Rabu, 11 Juli 2012

Penting Pilihan Warga


Penting Pilihan Warga
Dinna Wisnu ; Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina 
SINDO, 11 Juli 2012

Hari ini adalah momen penting bagi warga DKI Jakarta. Hari ini digelar penentuan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk periode kepemimpinan 2012–2017 melalui pemilihan umum secara langsung.

Proses pemilihan umum kali ini menarik untuk dicatat sebagai bagian dari sejarah pemilihan kepala daerah (pilkada) dan sebagai bagian dari perkembangan demokrasi di Indonesia. Bukan hanya penduduk Jakarta atau Indonesia yang menunggu- nunggu hasilnya,negara-negara lain pun memantau kondisi yang berkembang di sini. Mengapa? Pemilihan umum adalah pergelaran demokrasi.

Dalam demokrasi, yang dilihat bukan semata hasil akhir siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi juga proses menuju tahap akhir penentuan pemenang, termasuk siapa-siapa yang maju dalam pemilu tersebut. Jika proses pilkada menorehkan kecurangan,kekerasan,atau ketidaktransparanan dalam proses, proses pemilu di tingkat nasional pun sulit diyakini berjalan jujur dan adil.

Council of Foreign Relations (think tank pembisik kebijakan luar negeri AS) menegaskan bahwa pilkada adalah indikator perkembangan demokrasi yang riil, refleksi dari kemampuan partai dan petugas pemilu di tingkat daerah dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Bukan rahasia bahwa demokrasi di Indonesia sedang dipantau ketat oleh negara-negara lain di dunia.

Pasalnya,demokrasi merupakan instrumen politik yang selama ini dimanfaatkan oleh Indonesia untuk membangun hubungan dengan banyak negara, termasuk untuk mengundang investasi asing,memperkuat kerangka kerja sama regional, dan memperkuat posisi dalam diplomasi internasional. Hasil pantauan The Fund for Peace tentang Indeks Negara Gagal beberapa minggu lalu seperti mengukuhkan pandangan negara-negara lain bahwa perkembangan politik domestik di Indonesia perlu dipantau dengan cermat.

Dalam sejumlah pembicaraan dengan rekan-rekan asing bahkan muncul kecurigaan, diplomat Indonesia memang lihai dalam memberi pencitraan positif tentang Indonesia sehingga mereka menganggap perlu untuk memantau praktik riil demokrasi supaya keaslian wujud politik domestik Indonesia juga tertangkap.

Dalam konteks itu,sah rasanya untuk mengingatkan, demokrasi yang sehat adalah yang dibangun atas dasar penegakan hukum (rule of law) dan perlindungan atas hak berpendapat, memilih, dan berasosiasi. Inilah fondasi tata kelola pemerintah yang selama ini dicari- cari untuk membangun kesejahteraan yang berkelanjutan bagi seluruh warga negara.

Di mata internasional, partisipasi politik dari publik yang merasa nyaman, puas, dan terlindungi adalah jaminan bagi hubungan kerja sama yang baik pula dengan negara-negara lain. Dalam demokrasi yang sehat, pemenang pemilu akan punya legitimasi tinggi sehingga kerja samadengannegaralainpunpunya dasar legitimasi yang tinggi.

Nah,kembali pada pilkada. Selama ini, berita-berita yang berkembang tentang pilkada belumlah yang terbaik. Kita masih ingat pada 2010 International Crisis Group melaporkan kecenderungan kekerasan dan kurangnya profesionalisme dalam penyelenggaraan pilkada. Dalam rekomendasinya, disarankan, konfrontasi yang terjadi di tingkat komunitas sebenarnya dapat dihindari dengan aturan main yang jelas, diterapkan dengan tegas, dan melalui perbaikan manajemen pemilu oleh lembaga-lembaga negara yang bertugas menjalankan mandat mengawal pilkada.

Pada masa itu, Komisi Pemilu Daerah dinilai kurang profesional, tidak mengantisipasi berbagai hal, lamban, kurang transparan, bahkan berpihak dan berkecenderungan korup sehingga menimbulkan keresahan masyarakat akan hasil akhir pilkada. Tahun ini,catatan media tentang pilkada relatif sama.

Biaya kampanye dinilai terlalu mahal, Komisi Pemilihan Umum bahkan dituntut oleh para calon karena merilis daftar pemilih yang bermasalah, sementara kecenderungan politik uang dan korupsi juga memprihatinkan. Kompas (9/5/12) merilis bahwa sedikitnya 173 kepala daerah yang dipilih secara langsung dalam pilkada (37% dari total kepala daerah) tersangkut kasus korupsi, mulai dari politik uang sampai penyalahgunaan dana APBD demi mengembalikan “modal”saat kampanye.

Harapan pada Jakarta

Terlepas dari apa nanti hasil pilkada hari ini, DKI Jakarta telah memberi harapan baru pada demokrasi di negeri ini. Sejumlah pengamat asing memberi perhatian lebih pada pilkada di DKI Jakarta karena ada pasangan cagub dan cawagub dari jalur independen, yaitu mereka yang tidak dicalonkan oleh partai, melainkan naik karena pengumpulan dukungan KTP dan dana secara swadaya. Jakarta ibarat kompas yang bisa dijadikan pijakan politik daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Tim Bunnel dan Michelle Ann Miller dari National University of Singapore bahkan memandang Jakarta sebagai sumber debat politik tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga global karena di sana transformasi dan politik perkotaan menjadi pegangan dan pijakan bagi para politikus. Yang sah atau lolos di tingkat ini berarti akan lolos juga dianggap sah di tingkat nasional.

Jalur perseorangan (jalur independen) memberikan sebuah optimisme di kalangan pengamat Indonesia. Mereka yang semula melihat perkembangan demokrasi secara pesimistis karena menguatnya paham-paham sektarian kini punya alasan untuk lebih optimistis. Hal itu tampak dari pemberitaan- pemberitaan media elektronik dan media massa di Singapura, misalnya. Jalur perseorangan muncul sebagai fenomena yang mengisi kerangka analisis geopolitik di ASEAN.

Meskipun jalur perseorangan sudah ada dan berhasil menguasai kursi kekuasaan di beberapa daerah, seperti baru-baru ini menang di Kupang, fakta itu belum memberikan dampak yang besar secara nasional. Berbeda rasanya ketika jalur perseorangan muncul di Jakarta. Para analis hubungan internasional yang dulu sempat pesimistis bahwa politik elektoral Indonesia akan didominasi kekuatan yang menjual isu nasionalisme dan agama mendapati alternatif lain di tingkat massa.

Dalam praktik berdemokrasi, kemunculan calon independen adalah hal yang wajar, terutama bila partai-partai politik yang ada tidak memberikan rasa keterwakilan kepada warganya. Jika di suatu negara ada apatisme pemilih atau ada pemilih yang tidak punya kesetiaan pada partai tertentu (alias swing voters), maka bibit calon independen pasti akan muncul.

Meski demikian, calon independen juga tidak dapat menjadi permanen karena mereka lahir dari sebuah momentum, bukan pengorganisasian atau pembangunan jaringan yang memerlukan waktu dan dana banyak. Contoh, tahun lalu, di Beijing, China, puluhan orang mencoba mengajukan calon independen di luar Partai Komunis China.

Ada sebuah momentum antibirokrasi partai yang menginspirasi orang untuk melakukan pilihan lain dari yang tersedia. Jadi, apa pun hasilnya dari pilkada Jakarta hari ini, ada kontribusi positif yang ditangkap oleh pihak asing atas proses yang berlangsung.Para pendukung pihak independen menjadi semacam bukti bahwa ada gerakan massa yang paham akan nilai-nilai demokrasi yang sebaiknya dijaga dan dikembangkan dalam partaipartai politik.

Ini gerakan protes yang tertata dan dalam koridor konstitusi. Secara umum sebenarnya boleh dikatakan gerakan ini mirip dengan gerakan reformasi mahasiswa tahun 1998. Sebuah pilihan baru dibuat oleh warga sebagai antitesis dari pilihan-pilihan yang tersedia. Semoga memang ada alasan bagi negara lain untuk lebih optimistis terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar