon. Dari sekitar Rp 208 miliar anggaran per tahun, tak sampai Rp 45 miliar yang merupakan sumbangan mahasiswa. ”Sisanya dipenuhi dari pemerintah. Kami belum sanggup jika harus mandiri secara keuangan,” kata Rektor Universitas Pattimura Thomas Pentury.

Kemampuan Terbatas

Menaikkan uang SPP dari sekitar 20.700 mahasiswa juga tidak mungkin karena kemampuan ekonomi orangtua mahasiswa sangat terbatas. Universitas Pattimura hanya mengenakan uang masuk Rp 600.000 dan biaya kuliah sekitar Rp 500.000 per semester bagi mahasiswa.

”Jika uang kuliah dinaikkan, kami khawatir banyak mahasiswa yang tak sanggup membayar sehingga drop out,” kata Thomas Pentury.

Biaya kuliah ini tergolong sangat murah karena berdasarkan kajian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, biaya unit (unit cost) untuk mahasiswa ilmu sosial sekitar Rp 10 juta-Rp 17 juta per tahun. Biaya unit mahasiswa teknik sekitar Rp 14 juta-Rp 20 juta dan biaya unit mahasiswa kedokteran sekitar Rp 32 juta-Rp 62 juta per tahun.

Anggaran Minim

Menurut Imam Prasodjo, sosiolog dari Universitas Indonesia, sudah seharusnya negara memberikan bantuan untuk mahasiswa. ”Negara harus memenuhi kebutuhan biaya perguruan tinggi, tetapi di sisi lain harus memberikan otonomi. Kunci perguruan tinggi adalah otonomi dan independensi,” kata Prasodjo.

Anggota Komisi X DPR, Rully Chairul Azwar, sepakat dengan keinginan Prasodjo. Namun, kenyataannya, anggaran untuk pendidikan tinggi sangat minim. ”Anggaran pendidikan saat ini diprioritaskan untuk pendidikan dasar,” kata Rully.

Ia memberikan gambaran, dari anggaran pendidikan 2012 yang besarnya Rp 289,9 triliun atau 20,2 persen dari APBN, sebagian besar ditransfer ke daerah. Anggaran pendidikan di pemerintah pusat hanya sekitar Rp 102,5 triliun yang dibagi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp 64,3 triliun, Kementerian Agama Rp 32 triliun, dan 18 kementerian serta lembaga lain sekitar Rp 6,1 triliun.

”Sebagian besar atau sekitar Rp 186,4 triliun anggaran pendidikan diberikan ke daerah dalam bentuk dana alokasi khusus, dana alokasi umum, tunjangan profesi guru, hingga dana operasional sekolah,” kata Rully.

Dari sekitar Rp 64 triliun dana yang diperoleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dana yang dialokasikan untuk PTN hanya sekitar Rp 14,1 triliun. Itu pun harus dibagi untuk sekitar 92 PTN. ”Anggarannya memang sangat terbatas,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso.

Jadi, memang dengan anggaran yang sangat minim, tidak mudah untuk meningkatkan mutu dosen dan menaikkan indikator pendidikan tinggi Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar