Pasar
Bebas Politik
Yasraf Amir Piliang ; Pemikir Sosial dan Kebudayaan
KOMPAS,
23 Juli 2012
Menjelang Pemilu 2014 yang masih dua tahun
lagi, aroma kegelisahan menghantui para elite politik terkait melambungnya
biaya politik.
Partai membutuhkan dana sangat besar untuk
kampanye pemilu, memelihara konstituen, menggerakkan organisasi, merawat
infrastruktur, memperbarui atribut partai, dan ”mendapatkan” suara rakyat.
Aneka cara digunakan untuk menghimpun dana politik, baik legal atau ilegal.
Biaya politik melonjak akibat peralihan dari
sistem pemilihan perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung, yang memerlukan
infrastruktur, sarana, dan media komunikasi lebih kompleks dan berbiaya tinggi.
Akibatnya, pesta demokrasi jadi sangat mahal, di mana hanya orang-orang kaya
(oligarch) dapat bersaing dalam pertarungan politik. Ideologi sebagai basis
politik terpinggirkan, digantikan hasrat pragmatisme kekuasaan.
Dalam iklim komersialisme politik, peran
citra dan pencitraan sebagai jalan kekuasaan menjadi sangat sentral, bahkan
nyaris mutlak. ”Imagologisme” seakan jadi ideologi baru, di mana citra-citra
spektakuler-megalomanik menyihir masyarakat dengan gemerlap pesona dan
ilusi-ilusi, dan mencabut mereka dari akar ideologi. Politik lalu kehilangan
nilai ”keadaban” karena dalam permainan citra melekat manipulasi kesadaran
masyarakat.
Demokrasi Oligarkis
Menguatnya peran orang-orang kaya dalam medan
politik telah mengubah medan politik dari medan ”pertarungan ideologi” menjadi
”pertarungan modal” dan ”citra” demi kekuasaan. Medan politik menjelma ”pasar
bebas politik”, di mana para politisi mengemas ”barang dagangan politik” dalam
sebuah ”etalase politik” yang megah dan gemerlap, untuk menseduksi para
”konsumer politik”.
Dalam ”pasar bebas politik”, institusi
politik—khususnya partai politik—menjelma lembaga bisnis besar, pabrik, atau
korporasi yang berurusan dengan investasi, perputaran dan akumulasi kapital.
Akibatnya, partai politik kehilangan sifat ”yang politik” (the political), karena—seperti lembaga ekonomi—tak lagi diatur oleh
etika dan aturan komunitas politik, melainkan aturan hukum individu (individual law), yang lebih mengusung
ego pribadi (Schmitt, 1988).
Politik kehilangan sifat ”yang politik”
ketika ia kehilangan spirit komunalitas. Politik adalah perjuangan membangun
”sang kita” sebagai komunitas; apakah dengan nama ”partai”, ”oposisi’, ”buruh”,
atau ”bangsa”. Ideologi hanya berfungsi ketika masih ada spirit komunitas, yang
mengikat orang-orang dalam ikatan ”sang kita” dilandasi rasa kebersamaan,
sekeyakinan atau sealiran (Ranciere, 1995).
Maka, ketika politik bergeser menjadi
”korporasi”, spirit kolektivisme digantikan ”individualisme”; ikatan ideologi
diganti hasrat pragmatisme kekuasaan individu. Spirit individualisme
ditunjukkan oleh persaingan kekuasaan individu-individu di dalam partai.
Akibatnya, pesta mencari pemimpin jadi sangat mahal karena politik terjebak
dalam lingkaran ”kapitalisme politik”, di mana kekuatan modal materi—bukan
ideologi—menjadi ekuivalensi kekuatan politik.
Dalam cengkeraman kapitalisme politik, hanya
orang kaya (para oligarch) yang mampu
bersaing dalam medan pertarungan politik. Demokrasi menjelma ”demokrasi
oligarkis”. Akibatnya, demokrasi sebagai bentuk kekuasaan ”di tangan rakyat”
menjelma kekuasaan ”di tangan orang kaya”. Demokrasi telah terdistorsi menjadi
sistem ”oligarki politik” dan ”oligarki ekonomi”—dua sisi dari mata uang yang
sama, yaitu menumpuk kekayaan untuk kekuasaan (Ranciere, 2006).
Oligarkisme politik telah meminggirkan atau
mengerdilkan ”rakyat” sebagai elemen sentral sistem demokrasi. Rakyat sebagai
pemain utama dalam sistem demokrasi kini hanya pelengkap, bahkan obyek
kekuasaan. Status mereka dikerdilkan dari konstituen ideologis jadi ”konsumer”
gagasan, citra, pesona dan ilusi-ilusi yang ditawarkan para oligarch politik.
Dalam reduksi demokrasi menjadi oligarki,
kekuatan rakyat digerus menjadi sekadar ”nama” atau ”predikat”, tetapi tak
memiliki ”kekuatan nyata” dalam medan politik. Sistem demokrasi
representasional—di mana wakil rakyat mewakili rakyat—kini jargon hampa belaka.
Mereka kini telah berubah menjadi ”individu-individu” dengan hasrat pribadi,
dan terputus dari rakyat yang diwakilinya.
Populisme Politik
Distorsi sistem demokrasi ke arah oligarki
telah mengubah tidak saja cara kerja, metode, prosedur, strategi, tetapi juga
identitas, watak, dan spirit politik. Cara kerja korporasi dan kapitalisme kini
menjadi ”cara kerja politik”. Institusi politik direduksi menjadi ”manajemen
oligarkis”, yaitu manajemen investasi, distribusi, dan akumulasi modal sebagai
cara dalam pertarungan kekuasaan yang liar.
Dalam distorsi demokrasi, ruang publik
politik tergerus, yang kini tak lagi dikuasai publik, tetapi oleh para pemilik
modal yang bertopeng ”publik”. Ruang publik menjelma ”ruang publik borjuis”, di
mana kepentingan publik direduksi jadi kepentingan para pemilik modal.
Di
dalamnya, ”suara”, ”opini”, ”persepsi”, ”preferensi”, atau ”protes” publik,
semuanya dikonversikan sebagai komoditas demi keuntungan ekonomi-politik
(Habermas, 1991).
Citra dan pencitraan yang sejatinya merupakan
cara kerja kapitalisme kini jadi cara kerja politik demokratis. Akibatnya,
strategi pengemasan, pencitraan, hiburan, seduksi, sensualisme, eye catching, dan simulasi kini jadi
”bahasa politik”. Citra partai kini direduksi jadi citra individu tokoh partai,
yang menunjukkan spirit komunalitas telah digerus prinsip individualisme.
Begitu sentralnya sosok tokoh individu sehingga ia seakan menjadi penanda
ekuivalen dari partai.
Pada tingkat komunikasi politik, karena ruang
publik politik telah menjelma ”ruang publik oligarkis”, strategi komunikasi
politik direduksi jadi strategi ”populisme” sebagai ekuivalen strategi budaya
populer dalam sistem industri. Populisme adalah cara komunikasi politik yang
mereduksi kompleksitas realitas politik menjadi semacam ”mistifikasi” dan
”simplifikasi”, yang atas nama rakyat menggunakan sentimen kesukuan, agama,
adat, atau tradisi untuk menciptakan ”musuh palsu bersama” (Zizek, 2008).
Distorsi sistem demokrasi telah mendistorsi
pula makna ”kebebasan”. Kebebasan dalam sistem demokrasi yang dibingkai dalam
spirit komunitas kini jadi ”kebebasan individu” seperti dalam sistem
kapitalisme, yang diekspresikan melalui slogan ”Konsumer adalah Raja”. Padahal,
slogan ini adalah penanda hampa makna karena kebebasan memilih adalah dalam
kondisi di mana pilihan sudah ditentukan oleh elite produsen kapitalis.
Makna ”kebebasan memilih” dalam politik juga
direduksi menjadi kebebasan ala kapitalisme, yaitu ”kebebasan” sebagai penanda
hampa makna. Rakyat memang bebas memilih wakil rakyat atau presiden. Tetapi,
itu adalah ”kebebasan memilih dalam ketiadaan pilihan”. Rakyat bebas memilih,
tetapi apa yang dipilih semuanya sama, yaitu para elite yang sama-sama tercabut
dari perjuangan ideologi, dan merayakan kepentingan ego pribadi. Rakyat memilih
dalam ketiadaan pilihan!
Masa depan demokrasi sangat bergantung pada
bagaimana kita menyikapi realitas demokrasi: apakah membiarkan kondisi
”ketaksadaran-diri” terbawa ke dalam praktik yang menegasi prinsip demokrasi
sendiri. Atau, sebaliknya, mendorong upaya refleksi, pemikiran, diskusi, wacana
kritis, serta gerakan budaya tanding untuk menjaga agar demokrasi tak berbalik
merusak peradaban sendiri. Bila tidak, kita akan terus ”menjalankan demokrasi
dalam ketaksadaran demokrasi”—the
unconscious democracy! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar