Perjuangan
Ideologis Tanpa Roh
M
Sobary ; Esais, Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO,
23 Juli 2012
Perang
bisnis untuk membunuh keretek seharusnya diletakkan di atas panggung perang
bisnis itu sendiri.Tapi pihak sana, yang mengancam kehidupan bisnis keretek di
sini, tak cukup memiliki watak kesatria untuk berbuat begitu.
Kata
kesatria dalam konteks seperti ini memang dianggap tak relevan lagi. Dunia
bisnis mengandalkan dana besar. Watak kesatria, kejujuran, dan keteguhan jiwa
bisa diganti dana. Makin besar dana,makin kuat pengaruhnya. Dana bisa membeli
kejujuran. Lalu kejujuran berubah menjadi dana. Maka, dalam hidup ini yang
terpenting dana. Tokoh-tokoh yang semula jujur, yang berpijak pada kepentingan
nasional dan memperjuangkan apa yang bisa menguntungkan bangsa, serta rakyat
Indonesia sendiri semuanya mudah digempur dengan pemikiran lebih praktis.
Nasionalisme dianggap kosong dan tak relevan lagi.Kerakyatan bisa dilupakan. Nasionalisme itu dana.Kerakyatan itu dana. Barang siapa menguasai dana, dia menguasai segalanya. Kejujuran dan orang jujur, pendeknya,bisa dibeli. Ada pasar khusus yang memperjualbelikan kejujuran itu.Di tempat di mana lobi dilakukan, di situ pasar terbentuk.Jual beli pun berlangsung transparan. Orang jualan drug dan dolar gelap masih sembunyi-sembunyi. Rasa malu,rasa takut ketahuan menguasai diri mereka. Tapi mereka yang terlibat di dalam jual beli kejujuran—dan mempertaruhkan nasib bangsanya sendiri—tak perlu malu-malu.
Tak Takut Ketahuan Polisi?
Polisi dalam hal ini tak lagi menakutkan. Adapun Tuhan, yang mereka tahu pasti tengah mengamati dengan sinar matanya yang tajam, tak membuat mereka takut. Tanpa dikatakan, tapi jelas menjadi dasar tindakannya, bahwa Tuhan tidak penting sama sekali. Orang jujur tidak takut kepada Tuhan hanya terjadi di dalam kasus ini. Tak peduli yang terlibat itu politisi yang rapi dan hidup kecukupan atau ilmuwan yang berteriak bahwa dirinya wakil penjaga kebenaran.
Tak peduli pula aktivis dan seniman,yang kredo hidupnya diabdikan pada kemanusiaan dan keadilan, semua sudah menjadi seperti itu. Pengaruh dolar yang gemerlap mampu mengubah segalanya, dalam sekejap saja. Tak mengherankan bila orang-orang jujur,yang nasionalis, yang memang bukan orang kaya, yang ibaratnya tak pernah memiliki duit, tiba-tiba berbalik haluan. Mereka pun akhirnya mendefinisikan nasionalisme itu abstrak,mengawang-awang di langit biru yang tak terbatas.
Kerakyatan itu ilusi yang tak bisa dilihat,tak bisa diraba.Tapi dana, dalam bentuk dolar, alangkah riilnya. Mereka yang pada dasarnya bekerja atas nama kejujuran dan memelihara kejujuran sebagai aset bangsa, dengan bujukan dana macam itu pun “larut-kerut” di arus deras pengaruh materi dan kemewahan duniawi.
Politisi yang kecukupan dan mewah tapi tetap serakah? Dengan sendirinya jelas mengejar dana seperti itu. Dana asing, dolar, betapa besar pengaruhnya.Pejabat disulap dan siap membikin peraturan sesuai dengan pesanan kepentingan asing. Politisi disulap dan cekatan menyiapkan UU sesuai pesanan kepentingan asing.
Merugikan Bangsa Kita?
Itu tak dipikirkannya lagi. Nasionalisme itu abstrak.Kerakyatan itu ilusi. Dana asing jelas, riil, membikin gengsi makin tinggi.Kemewahan melimpah. Gengsi tinggi itu riil,tampak di mobil atau rumah.Kemewahan hidup lebih riil lagi.Tiap saat kita bisa ke sana-kemari menunggu datangnya pelobi dan kita dijamin bos asing. Tokoh, ilmuwan, pejabat tunduk pada otoritas asing? Di mana kemandiriannya? Di mana letak kebebasan politik dan kemerdekaan mimbar akademisnya? Itu ilusi juga.
Hidup riil lebih penting.Hidup lebih butuh dana dibandingkan kemandirian dan kebebasan mimbar akademis. Orang asing,pebisnis asing, dengan segenap kepentingan asing, tak berani langsung menangani persoalan ini karena tak tahu sedalam apa lautan kesadaran jiwa dan pemikiran bangsa kita. Maka dimintalah jasa para politikus, pejabat, aktivis,seniman maupun ilmuwan kita.
Dan semua, yang sudah terbuai dengan dana,yang bisa membuat hidup lebih riil, yang bisa mengubah nasionalisme menjadi kantong tebal, dan kerakyatan yang abstrak menjadi jaminan hidup yang pasti,dengan serentak mereka berkolaborasi dalam apa yang mereka namakan perjuangan membangun dunia yang sehat dan bersih dari asap rokok. Mereka tak peduli akan kenyataan lain: asap knalpot yang lebih besar, lebih mengotori dan juga berbahaya.
Kecuali kalau suatu hari ada perang melawan knalpot dan ada dana asing untuk operasionalnya. Perjuangan membasmi keretek ini ditempuh dengan aturan serbalegal. Tapi legalitasnya ternoda secara politik dan kemanusiaan. Hukum dibuat secara sepihak. Konsultasi publik, apa lagi mengundang secara terbuka pihak petani tembakau dan pabrik keretek, tak dilakukan. Mereka main culas dan kotor. Pertemuan sepihak dianggap harmonisasi dan mereka mengklaim semua pihak telah menerima aturan pemerintah dengan baik.
Sikap politik yang culas itu didukung—anehnya—oleh mereka yang namanya ilmuwan, seniman,dan aktivis yang biasanya melek rohani. Dana, duit membuat manusia pelanpelan menjadi buta. Buta kerakyatan. Buta kebangsaan. Buta keadilan.Ini semua bukan dongeng yang dibuat nenek moyang untuk menjadi kisah mengharukan sebelum tidur, melainkan dongeng yang datang dari kehidupan seharihari kita sendiri dan kita menjadi aktor-aktornya.
Di dalam diskusi-diskusi lewat e-mail,mereka menyebut diri sendiri pejuang yang gagah berani. Saya malu membacanya. Orang yang rata-rata sudah kelewat tua menggunakan idiom remaja macam itu menunjukkan tanda-tanda zaman: tua tak berarti dewasa, apalagi bijaksana. Perjuangan apa yang mereka tempuh?
Menyelamatkan generasi muda dari bahaya keretek? Mengapa perjuangan ideologis yang begitu gagah rela disumbang dana asing,dengan agenda kepentingan asing? Mengapa sebelum dana itu ada, para pejuang yang gagah berani itu tak terdengar suaranya? Mereka menata lingkungan sambil menghancurkan lingkungan. Tiga ratusan home industry, pemodal kecil,dibunuh dengan kejam.
Dan para petani tembakau diancam masa depannya. Inilah perjuangan ideologis yang tidak lagi ideologis. Dan dengan sendirinya tanpa roh. Perjuangan tanpa roh hanya menjadi seperti tentara bayaran: tanpa nasionalisme, tanpa identitas. ●
Nasionalisme dianggap kosong dan tak relevan lagi.Kerakyatan bisa dilupakan. Nasionalisme itu dana.Kerakyatan itu dana. Barang siapa menguasai dana, dia menguasai segalanya. Kejujuran dan orang jujur, pendeknya,bisa dibeli. Ada pasar khusus yang memperjualbelikan kejujuran itu.Di tempat di mana lobi dilakukan, di situ pasar terbentuk.Jual beli pun berlangsung transparan. Orang jualan drug dan dolar gelap masih sembunyi-sembunyi. Rasa malu,rasa takut ketahuan menguasai diri mereka. Tapi mereka yang terlibat di dalam jual beli kejujuran—dan mempertaruhkan nasib bangsanya sendiri—tak perlu malu-malu.
Tak Takut Ketahuan Polisi?
Polisi dalam hal ini tak lagi menakutkan. Adapun Tuhan, yang mereka tahu pasti tengah mengamati dengan sinar matanya yang tajam, tak membuat mereka takut. Tanpa dikatakan, tapi jelas menjadi dasar tindakannya, bahwa Tuhan tidak penting sama sekali. Orang jujur tidak takut kepada Tuhan hanya terjadi di dalam kasus ini. Tak peduli yang terlibat itu politisi yang rapi dan hidup kecukupan atau ilmuwan yang berteriak bahwa dirinya wakil penjaga kebenaran.
Tak peduli pula aktivis dan seniman,yang kredo hidupnya diabdikan pada kemanusiaan dan keadilan, semua sudah menjadi seperti itu. Pengaruh dolar yang gemerlap mampu mengubah segalanya, dalam sekejap saja. Tak mengherankan bila orang-orang jujur,yang nasionalis, yang memang bukan orang kaya, yang ibaratnya tak pernah memiliki duit, tiba-tiba berbalik haluan. Mereka pun akhirnya mendefinisikan nasionalisme itu abstrak,mengawang-awang di langit biru yang tak terbatas.
Kerakyatan itu ilusi yang tak bisa dilihat,tak bisa diraba.Tapi dana, dalam bentuk dolar, alangkah riilnya. Mereka yang pada dasarnya bekerja atas nama kejujuran dan memelihara kejujuran sebagai aset bangsa, dengan bujukan dana macam itu pun “larut-kerut” di arus deras pengaruh materi dan kemewahan duniawi.
Politisi yang kecukupan dan mewah tapi tetap serakah? Dengan sendirinya jelas mengejar dana seperti itu. Dana asing, dolar, betapa besar pengaruhnya.Pejabat disulap dan siap membikin peraturan sesuai dengan pesanan kepentingan asing. Politisi disulap dan cekatan menyiapkan UU sesuai pesanan kepentingan asing.
Merugikan Bangsa Kita?
Itu tak dipikirkannya lagi. Nasionalisme itu abstrak.Kerakyatan itu ilusi. Dana asing jelas, riil, membikin gengsi makin tinggi.Kemewahan melimpah. Gengsi tinggi itu riil,tampak di mobil atau rumah.Kemewahan hidup lebih riil lagi.Tiap saat kita bisa ke sana-kemari menunggu datangnya pelobi dan kita dijamin bos asing. Tokoh, ilmuwan, pejabat tunduk pada otoritas asing? Di mana kemandiriannya? Di mana letak kebebasan politik dan kemerdekaan mimbar akademisnya? Itu ilusi juga.
Hidup riil lebih penting.Hidup lebih butuh dana dibandingkan kemandirian dan kebebasan mimbar akademis. Orang asing,pebisnis asing, dengan segenap kepentingan asing, tak berani langsung menangani persoalan ini karena tak tahu sedalam apa lautan kesadaran jiwa dan pemikiran bangsa kita. Maka dimintalah jasa para politikus, pejabat, aktivis,seniman maupun ilmuwan kita.
Dan semua, yang sudah terbuai dengan dana,yang bisa membuat hidup lebih riil, yang bisa mengubah nasionalisme menjadi kantong tebal, dan kerakyatan yang abstrak menjadi jaminan hidup yang pasti,dengan serentak mereka berkolaborasi dalam apa yang mereka namakan perjuangan membangun dunia yang sehat dan bersih dari asap rokok. Mereka tak peduli akan kenyataan lain: asap knalpot yang lebih besar, lebih mengotori dan juga berbahaya.
Kecuali kalau suatu hari ada perang melawan knalpot dan ada dana asing untuk operasionalnya. Perjuangan membasmi keretek ini ditempuh dengan aturan serbalegal. Tapi legalitasnya ternoda secara politik dan kemanusiaan. Hukum dibuat secara sepihak. Konsultasi publik, apa lagi mengundang secara terbuka pihak petani tembakau dan pabrik keretek, tak dilakukan. Mereka main culas dan kotor. Pertemuan sepihak dianggap harmonisasi dan mereka mengklaim semua pihak telah menerima aturan pemerintah dengan baik.
Sikap politik yang culas itu didukung—anehnya—oleh mereka yang namanya ilmuwan, seniman,dan aktivis yang biasanya melek rohani. Dana, duit membuat manusia pelanpelan menjadi buta. Buta kerakyatan. Buta kebangsaan. Buta keadilan.Ini semua bukan dongeng yang dibuat nenek moyang untuk menjadi kisah mengharukan sebelum tidur, melainkan dongeng yang datang dari kehidupan seharihari kita sendiri dan kita menjadi aktor-aktornya.
Di dalam diskusi-diskusi lewat e-mail,mereka menyebut diri sendiri pejuang yang gagah berani. Saya malu membacanya. Orang yang rata-rata sudah kelewat tua menggunakan idiom remaja macam itu menunjukkan tanda-tanda zaman: tua tak berarti dewasa, apalagi bijaksana. Perjuangan apa yang mereka tempuh?
Menyelamatkan generasi muda dari bahaya keretek? Mengapa perjuangan ideologis yang begitu gagah rela disumbang dana asing,dengan agenda kepentingan asing? Mengapa sebelum dana itu ada, para pejuang yang gagah berani itu tak terdengar suaranya? Mereka menata lingkungan sambil menghancurkan lingkungan. Tiga ratusan home industry, pemodal kecil,dibunuh dengan kejam.
Dan para petani tembakau diancam masa depannya. Inilah perjuangan ideologis yang tidak lagi ideologis. Dan dengan sendirinya tanpa roh. Perjuangan tanpa roh hanya menjadi seperti tentara bayaran: tanpa nasionalisme, tanpa identitas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar