Senin, 23 Juli 2012

Apakah Harus Malu Disebut Negara Pembantu?


Apakah Harus Malu Disebut Negara Pembantu?
Bambang Setiaji ; Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
SINDO, 23 Juli 2012

Dalam kesempatan berkunjung ke Timur Tengah, penulis terkejut melihat kenyataan hampir 300-an tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia melarikan diri dari rumah majikan dengan berbagai masalah dan latar belakang yang berbeda dan akhirnya ditampung berdesakan di ruang bawah di KBRI setempat.

Ruang itu sendiri tidak terlalu luas dan tidak manusiawi, tetapi apa boleh buat, kemampuan KBRI menjamu dan memulangkan para TKW tersebut juga sangat terbatas. Saat ini kita sedang moratorium pengiriman TKW ke Timur Tengah mengingat banyaknya masalah. Duta besar juga sudah kewalahan mengurus TKW dengan pesan jangan masuk lagi ke Timur Tengah, silakan ke negara lain yang lebih maju.

Duta besar juga menyatakan bersinggungan dengan TKW sangat dekat dengan kriminal. Pada saat moratorium terjadi, ternyata TKW masih berdatangan dan tentu saja dengan pelatihan baik bahasa, pengenalan budaya, maupun keterampilan mengurus rumah tangga yang makin minim karena ilegal. Kontrak antara pengirim dan majikan juga tidak jelas.

Keberadaan TKW diasumsikan atau dipersepsi menjatuhkan citra bangsa sehingga turis tidak datang,lebih-lebih untuk belajar ke perguruan tinggi di Indonesia yang beberapa sebenarnya sangat bagus dan berkualitas. Itu semua adalah asumsi dan bukan merupakan hasil penelitian yang representatif.

Bekerja sebagai Hak Asasi

Bekerja merupakan hak asasi yang harus dipenuhi,bahkan negara sebenarnya berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang layak sebagaimana amanat konstitusi. Faktor-faktor pendorong, terutama ketatnya persaingan untuk memperoleh pekerjaan di dalam negeri disertai tanah pertanian yang diwarisi makin lama makin kecil, misalnya hanya 0,1 hektare, jelas tidak bisa untuk menghidupi sebuah keluarga.

TKW, bahkan banyak di antaranya seorang ibu, rela meninggalkan suami dan anakanaknya untuk mengadu nasib di negeri yang gersang, keras, dan jauh baik secara fisik maupun budaya. Namun, bekerja adalah hak asasi, apalagi ditambah sulitnya mencari peluang pekerjaan di dalam negeri dan rendahnya upah di dalam negeri, sehingga bekerja ilegal pun terpaksa menjadi pilihan.

Kalau menjadi pilihan, sangat potensial hal itu menjadi permasalahan yang membebani KBRI setempat. Tidak ada jalan lain untuk membantu TKW. Sebaiknya mereka dilatih kembali serta didisiplinkan dan diberi perlindungan. Untuk memperbaiki kontrak dan pelaksanaannya yang tidak jelas, maka kontrak harus dibuat lebih formal. Selain TKW yang dididik dan diformalkan, para pengguna di negara yang kurang berkembang seperti di Timur Tengah, Malaysia, dan Singapura juga perlu dididik cara-cara menggunakan tenaga kerja.

Bahkan pengguna di dalam negeri juga perlu diedukasi dengan undang-undang. Kontrak yang lebih formal ini terutama menyangkut hak dan kewajiban serta deskripsi tugas serta batasan jam kerja yang jelas. Di negara maju, TKW dihormati sebagai pekerjaan yang layak, yang disebut home care yang umumnya dilakukan secara part time, yaitu sebagai pekerja rumah tangga ketika tuan rumah pergi bekerja. Mahasiswa doktor Indonesia banyak yang melakukan pekerjaan home care tersebut.

Industri Pembantu Rumah Tangga

Dengan profesionalisasi, kita tidak perlu malu untuk disebut sebagai negara penyuplai pembantu. Caranya adalah dengan memaksakan kontrak formal, memakai uniform yang memberi imej sebagai pekerja profesional, jam kerja yang jelas, dan harus pulang ke rumah bersama yang wajib diadakan oleh PJTKI. PJTKI juga wajib menyediakan mobil antarjemput untuk kota-kota yang angkutan umumnya belum berkembang.

Para pengguna juga harus memperoleh pencerahan atau pemberadaban. Pemerintah setempat tentu juga tidak suka disebut memiliki keluargakeluarga yang memerlukan pekerja dengan perlakuan kurang beradab.Hal itu akan memberi imej negara yang masih melegalkan praktik yang mendekati perbudakan. Problem-problem TKW bukan hanya mencoreng negara pengirim sebagai negara pembantu, tetapi negara penerima juga tercoreng apabila menggunakan industrial relation standard yang rendah.

Hal tersebut mencerminkan ketidakmajuan atau ketidakberadaban. Lebih-lebih kalau dipersepsi masih melegalkan perbudakan yang tentu ingin dihindari oleh negara penerima. Mengingat keterbatasan pekerjaan di dalam negeri, sementara angkatan kerja baru selalu bertambah setiap tahun dengan tingkat pendidikan makin tinggi dan makin bervariasi, mungkin diperlukan SMK jurusan home care.

Mereka bisa bekerja di rumah tangga, tetapi bisa juga ke bagian tertentu di perhotelan. Dengan mengirim TKW yang lulus SMK dengan modal bahasa yang lumayan, industri pembantu bisa menjadi penyelamat neraca perdagangan internasional yang akhir-akhir ini defisit. TKW juga memiliki karier, peringkat pertama mereka yang pergi ke Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah, peringkat atasnya pergi ke Hong Kong,Taiwan, dan Korea.

Peringkat atau pangkat tertinggi apabila bisa masuk ke Jepang, Australia, Eropa, dan Amerika.Di negara-negara terakhir ini, mereka sangat dihormati dan pemilik rumah sangat merasa berterima kasih kepada para pekerja home care. Lintas pekerjaan ke layanan hotel dan pekerjaan-pekerjaan lain juga dimungkinkan setelah para TKI mengenal bahasa dan budaya setempat.

TKI merupakan intruder pasar kerja, budaya, bahkan agama ke negara-negara lain. TKI masih jauh lebih beruntung daripada bangsa Afrika yang dibawa ke Eropa dan Amerika yang akhirnya melahirkan Presiden Obama. Dalam jangka panjang, mereka merupakan duta bangsa yang sangat menguntungkan di masa depan.

Di kota-kota besar di dunia selalu terdapat China Town dan hal itu terbukti membawa sukses bisnis China di seluruh dunia dan membawa China menjadi raksasa ekonomi dewasa ini. Indonesia Town atau Indonesia Enclave sangat dimungkinkan di masa depan melalui pengorbanan dan perjuangan TKI yang dampak negatifnya bisa kita kurangi. Jadi kata kuncinya adalah industrikan TKW, kita formalkan, bahkan kita buat SMK-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar