Kamis, 05 Juli 2012

Partai Islam yang Malang


Partai Islam yang Malang
Faiz Manshur ; Penulis, Tinggal di Bandung
KORAN TEMPO, 04 Juli 2012


Tersiar kabar dari berbagai media cetak dan online, perolehan suara empat partai Islam dalam pemilu mendatang akan menurun. Lembaga Survei Nasional (LSN) membeberkan hasil surveinya pada 10-20 Juni 2012 bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN) hanya akan meraih suara 15,70 persen. Artinya, anjlok dari perolehan suara dalam Pemilihan Umum 2009, yang masih 29,14 persen.

Apa yang Anda bayangkan dari empat partai dengan perolehan persentase 15,70? Kalau saya bilang, ini sebuah kemalangan yang tak tertolong. Sebuah kemalangan lanjutan dari partai-partai Islam kecil lainnya yang telah "almarhum" di masa pemilu 2004 dan 2009 silam. Bagaimana tak malang kalau, seandainya empat partai ini dimerger sekalipun, mereka tetap butuh koalisi dari partai lain, bahkan harus jadi pengekor partai yang perolehannya lebih besar?

Realitas politik parlemen kita memperlihatkan, selagi tidak ada pemenang dominan, di atas 40 persen, misalnya, partai yang perolehannya mendekati jurang parliamentary threshold akan kesulitan dalam urusan daya tawar di parlemen, karena mereka harus berkompromi dengan partai-partai lain. Dari sini akan muncul kerumitan mengambil sikap kepartaian, bahkan sering menimbulkan konflik internal karena perbedaan mengambil keputusan "kerja sama" dengan pihak luar.

Kilas Balik

Kabar risetnya memang baru, tetapi tidak mengagetkan karena, pada setiap pemilu, perubahan perolehan suara partai berasas atau berbasis pemilih muslim menurun terus. Kalaupun ada yang naik, itu terjadi pada PKS pada 2004, dan toh menurun lagi pada 2009. Sedikit kilas balik ke belakang, dulu masa awal reformasi, tepatnya menjelang Pemilu 1999, banyak yang memprediksi Partai Islam akan mendapatkan tempat yang setara dengan partai nasionalis.

Sebagian prediksi tersebut memiliki kebenaran--sejauh yang disebut partai Islam ialah partai yang berbasis massa Islam, bukan partai berasas Islam. Adapun partai berasas Islam tetap kurang diminati pemilih. Dari pemilu ke pemilu, suara partai Islam merosot. Rasa percaya diri dari kalangan internal partai pun mulai menyusut. Apa yang mereka yakini bahwa partisipasi umat Islam pasti tertarik pada ide keislaman, sebuah organisasi kepartaian, jelas tak terbukti. Karena fakta ini, sebagian yang realistis, seperti PKS, sedikit membuka diri dengan tidak lagi berjualan isu penegakan syariat Islam seperti pada pemilu 2004, dan makin "gaul" dengan isu lain. "Piagam Jakarta" tak lagi jadi dagangan karena kagak laku.

Sedangkan partai lain, seperti PPP dan PBB, tak kunjung menawarkan "dagangan" baru yang lebih terbuka dan menarik perhatian. Jubah keislaman yang telanjur melekat membuat sebagian pengurus dan kadernya merasa lebih nyaman berpolitik status-quo, sekalipun tidak mendapat perhatian orang.

Adapun partai berbasis masa Islam ( PKB dan PAN) pada awalnya memang menyadari keterbukaan sebagai langkah yang tepat untuk berpolitik di Indonesia. Tetapi, karena partai inklusif ini, selain masih memiliki beban "sektarianisme" dari sebagian pengurusnya, tak secara padu menawarkan perbaikan berpolitik, atau katakanlah berkontribusi melakukan perbaikan, ditambah lagi munculnya konflik internal yang kemudian membuat pengurusnya kabur diikuti pengikutnya, kedua partai ini jadi ikut mengerdil.

Atas kabar survei tersebut, tak perlu rumit melihat akar masalahnya. Tak perlu juga pengurus partai Islam mencari kambing hitam dengan mengatakan masyarakat muslim di Indonesia bodoh, tidak kaffah dalam memenangkan buhul syariat. Orang Islam di Indonesia tidak bodoh untuk menipu diri dengan membeli barang dagangan Islam, tetapi karena memang pengurus partai tak sungguh-sungguh konsisten berpolitik secara Islami, yaitu berpolitik untuk kemaslahatan rakyat. Yang terjadi justru "kemaslahatan politikus" (baca: haus kekuasaan disertai rakus harta) pada satu pihak, dan kemelaratan umat di pihak lain.

Masyarakat Indonesia paham, sekalipun dengan pemahaman yang berbeda dengan golongan akademik, bahwa ide-Islam bukan hal yang penting. Sebab, yang mereka inginkan adalah terbebasnya masyarakat dari korupsi, meningkatnya kesejahteraan hidup, dan kalau perlu makmur sentosa sampai tujuh turunan. Dan atas dasar kepentingan hidup seperti itu, masyarakat tidak percaya politikus partai Islam mampu mewujudkannya. Para politikus partai Islam tak mampu menjadi "hero" yang menyediakan keteladanan dan sikap altruistik untuk rakyatnya, minimal untuk pengikut dan pemilihnya.

Jika perolehan suara itu stabil (naik-turunnya tak signifikan), hal itu bisa menjadi bukti partainya dikelola secara baik dan mampu melayani, minimal melayani "kebutuhan" atau yang disebut aspirasi bagi pemilihnya. Tetapi, jika merosot terus, jelaslah bahwa partai tersebut terkena hukum alam transaksional. Ibarat sebuah perdagangan, penjual menjanjikan produk/jasa dengan kemasan iklan yang memikat. Tapi, setelah itu, mereka mengikuti asas tak-bijak, "habis manis sepah dibuang". Saat kampanye menjanjikan syariat, setelah dapat kursi bertindak laknat.

Jadilah kemudian, demikian adanya, tak perlu ditinjau lebih jauh, akar penyakit sudah ketemu, dan obatnya pun tersedia. Tinggal mau atau tidak untuk sembuh. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar