PKS
: Kepentingan Suara Mengalahkan Syariat
Rofi Uddarojat ; Mahasiswa Universitas
Paramadina, Aktivis Youth Freedom Network
ISLAMLIB.COM,
13 Juli 2012
“Ulil Abshar Abdalla yang menjadi pembanding presentasi Burhan,
menyatakan bahwa perubahan PKS dari partai islamis-ideologis menjadi partai
pragmatis-terbuka adalah kerugian besar bagi demokrasi Indonesia. Demokrasi
yang sehat, menurut Ulil adalah demokrasi yang didalamnya ada diskusi berimbang
antara berbagai partai, baik partai sekuler maupun partai yang diinspirasi oleh
agama. Kondisi partai di Indonesia akhir-akhir ini sedikit tidak sehat dengan
semakin banyaknya partai yang secara ideologis bergerak ke tengah. Dengan kata
lain, partai-partai lepas dari ideologinya semakin tidak jelas apa
“kelamin”-nya. Akibatnya, kebijakan yang dibuat semakin tidak jelas dan
cenderung populis. Ulil menyayangkan di Indonesia tidak ada partai seperti
green party di Eropa yang rela tidak menjadi partai besar, tetapi asal bisa
masuk parlemen dan merubah diskusi disana dengan arah ideologis mereka.”
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
mengalami transformasi cepat dalam beradaptasi dengan iklim demokrasi di
Indonesia. Partai yang awalnya bernama Partai Keadilan tersebut membuat
keputusan kontroversial dengan menyatakan diri sebagai partai terbuka di
Musyawarah Nasional di Bali pada tahun 2008. Kontroversi yang dihasilkan bukan
saja didapat dari publik, tetapi juga dari internal partai atau jamaah mereka
sendiri. Partai yang ditengarai sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin (IM) di
Mesir ini mendapatkan resistensi luar biasa dari internalnya, karena perubahan
dari partai Islam menjadi partai terbuka dianggap menyalahi niat awal dakwah yakni
memperjuangkan negara Islam.
Publik di luar partai pun tidak langsung percaya
dengan perubahan ini, bahkan banyak yang curiga bahwa ada agenda-agenda
tertentu dibaliknya. Untuk membahas hal ini, Jaringan Islam Liberal (JIL)
mengadakan diskusi buku “Dilema PKS: Antara Suara dan Syariah” yang secara
khusus diangkat dari penelitian penulisnya sendiri Burhanuddin Muhtadi. Dalam
diskusi tersebut, penulis disandingkan dengan Ulil Absar Abdalla dari JIL.
Burhanuddin Muhtadi menggunakan
beberapa pendekatan dalam menganalisis gerakan tarbiyah. Salah satunya adalah
struktur kesempatan politik (political
opportunity structure) yang menjelaskan kenapa gerakan tarbiyah yang
kemudian berevolusi menjadi PKS muncul. Awalnya, revolusi Islam Iran menjadi
tonggak motivasi gerakan tarbiyah, walaupun akhirnya sadar bahwa revolusi Iran
adalah kemenangan Syiah, bukan kemenangan Islam. Selain itu ada faktor
geopolitik yang menyebabkan ketersebaran Ikhwanul
Muslimin ke negara muslim lainnya. Pada saat harga minyak melambung tinggi,
otomatis perekonomian Arab Saudi pun meningkat. Namun masalah yang dihadapi
pemerintah Saudi adalah langkanya tenaga sumber daya manusia. Sehingga pada
saat itu Arab Saudi “mengimpor” tenaga-tenaga ahli dari Mesir yang sebagian
besar adalah aktivis ikhwanul muslimin
yang terusir oleh pemerintah otoriter. Sehingga pada saat itu hampir semua
perpustakaan Arab Saudi diisi buku-buku Ikhwanul
Muslimin. Dan disini, menurut Burhan terjadi mazhab baru perpaduan antara
Wahabi-Ikhwan. Gerakan Ikhwan yang digagas oleh Hasan Al-Banna sebenarnya tidak
banyak masuk ke ranah khilafiyah.
Namun setelah terjadi pertemuan Ikhwan-Arab, menurut Burhan terjadi corak baru
gerakan Ikhwanul Muslimin dengan
masuknya ideologi Wahabi yang cenderung puritan.
Pada tahun 70-an Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII), kelompok Islam modernis yang didirikan oleh M.
Natsir semakin dekat dengan pemerintah Arab Saudi. Kedekatan kedua kelompok ini
membawa keuntungan simbiosis mutualisme. Pemerintah Saudi ingin membendung
meluasnya pengaruh Syiah ke Indonesia, sedangkan DDII berkesempatan mengirimkan
banyak mahasiswanya untuk belajar di Arab Saudi. Di Arab Saudi lah banyak
mahasiswa DDII yang mendapat semangat revivalisme Islam. Puncaknya adalah
kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi dengan mendirikan Lembaga
Ilmu Pengetahuan Islam Arab (LIPIA) sebagai cabang Universitas Imam Ibnu Saud
di Riyadh. Dosen yang didatangkan langsung dari Saudi, sebagian besar adalah
aktivis Ikhwan. Sehingga penyebaran revivalisme Islam ala Ikhwanul Muslimin disebarkan langsung di Indonesia.
Pada pemilu tahun 1999, gerakan
Tarbiyah berubah menjadi partai politik, Partai Keadilan (PK). Namun hasilnya
tidak terlalu menggembirakan, karena hanya mendapat 1,3 persen sehingga tidak
lolos electoral treshold. Menurut
Burhan, pada saat itu PK sama sekali bukan partai massa yang berorientasi pada
banyaknya suara, namun partai kader. Pada saat itu, pengurus tingkat kecamatan
saja banyak yang bergelar doktor. Mereka berkampanye hal yang sifatnya
ideologis seperti pemberlakuan syariat Islam. Inilah yang kemudian dirubah oleh
elit PKS menjelang pemilu 2004. Mereka cenderung menjauhi hal-hal yang bersifat
ideologis, dan lebih menonjolkan hal yang bersifat universal seperti anti
korupsi dan masalah lainnya. Hal ini yang menjelaskan melejitnya PKS di pemilu
2004, dari 1,3 persen menjadi sekitar 7 persen suara.
Namun perubahan cara berkampanye
dari ideologis menjadi pragmatis dan lebih terbuka ini menjadi awal dari
dilema. Dalam tataran kebijakan partai, PKS pun menjadi lebih pragmatis dan
kompromistis dengan partai-partai lain. Hal ini terlihat menurut Burhan yang
pernah mewawancari salah satu pendiri PK, Abu Ridho. Pada saat itu, Abu Ridho
sudah melihat ada dua faksi di tubuh PKS yaitu faksi ideologis dan faksi pragmatis.
Pada saat itu, di TV rumah Abu Ridho ada berita PKS yang menerima laporan
pertanggung jawaban gubernur DKI, Sutiyoso. Abu Ridho menyatakan bahwa
keputusan internal PKS sebelumnya adalah menolak dan Abu Ridho yakin bahwa ada
yang bermain. Menurut Burhan, seketika itu Abu Ridho berkata, “audzubillah minal siyasah wal siyasiyin”
atau yang berarti “aku berlindung dari
politik dan politisi.”
Ulil Abshar Abdalla yang menjadi pembanding presentasi Burhan, menyatakan bahwa perubahan PKS dari partai islamis-ideologis menjadi partai pragmatis-terbuka adalah kerugian besar bagi demokrasi Indonesia. Demokrasi yang sehat, menurut Ulil adalah demokrasi yang didalamnya ada diskusi berimbang antara berbagai partai, baik partai sekuler maupun partai yang diinspirasi oleh agama. Kondisi partai di Indonesia akhir-akhir ini sedikit tidak sehat dengan semakin banyaknya partai yang secara ideologis bergerak ke tengah. Dengan kata lain, partai-partai lepas dari ideologinya semakin tidak jelas apa “kelamin”-nya. Akibatnya, kebijakan yang dibuat semakin tidak jelas dan cenderung populis. Ulil menyayangkan di Indonesia tidak ada partai seperti green party di Eropa yang rela tidak menjadi partai besar, tetapi asal bisa masuk parlemen dan merubah diskusi disana dengan arah ideologis mereka.
Di akhir diskusi Burhan menjawab
beberapa pertanyaan, diantaranya apakah PKS benar-benar tulus berubah menjadi
partai terbuka. Burhan menjawab, bagaimana pun mengharapkan PKS menjadi
benar-benar terbuka agaklah sulit. Karena faktor keterbukaan PKS adalah
dikarenakan alasan-alasan pragmatis. Burhan menyebutkan bahwa alasan PKS
menjadi partai terbuka bukan hanya untuk alasan suara/elektoral, tetapi juga
masalah finansial. Seperti yang kita tahu, bahwa sebagian besar aset nasional
dikuasai oleh orang-orang non-muslim. Sehingga keterbukaan PKS cenderung lebih
untuk menyembunyikan agenda sebenarnya (taqiyyah),
daripada tulus ingin terbuka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar