Mendialogkan
Gawatnya Perbukuan Nasional
Alfons Taryadi ; Mantan Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi
(1998-2002)
KOMPAS,
23 Juli 2012
Perbukuan nasional kita banyak dikeluhkan
karena tidak ada kebijakan yang tunggal dan terpadu.
Ajip Rosidi, Ketua Umum Ikatan Penerbit
Indonesia (Ikapi), tahun 1978 sudah mengeluhkan ini. Kritik serupa disampaikan
Ketua Umum Ikapi berikutnya, Ismid Hadad, 1980.
Suatu hari, tahun 1998, sebagai Ketua Dewan
Pertimbangan Ikapi, saya mendampingi Arselan Harahap (Ketua Umum Ikapi
1998-2002) menghadap pejabat tinggi pemerintah untuk membicarakan pengembangan
perbukuan nasional.
Ketika kami baru menceritakan kondisi
perbukuan negara tetangga, sang pejabat langsung memotong. ”Saya tak suka
membandingkan Indonesia dengan negeri lain. Ujung-ujungnya kalian hanya akan
menuduh pemerintah kurang ini kurang itu.”
Saya jadi ingat kata-kata (mantan) Mendikbud
Prof Dr Wardiman Djojonegoro dalam sambutannya pada HUT Ikapi tahun 1996. Ia
justru menyarankan Ikapi membuat studi banding ke negara tetangga.
Maka, 16-21 Agustus 1996, saya memimpin Tim
Ikapi untuk meninjau perbukuan di Malaysia. Tim kami melaporkan hasil kunjungan
ini dalam mimeograf 77 halaman berjudul Melongok Penerbitan Buku di Malaysia.
Sikap Prof Wardiman membuat saya yakin bahwa
perbukuan kita, bagaimanapun kondisinya, tetap bisa dan perlu didialogkan.
Syaratnya, semua peserta mengakui bahwa perbukuan adalah milik kita bersama.
Seturut Augusto Curi (Brilliant Parents Fascinating Teachers, 2003), bicara adalah
mengekspresikan dunia di sekitar kita, sedangkan berdialog mengekspresikan
dunia kita. Maka kita tak hanya bicara, tetapi berdialog tentang perbukuan
kita.
Tanpa Saling Tuding
Dialog bisa dimulai dari sorotan Ketua Dewan
Pertimbangan Ikapi Pusat Setia Dharma Madjid atas pembubaran Dewan Buku
Nasional (DBN) oleh Kementerian Pendayagunaan Negara dan Reformasi Birokrasi,
dengan alasan lembaga nonstruktural tersebut belum berkinerja baik (Kompas,
29/6/2012).
Memang, Keppres Nomor 110 Tahun 1999
mengamanatkan pembentukan DBN. Namun, saat saya menulis ”Menggulirkan Dewan
Perbukuan Nasional” (Kompas, 18 September 2002), keppres tersebut belum
terwujud. Baru 18 September 2002 dideklarasikan berdirinya DBN oleh para
pemimpin perbukuan seperti Ikapi, Himpunan Penerjemah Indonesia, Ikatan
Pengarang Aksara, dan Wanita Penulis Indonesia.
Pendirian DBN sepengetahuan Dr Malik Fadjar
sebagai Mendikbud kala itu. Bahkan, staf ahlinya, Endro Sumardjo, ia izinkan
mengetuai DBN. Ia juga membolehkan sebagian dari anggaran Badan Pertimbangan
dan Pengembangan Perbukuan Nasional untuk membiayai kegiatan DBN, sambil
menunggu peresmian DBN sebagai lembaga nonstruktural atas dasar putusan Keppres
13 September 1999.
Di situlah kami berusaha menyusun kebijakan
dan strategi pengembangan perbukuan nasional dan menanggapi usulan Dewan Buku
Kebangsaan Malaysia tentang Pembentukan Dewan Buku ASEAN.
Saran UNESCO
Konsep DBN diperkenalkan oleh Organisasi PBB
untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai salah satu mekanisme
pengembangan perbukuan nasional serta promosi minat baca. Data 1987 menunjukkan
bahwa DBN telah dibentuk di 13 negara kawasan Asia, Afrika, dan Karibia. Di
Asia Tenggara, DBN juga didirikan di Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand,
dan Indonesia untuk menjawab kebutuhan bangsa akan buku. Di Indonesia, DBN
bentukan 1978 itu disebut Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional
(BPPBN).
DBN Filipina berada di bawah kantor
kepresidenan untuk menjamin pengembangan industri buku lewat rumusan serta
perwujudan suatu kebijakan perbukuan nasional. Rancangan pengembangan buku
nasional DBN Filipina itu bisa menjadi model bagi DBN di Indonesia. Artinya,
perbukuan nasional sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa langsung di
bawah kendali Presiden RI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar