Partai
Islam yang Malang
Faiz
Manshur ; Penulis, Tinggal di Bandung
KORAN TEMPO, 04 Juli 2012
Tersiar kabar dari berbagai media cetak dan online,
perolehan suara empat partai Islam dalam pemilu mendatang akan menurun. Lembaga
Survei Nasional (LSN) membeberkan hasil surveinya pada 10-20 Juni 2012 bahwa
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN) hanya akan meraih
suara 15,70 persen. Artinya, anjlok dari perolehan suara dalam Pemilihan Umum
2009, yang masih 29,14 persen.
Apa yang Anda bayangkan dari empat partai
dengan perolehan persentase 15,70? Kalau saya bilang, ini sebuah kemalangan
yang tak tertolong. Sebuah kemalangan lanjutan dari partai-partai Islam kecil
lainnya yang telah "almarhum" di masa pemilu 2004 dan 2009 silam.
Bagaimana tak malang kalau, seandainya empat partai ini dimerger sekalipun,
mereka tetap butuh koalisi dari partai lain, bahkan harus jadi pengekor partai
yang perolehannya lebih besar?
Realitas politik parlemen kita
memperlihatkan, selagi tidak ada pemenang dominan, di atas 40 persen, misalnya,
partai yang perolehannya mendekati jurang parliamentary threshold akan
kesulitan dalam urusan daya tawar di parlemen, karena mereka harus berkompromi
dengan partai-partai lain. Dari sini akan muncul kerumitan mengambil sikap
kepartaian, bahkan sering menimbulkan konflik internal karena perbedaan
mengambil keputusan "kerja sama" dengan pihak luar.
Kilas Balik
Kabar risetnya memang baru, tetapi tidak
mengagetkan karena, pada setiap pemilu, perubahan perolehan suara partai
berasas atau berbasis pemilih muslim menurun terus. Kalaupun ada yang naik, itu
terjadi pada PKS pada 2004, dan toh menurun lagi pada 2009. Sedikit kilas balik
ke belakang, dulu masa awal reformasi, tepatnya menjelang Pemilu 1999, banyak
yang memprediksi Partai Islam akan mendapatkan tempat yang setara dengan partai
nasionalis.
Sebagian prediksi tersebut memiliki
kebenaran--sejauh yang disebut partai Islam ialah partai yang berbasis massa
Islam, bukan partai berasas Islam. Adapun partai berasas Islam tetap kurang
diminati pemilih. Dari pemilu ke pemilu, suara partai Islam merosot. Rasa
percaya diri dari kalangan internal partai pun mulai menyusut. Apa yang mereka
yakini bahwa partisipasi umat Islam pasti tertarik pada ide keislaman, sebuah
organisasi kepartaian, jelas tak terbukti. Karena fakta ini, sebagian yang
realistis, seperti PKS, sedikit membuka diri dengan tidak lagi berjualan isu
penegakan syariat Islam seperti pada pemilu 2004, dan makin "gaul"
dengan isu lain. "Piagam Jakarta" tak lagi jadi dagangan karena kagak
laku.
Sedangkan partai lain, seperti PPP dan PBB,
tak kunjung menawarkan "dagangan" baru yang lebih terbuka dan menarik
perhatian. Jubah keislaman yang telanjur melekat membuat sebagian pengurus dan
kadernya merasa lebih nyaman berpolitik status-quo, sekalipun tidak
mendapat perhatian orang.
Adapun partai berbasis masa Islam ( PKB dan
PAN) pada awalnya memang menyadari keterbukaan sebagai langkah yang tepat untuk
berpolitik di Indonesia. Tetapi, karena partai inklusif ini, selain masih
memiliki beban "sektarianisme" dari sebagian pengurusnya, tak secara
padu menawarkan perbaikan berpolitik, atau katakanlah berkontribusi melakukan perbaikan,
ditambah lagi munculnya konflik internal yang kemudian membuat pengurusnya
kabur diikuti pengikutnya, kedua partai ini jadi ikut mengerdil.
Atas kabar survei tersebut, tak perlu rumit
melihat akar masalahnya. Tak perlu juga pengurus partai Islam mencari kambing
hitam dengan mengatakan masyarakat muslim di Indonesia bodoh, tidak kaffah
dalam memenangkan buhul syariat. Orang Islam di Indonesia tidak bodoh untuk
menipu diri dengan membeli barang dagangan Islam, tetapi karena memang pengurus
partai tak sungguh-sungguh konsisten berpolitik secara Islami, yaitu berpolitik
untuk kemaslahatan rakyat. Yang terjadi justru "kemaslahatan
politikus" (baca: haus kekuasaan disertai rakus harta) pada satu pihak,
dan kemelaratan umat di pihak lain.
Masyarakat Indonesia paham, sekalipun dengan
pemahaman yang berbeda dengan golongan akademik, bahwa ide-Islam bukan hal yang
penting. Sebab, yang mereka inginkan adalah terbebasnya masyarakat dari
korupsi, meningkatnya kesejahteraan hidup, dan kalau perlu makmur sentosa
sampai tujuh turunan. Dan atas dasar kepentingan hidup seperti itu, masyarakat
tidak percaya politikus partai Islam mampu mewujudkannya. Para politikus partai
Islam tak mampu menjadi "hero" yang menyediakan keteladanan dan sikap
altruistik untuk rakyatnya, minimal untuk pengikut dan pemilihnya.
Jika perolehan suara itu stabil
(naik-turunnya tak signifikan), hal itu bisa menjadi bukti partainya dikelola
secara baik dan mampu melayani, minimal melayani "kebutuhan" atau
yang disebut aspirasi bagi pemilihnya. Tetapi, jika merosot terus, jelaslah
bahwa partai tersebut terkena hukum alam transaksional. Ibarat sebuah
perdagangan, penjual menjanjikan produk/jasa dengan kemasan iklan yang memikat.
Tapi, setelah itu, mereka mengikuti asas tak-bijak, "habis manis sepah
dibuang". Saat kampanye menjanjikan syariat, setelah dapat kursi bertindak
laknat.
Jadilah kemudian, demikian adanya, tak perlu
ditinjau lebih jauh, akar penyakit sudah ketemu, dan obatnya pun tersedia.
Tinggal mau atau tidak untuk sembuh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar