Rabu, 11 Juli 2012

Jangan Salah Pilih Gubernur


Jangan Salah Pilih Gubernur
Benny Susetyo ; Pemerhati Sosial 
SINDO, 11 Juli 2012

Jakarta merupakan wajah Indonesia.Kesemrawutan yang terjadi hingga hari ini juga merupakan cermin nyata kesemrawutan Indonesia. Pilkada DKI Jakarta yang digelar hari ini memang tidak menjadi jawaban satu-satunya untuk memecahkan berbagai kesemrawutan Jakarta.

Namun, setidaknya ada momentum untuk melakukan perubahan. Perubahan yang membuat Jakarta sebagai kota yang lebih beradab dan promanusia, prowarga, dan bukan semata progedung-gedung tinggi, prokapital, apalagi propenguasa saja. Jakarta bukan saja milik warga Jakarta, melainkan milik bangsa Indonesia.

Jakarta yang Manusiawi

Kompleksitas permasalahan kota membutuhkan sentuhan figur pemimpin yang tidak hanya mampu membangun pertumbuhan ekonomi,melainkan juga pemimpin yang memiliki semangat membangun dengan keadilan.Apa yang tampak gemerlap di Jakarta tidak bisa menjadi ukuran keberhasilan pembangunan kota, bila saja sehari-hari kita masih disuguhi potret buram kemiskinan. Pemimpin Jakarta baru seharusnya melihat mereka bukan semata sebagai tumbal pembangunan. Mereka juga warga, manusia.

Jakarta merupakan kota yang kompleks. Memang tidak mudah mencari figur pemimpin yang pas dan sesuai dengan karakter Jakarta. Namun di antara kompleksitas tuntutan itu sendiri,tentu pilihan rakyat DKI dalam pilkada ini memberikan banyak makna.Pemimpin baru Jakarta harus memiliki visi untuk mengembalikan Jakarta sebagai kota beradab.

Sebab Jakarta merupakan pantulan peradaban Indonesia.Buruk wajah Jakarta adalah buruk wajah Indonesia. Selalu ada harapan yang ingin disematkan. Harapan untuk menata kota lebih manusiawi. Utamanya dengan pembangunan yang berorientasi pada keadilan dan pemerataan, bukan justru terjebak pada paradigma pertumbuhan yang nyata-nyata gagal dalam mencapai hakikat pembangunan itu sendiri. Muncul pertanyaan, apakah proses demokrasi yang telah dilewati dengan baik ini bisa melahirkan pemimpin yang benar-benar demokratis?

Selain itu, apakah pemimpin demokratis yang dihasilkan kali ini bisa menjalankan tugasnya secara demokratis dan menggunakan kekuasaannya benar-benar untuk kepentingan seluruh rakyat Jakarta? Jakarta membutuhkan seorang figur yang memiliki pandangan mata elang. Ialah pemimpin yang pandangannya lebih banyak ke bawah daripada ke atas.Realitas di depan mata yang harus dihadapi dengan penuh kesungguhan: kemiskinan, gelandangan, pengangguran, pelayanan publik sampai pada tata kota yang lebih berpihak kepada manusia, bukan modal.

Sentuhan manusiawi ini harus dikedepankan mengingat sebagai sebuah ibu kota,Jakarta sudah lama dikenal kehilangan daya tarik sosio-budaya dan tradisi sosialnya. Jakarta sudah menjadi kota mekanik di mana uang adalah yang mahakuasa. Semua dikendalikan oleh pemilik kapital besar. Pembangunan yang dilakukan dengan menggusur dan mengusir paksa kaum miskin adalah realitas di mana pemimpin lebih tertarik membangun Jakarta dengan meminggirkan kaum miskin.

Heterogenitas warga memang sebuah kenyataan sekaligus tantangan. Tantangan bagi pemimpin untuk mengedepankan aspek pluralitas dalam berbagai kebijakannya. Jakarta bukan milik segolongan orang saja, Jakarta milik bangsa Indonesia. Jakarta dengan segala kompleksitasnya membutuhkan sentuhan lain setelah sepanjang masa lalu diciptakan sebagai kota yang melulu menyengsarakan. Hidup di Jakarta tak ubahnya hidup di hutan yang ganas, yang berkuasa dan berkekuatan menjadi penguasa rimba. Rakyat miskin kota hanyalah sampah yang harus disingkirkan demi pembangunan mercusuar metropolitan.

Momentum Berubah

Di tangan pemimpin baru, Jakarta menunggu sentuhan pemimpin yang memiliki hati nurani. Mereka yang tidak mengabdi pada kepentingan kaum pemodal. Persoalan Jakarta yang begitu kompleks membutuhkan pemimpin yang tidak saja andal dalam hal administrasi, melainkan gubernur yang memiliki visi untuk membangun Jakarta sebagai kota yang manusiawi dan berbudaya. Sudah lama kota ini dirasakan kian lama kian tidak beradab dan jahat bagi kaum kecil,tidak punya kekayaan, dan marjinal dalam arti apa pun.

Kota ini tidak bersahabat bagi para pedagang asongan, penganggur maupun kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mampu membeli fasilitas kota. Pemimpin yang diharapkan ialahmerekayangmampumembawa kembali Jakarta sebagai kota beradab. Mereka yang mampu memberikan keadilan bagi warga.Mereka yang mampu menggali nilai-nilai budaya luhur menjadi aset kota.Pemimpin yang tidak saja berjanji memberikan nilai kesejahteraan bagi masyarakat,melainkan juga merealisasikannya.

Tidak mudah mengubah Jakarta dalam sekejap mata. Momentum pilkada ini pada akhirnya memang diharapkan untuk melahirkan pemimpin seperti itu.Melahirkan Jakarta yang berubah lebih manusiawi. Semua kembali pada kejujuran dan niat baik pemimpin, untuk niat apa mereka mencalonkan diri menjadi pemimpin dan bersusah-susah menjadi orang nomor 1 di Jakarta.

Bila niatan kekuasaan semata-mata dan dengan kekuasaan itu ia akan bisa berbuat semau gue, sedemokratis apa pun proses pemilihannya tidak akan bisa mengubah Jakarta menjadi kota beradab. Sifat-sifat yang sudah nyaris lenyap dari Jakarta sebagai kota di antaranya adalah keadilan, kejujuran, kemanusiaan, dan kebersamaan.

Jakarta tidak lagi mengenal keadilan, sebab di dalam belantaranya yang sangat buas, keadilan lebih banyak ditentukan bukan dari hukum manusia, melainkan hukum rimba: siapa kuat siapa menang. Jakarta menjadi cermin kesengsaraan warga yang lemah dan tak memiliki daya untuk membeli keadilan. Demikian pula dengan kejujuran. Orang jujur di Jakarta akan segera enemui kehancuran.

Sebagai kota metropolitan, sistem sosial, ekonomi, budaya, politik, dan pemerintahan di Jakarta sedikit banyak memberikan contoh bagaimana bisa bertahan hidup di belantara Jakarta. Salah satunya adalah dengan meninggalkan sikap kejujuran dan mengobarkan kebohongan. Pelanggaran dan kebohongan sudah amat terbiasa dilakukan atas nama kebenaran. Begitu sulit membedakan mana kebohongan dan kejujuran di Jakarta karena keduanya sering berwajah sama. Arus deras kapitalisasi di berbagai sektor kehidupan telah melenyapkan pula kemanusiaan dan kebersamaan.

Jakarta telah menjadi kota angker karena budaya kesetiakawanan sudah tidak bisa dipercayai lagi. Semuanya berlaku hukum jual beli, ada uang ada barang. Kebijakan kota yang tidak manusiawi dan hanya mementingkan kaum tertentu menjadi salah satu penyebab utama semakin merosotnya moralitas Jakarta sebagai kota metropolitan yang berbudaya. Di sinilah letak tanggung jawab pemimpin. Memang tidak mungkin mengubah Jakarta dalam semalam. Tapi dari momentum ini, warga metropolitan memiliki sedikit harapan menemukan pemimpin yang lebih baik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar