Kamis, 05 Juli 2012

Politisi Vampir

Politisi Vampir
Febri Diansyah ; Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
KOMPAS, 05 Juli 2012


Judul tulisan ini mungkin berlebihan. Lagi pula apa vampir benar-benar ada? Namun, itulah yang diucapkan oleh sutradara film Abraham Lincoln: Vampire Hunter bahwa beberapa politisi adalah vampir.

Ia bicara dalam bungkus metafora. Petikan ini bisa jadi memiliki makna khusus untuk membaca realitas politik di Indonesia akhir-akhir ini.

Kisah pengisap darah itu mirip dengan cerita penguasa yang merampas hak-hak mendasar warga negaranya. Berjubah wakil rakyat, tetapi bersekongkol merampok anggaran negara dan menjual kewenangan yang dimilikinya. Tentu tak semua politisi seperti ini. Agar ada perbedaan diksi, saya mencoba menggunakan kata politikus, poli dan tikus.

Jumat minggu lalu dimulai dengan kabar seorang anggota DPR dari Fraksi Golkar, yang bertugas di Badan Anggaran DPR, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Al Quran. Kita terperenyak. Rasanya ”batas” yang selama ini relatif masih dipatuhi sekarang dilabrak

Dari sudut pandang korupsi politik, ini lahir dari persekongkolan politik dengan kelompok bisnis atau korupsi yang dilakukan demi kepentingan dana politik. Korupsi tipe inilah yang perlu jadi prioritas utama. Betapa tidak, setelah amandemen UUD 1945, kecenderungan kewenangan yang besar di eksekutif atau pemerintah bergeser ke legislatif.

Di satu sisi, ini menjawab kekhawatiran tentang kekuasaan yang sebelumnya berpuncak di tangan presiden. Namun, di sisi lain, kekuasaan politik sepertinya membengkak di tangan badan legislatif.

Tak hanya di dalam UUD 1945, perluasan kewenangan juga diatur dalam undang-undang tentang lembaga perwakilan rakyat, seperti memilih dan mengesahkan pemimpin pejabat publik serta terkait dengan alih fungsi hutan.

Selain kewenangan formal tersebut, pengaruh kekuatan politiknya sangat besar pula. Sebut saja jawaban menteri yang terkooptasi oleh ”logika” bagi-bagi kue politik. Belum lagi pengaruh elite untuk mengatur anggaran dan pemenangan proyek tertentu.

Dari beberapa kasus yang ditangani KPK akhir-akhir ini, kita semakin paham bahwa politikus benar-benar bisa bermain merampok uang rakyat melalui kewenangannya.
Sebutlah kasus wisma atlet yang menjerat jajaran elite Partai Demokrat dan mulai mengungkap praktik kotor di Badan Anggaran DPR. Ada juga kasus DPID, yang menjerat salah satu anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi PAN, yang sekarang sedang menghadapi persidangan kasus korupsi dan pencucian uang di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Membaca data Komisi Pemberantasan Korupsi, setidaknya sudah 57 perkara korupsi yang menjerat anggota DPR dan DPRD. Sebagian besar, sekitar 46 di antaranya, adalah mereka yang pernah duduk sebagai anggota DPR.

Dilihat dari karakter kasus korupsi yang menjerat wakil rakyat ini, kita menemukan beberapa model yang menarik: suap dalam pemilihan pejabat publik, suap dalam alih fungsi hutan, suap terkait proyek APBN, dan suap terkait pembahasan anggaran di Badan Anggaran DPR.

Itulah korupsi yang menimbulkan efek domino dan potensial menimbulkan korupsi jenis lain. Hal ini diperburuk dengan realitas minimnya keterbukaan dana politik. Partai sebagai satu-satunya pemasok (ke DPR) dan mempunyai pengaruh besar dalam pengambilan keputusan belum bisa diyakini sebagai sektor yang bersih. Korupsi yang menjerat jajaran elite partai terungkap dari hari ke hari.

KPK Dilemahkan

Di sisi lain, terhadap kerja KPK membongkar korupsi para politikus itu, kita juga dihadapkan pada realitas bahwa pelemahan terhadap KPK terusmenerus terjadi. Sebuah lembaga khusus untuk memberantas korupsi yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 senantiasa menjadi sorotan.

Berbagai upaya memangkas kewenangan KPK terjadi: menghilangkan kewenangan lembaga ini sebagai penuntut dengan harapan bahwa kekuatan politik masih bisa menekan dan memengaruhi proses penuntutan di luar KPK.

Selain itu, kewenangan KPK melakukan penyadapan juga dianggap sebagai musuh. Mengapa? Karena konon banyak anggota DPR serta pejabat pemerintah dan swasta yang ditangkap tangan oleh KPK karena sebelumnya lembaga ini berhasil menyadap komunikasi mereka.

Upaya pelemahan itu bukan halusinasi. Pada pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sempat terselip dalam proses pembahasan agar KPK tidak bisa menuntut terdakwa korupsi di Pengadilan Tipikor.

Kemudian, di sisi pemerintah pun, upaya mengebiri kewenangan penyadapan KPK pernah terjadi ketika rancangan peraturan pemerintah soal penyadapan ini sampai di tangan publik. Sekarang rencana melakukan revisi terhadap UU KPK bergulir, bahkan draf RUU KPK tersebut sudah ada di tangan DPR.

Dalam konteks itulah kemudian kita berpikir, apa benar DPR punya setitik komitmen memberantas korupsi? Secara personal mungkin masih ada orang- orang yang relatif bersih. Namun, melihat realitas akhir-akhir ini? Rasanya sulit percaya bahwa kerja pemberantasan korupsi didukung oleh kekuatan politik.

Gedung KPK

Dalam beberapa hari ini diskursus publik diributkan dengan soal anggaran gedung baru KPK yang belum kunjung disetujui DPR, dengan berbagai argumen yang sungguh tidak masuk akal, seperti mengatakan bahwa KPK adalah lembaga ad hoc, sembari mengartikan dengan salah paham bahwa ad hoc berarti ”dibentuk untuk sementara”, dan argumen penghematan anggaran negara.

Mengingat kebutuhan KPK yang sangat nyata dan terukur, logika dan akal sehat kita mengatakan bahwa KPK memang perlu didukung oleh fasilitas gedung yang tentu tidak mewah, tetapi fungsional. Bukan untuk kepentingan KPK, melainkan demi nasib bangsa ini ke depan agar korupsi tidak terus-menerus menggerogoti Indonesia.

Soal prestasi pun, meskipun tak luput dari kritik, KPK yang sudah menyerap anggaran Rp 1,376 triliun dari 2004 hingga 2011 ternyata telah memulangkan Rp 954,36 miliar dari pengembalian kerugian negara dalam kasus korupsi yang ditangani dan gratifikasi. Kemudian penyelamatan aset negara dari sektor pertambangan, migas, dan kementerian/lembaga lainnya Rp 152,9 triliun.

Data yang bersumber dari Laporan Tahunan KPK 2004-2011 dan anti-corruption clearing house (acch.kpk.go.id) menunjukkan bahwa KPK sudah mulai bekerja untuk bangsa ini. Tentu tidak seperti data-data yang tidak bisa dipertanggungjawabkan seperti yang diumbar sejumlah kekuataan politik, yang selalu mengatakan bahwa KPK tekor!

Selain itu, sumbangan nonfinansial juga telah memberikan efek, seperti adanya harapan bahwa penegakan hukum masih punya tempat dan tidak tunduk dibawah bendera politik. Dan, efek pencegahan yang sedang berproses.

Namun, dalam jangka panjang, memang kita perlu juga menghindarkan pembentukan persepsi bahwa DPR itu kotor dan busuk sepenuhnya sehingga kita tidak butuh DPR. Dalam konteks demokrasi yang sehat, penguatan partai politik dan DPR adalah sesuatu yang penting dilakukan.

Pemberantasan korupsi adalah salah satu jawabannya. Seperti metafor, mengepung dan mengusir politikus vampir dari negeri ini dan membangun sistem agar mereka lebih sulit kembali. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar