Jumat, 20 Juli 2012

Politik Olahraga Kita


Politik Olahraga Kita
Anton Sanjoyo ; Wartawan Kompas
KOMPAS, 19 Juli 2012


Lewat situs jejaring sosial, legenda tenis Indonesia, Yayuk Basuki, menuliskan pesan pendeknya di kotak pribadi. ”Lapangan tenis di Pati Unus itu kan jalur hijau, masa mau dibuat apartemen dan mal. Nah,tennis academy-ku ini kan di sini dan ada 150 anak lebih. Kasihan mereka. Aku enggak tahu mau mindahin ke mana”.

Yayuk, pahlawan tenis Indonesia yang sangat sering mengharumkan nama bangsanya di arena internasional, barangkali mewakili ribuan pembina olahraga lainnya yang juga gundah. Seiring dengan berjalannya waktu, pembangunan bukannya semakin berpihak pada olahraga, melainkan justru mengucilkan bidang yang seharusnya menjadi pilar ini. Dalam banyak hal, seperti yang dikeluhkan Yayuk, pembangunan hanya berpihak kepada si pemodal kuat, pada sektor ekonomi dan komersial yang semua keuntungan, dan manfaat dihitung ketat, rupiah demi rupiah.

Sementara bidang olahraga, bagi kebanyakan pemilik modal, bukanlah bidang yang seksi, lahan yang gampang dikeduk manfaatnya sen demi sen. Ketimbang membangun sarana olahraga—dengan konsep komersial dan bisnis sekalipun—lebih baik menegakkan apartemen mewah atau mendirikan mal yang gemerlap, yang balik modalnya jelas meskipun di Jakarta dua jenis properti ini sudah kelebihan pasokan.

Dilihat secara fisik, pembangunan nasional memang menganaktirikan bidang olahraga. Tengoklah kota-kota besar Indonesia, mal, pusat perbelanjaan, dan perkantoran tumbuh dengan asas deret ukur, sementara sarana olahraga boro-boro seperti deret hitung. Dalam beberapa hal, malahan lahan olahraga semakin berkurang seperti yang (bakal) dialami lapangan tenis Pati Unus tempat Yayuk menggembleng bibit-bibit muda tenis kita.

Di kota-kota besar, sarana berolahraga semakin sempit, terdesak oleh pembangunan sarana komersial. Dalam banyak kasus pembangunan permukiman, pemerintah daerah seperti tak punya kekuasaan sama sekali untuk menekan para investor dan pengembang yang mengalihkan begitu saja fasilitas umum dan fasilitas sosial menjadi properti komersial.

Dalam banyak kasus pula, ketika fasilitas umum dan fasilitas sosial diserahkan oleh pengembang kepada pemda, pihak pemda jugalah yang kemudian semena-mena mengubahnya menjadi area komersial, bahkan tak jarang menabrak rencana umum tata ruang dan rencana umum tata wilayah yang mereka buat sendiri.

Dihitung mundur, Indonesia tak pernah punya politik olahraga yang jelas dalam strategi pembangunan manusia. Sejak zaman Orde Lama, pembangunan nasional hanya menekankan pada sisi ekonomi dan politik praktis. Selintas, dalam dua puluh tahun terakhir, misalnya, hal ini tecermin dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di mana alokasi anggaran rutin dan pembangunan bidang olahraga hanya berkutat di kisaran 0,01 persen hingga 0,05 persen dari total APBN (periode 1990-2010).

Dalam bidang olahraga prestasi, untuk maju, paling tidak masuk kelompok elite Asia, Indonesia sangat butuh politik olahraga yang tegas. Rasanya tidak perlu sampai harus meniru China yang menjadikan pilar pembangunan, tetapi harus ada peta jalan (road map) yang jelas mengenai arah pembangunan olahraga Indonesia untuk menuju bangsa yang lebih kuat dan tangguh.

Meski tak harus meniru, China layak dijadikan penanda aras (benchmark) pembangunan olahraga. Sebagai negara dengan ideologi komunis, China membutuhkan propaganda manjur agar sistem masyarakat tetap berjalan mendukung pemerintahan. Olahraga adalah propaganda yang sangat efektif karena langsung menusuk ke jantung kalbu nasionalisme.

Dalam dua dekade terakhir, China habis-habisan mengejar prestasi olahraga dunia, khususnya di arena agung olimpiade. Usaha keras China membuahkan hasil saat mereka menggelar Olimpiade Musim Panas 2008 di Beijing dengan menjadi pengumpul keping emas terbanyak, mengungguli Amerika Serikat dan Rusia serta negara-negara Eropa barat lainnya. Dominasi olahraga kemudian diikuti oleh kemakmuran ekonomi yang membuat China saat ini menjadi kekuatan ekonomi dunia, setara dengan negara-negara maju Eropa dan AS.

Mengerahkan semua kemampuan itulah barangkali kata kunci yang bisa kita teladani dari China. Sebab, seperti halnya pembangunan apa pun, kesuksesan hanya bisa diraih jika semua pemangku kepentingan bekerja dengan mengerahkan seluruh kemampuan, tak bisa setengah-setengah, apalagi tanpa panduan peta jalan.

Harus disadari, membangun olahraga tidak mungkin langsung ke tingkat prestasi olimpiade. Jenjangnya dimulai dari pemassalan, olahraga rekreasi, sampai ke tingkat prestasi. Pada tahap pemassalan saja harus tersedia prasarana layak, seperti lapangan terbuka atau taman. Semakin tinggi tingkatnya, semakin ketat persyaratan prasarananya.

Pada level prestasi, prasarana sudah harus setara dengan standar internasional, semisal kolam renang ukuran olimpiade atau lintasan lari berstandar internasional. Semasa masih di level pemassalan atau rekreasi, bisa dibilang prasarana bolehlah seadanya asalkan layak. Namun, pada level prestasi, lapangan yang tersedia haruslah berstandar olimpiade seperti yang kita lihat bertebaran di kota-kota besar di China. Untuk sampai taraf ini, Indonesia membutuhkan politik olahraga yang kuat, yang disokong terutama oleh pemerintah dan pemodal kalangan industri.

Tanpa keberpihakan kalangan-kalangan ini, pembangunan olahraga Indonesia tak akan beranjak ke mana pun. Dan, Yayuk Basuki hanya bisa mengungkapkan kegundahannya lewat Facebook. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar