Dalil Donbusch dan Ekonomi Kita
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 23 Juli 2012
Rudiger Dornbusch (almarhum), profesor dari Massachussetts Institute of Technology (MIT) di Boston, mempunyai dalil yang menarik dan kini terasa relevan tentang krisis ekonomi global. Ia berdalil, krisis ekonomi sering kali datangnya lebih lama dari perkiraan.
Namun, begitu datang, langsung cepat berdampak ke mana-mana juga melebihi perkiraan. Kondisi inilah yang kini sedang terjadi sebagai dampak krisis zona euro, seperti disimpulkan Paul Krugman (The New York Times, 20/7/2012).
Seolah mendukung dalil Dornbusch, Dana Moneter Internasional (IMF) pekan lalu mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global, dari 3,6 persen menjadi 3,5 persen (2012) dan dari 4,1 persen ke 3,9 persen (2013).
Di Indonesia, Bank Indonesia (BI), yang notabene adalah mitra kerja IMF di sini, juga sudah mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi kita menjadi 6,1-6,2 persen (2012). Sementara itu, pemerintah masih bergeming di angka yang lebih optimistis, 6,5 persen (2012), serta antara 6,8 dan 7,2 persen (2013). Faktanya, dampak negatif krisis zona euro memang menular dengan laju lebih cepat ke seluruh dunia melebihi perkiraan. China yang selama ini paling kebal terhadap krisis global, merosot ke 7,6 persen pada kuartal II-2012.
Ini adalah pertumbuhan ekonomi triwulanan terendah China sejak krisis global 2009. Sebelumnya, pada kuartal I-2012, pertumbuhan ekonomi China 8,1 persen. Pemerintah China pun sudah mengoreksi pertumbuhan ekonomi 2012 menjadi 7,5 persen.
Kinerja India juga tampaknya menegaskan terjadinya dalil Dornbusch. Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2012 hanya 5,3 persen, turun dari kuartal IV-2011 sebesar 6,1 persen. Sektor manufaktur bahkan mengalami kontraksi.
Persoalan krusial adalah mereka kerepotan dengan inflasi yang tinggi (10,4 persen) sehingga kesulitan untuk menurunkan suku bunga yang relatif tinggi (8,4 persen). Penduduk India kini mengalami suku bunga riil negatif, yakni inflasi melebihi suku bunga simpanan.
Dalam hal ini, Indonesia lebih baik. Inflasi relatif terjaga (inflasi year on year Juni 2012 sebesar 4,53 persen), lebih rendah daripada suku bunga acuan BI 5,75 persen.
Namun, upaya BI menurunkan suku bunga lebih lanjut terasa riskan. Masalahnya, inflasi tinggi sulit dihindari pada saat puasa dan Lebaran (Juli-Agustus). Secara konvensional, menyambut Lebaran selalu diikuti dengan pemberian tunjangan hari raya, yang selalu dikonversikan menjadi kenaikan permintaan barang dan jasa.
Sayangnya, kenaikan sisi permintaan ini tidak selalu direspons dengan kenaikan sisi penawaran. Selalu saja terjadi kelangkaan sehingga dimungkinkan terjadinya kenaikan harga. Sementara itu, pemerintah dalam beberapa hal juga melakukan pembiaran kenaikan harga. Contohnya, pemerintah selalu memberikan keleluasaan bagi pengusaha transportasi menaikkan harga tiket. Pemerintah memang memberikan batas atas, tetapi tidak pernah serius menghukum yang melanggarnya.
Akibatnya, pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi. Regulasi pemerintah menjadi tidak berwibawa, kerap dan gampang diabaikan. Lemahnya kredibilitas pemerintah ini menyebabkan mereka tidak pernah sukses mengendalikan inflasi selama puasa dan Lebaran. Saya perkirakan inflasi Juli dan Agustus akan berkisar 0,7 persen hingga 1 persen.
Kondisi ini akan menyandera BI untuk tidak menurunkan suku bunga acuan, tetap 5,75 persen. Lagi pula, pelemahan rupiah yang kini di kisaran Rp 9.400 hingga Rp 9.500 per dollar AS tidak memberikan ruang yang cukup bagi BI melanjutkan kebijakan uang longgar (easy money policy), hal yang sebenarnya diperlukan dalam situasi tertekan krisis.
Ada sebuah kebijakan lain yang bisa ditempuh dan kini populer di Amerika Serikat dan Eropa, yakni quantitative easing (QE), yakni mencetak uang untuk membeli aset surat berharga jangka pendek, kemudian dananya bisa dipakai untuk membeli aset surat berharga jangka panjang.
Setidaknya ada dua tujuan. Pertama, dalam jangka pendek dapat menstabilkan pasar surat berharga. Di Eropa, kebijakan ini relevan, karena Spanyol sedang panik karena imbal hasil obligasinya naik di atas 7 persen (lebih buruk dari obligasi Indonesia). Kebijakan QE untuk pembelian obligasi Spanyol dapat meredam kepanikan.
Kedua, QE di AS juga dapat menahan agar dollar AS tidak terlalu menguat. Apresiasi dollar AS akhir-akhir ini merugikan neraca perdagangannya. Penambahan peredaran dollar AS akan mendorong depresiasi dollar AS.
Namun, kebijakan QE tampaknya tidak terlalu relevan untuk konteks Indonesia. Obligasi Indonesia tidak sedang tertekan. Begitu pula rupiah tidak sedang memerlukan depresiasi. Kini pilihan kebijakan tinggal pada sisi fiskal. Negara zona euro yang sedang krisis berusaha keras menekan defisit APBN menjadi 3 persen atas produk domestik bruto (PDB). Sebelum krisis, defisit Yunani mencapai 17 persen terhadap PDB! Spanyol kini juga dipaksa melakukannya.
Bagi Indonesia, defisit APBN tahun ini hanya 2,3 persen. Namun, masalahnya, defisit itu terjadi karena pembengkakan subsidi, yakni subsidi BBM yang bakal meledak ke Rp 200 triliun dan subsidi listrik Rp 100 triliun akibat kuota kuantitatif konsumsi energi terlampaui. Hal ini sungguh tidak sehat mengingat volume APBN kita Rp 1.418 triliun (2012) dan Rp 1.548 triliun (2013).
Kian besarnya subsidi energi secara otomatis mengganggu belanja modal (capital expenditure), khususnya penyediaan infrastruktur. Karena itu, ada tiga pilihan: menambah defisit APBN yang berarti pemerintah mencari utang baru melalui penerbitan obligasi; menghemat APBN melalui pemangkasan belanja modal dengan risiko tidak ada stimulus fiskal yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi; ataukah menaikkan harga BBM dan tarif listrik.
Pilihan terakhir cukup riskan secara politik. Akan tetapi, berharap agar masyarakat mau berhemat untuk memenuhi imbauan dan keteladanan pemerintah pusat dan daerah untuk tidak mengonsumsi BBM bersubsidi, rasanya sia-sia belaka alias wishful thinking. Upaya berhemat harus dilakukan melalui jalur pemaksaan (enforcement), yakni melalui mekanisme kenaikan harga.
Sayangnya, tidak ada cara yang instan untuk memperbaiki kredibilitas. Namun, bisa jadi penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menimpa APBN saat ini menjadi pintu masuk. Jika kredibilitas pemerintah bisa dibangun, pengorbanan (sacrifice) masyarakat berupa kenaikan harga secara bertahap bisa ditanggung bersama-sama.
Persoalan ini pula yang kini tengah melilit publik di Eropa tatkala menjalankan ”diet fiskal ekstra ketat” (austerity) yang sungguh berat itu. Bisakah kita menjalaninya? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar