Momen
Kembali ke Jalan Lurus
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PBNU
KOMPAS,
20 Juli 2012
Ramadhan adalah bulan suci umat Islam yang
penuh rahmat dan pengampunan. Di dalamnya tersimpuh ajaran adiluhung untuk
melatih diri (riyadhah al-nafs) dan
penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs).
Artinya, puasa bukanlah sekadar ”ritual kosong”, melainkan bermakna secara
spiritual, psikologis, humanis dan sosial.
Saking mendalamnya ”bobot” puasa,
sampai-sampai diwartakan bahwa ibadah puasa menjadi lelaku yang ”sangat privat”.
Maksudnya, orang yang berpuasa punya ikatan atau tanggung jawab langsung dengan
Allah. Beda dengan ibadah lainnya, seperti shalat yang secara lahiriah mudah
dikenali, orang yang berpuasa akan sulit diketahui dari lahiriahnya.
Manakala kita melaksanakan puasa Ramadhan,
sejatinya kita sedang melaksanakan dua hal. Pertama, menahan diri dari segala
hal yang merusak. Kedua, mendekatkan diri kepada Allah.
Di sini tersimpuh kata al-imsak, yang dalam
tata bahasa Arab bisa bergandengan dengan kata ‘an atau dengan bi. Bila
bergandengan dengan ‘an (imsak ‘an), berarti menahan diri untuk
tak melakukan sesuatu. Bila dengan bi (imsak
bi), berarti berpegang teguh pada sesuatu yang dijadikan pegangan.
Orang yang ber-imsak bi seharusnya ia ber-imsak
‘an, baik dalam puasa maupun di luar puasa. Berpuasa Ramadhan mestinya
dengan sepenuh jiwa, melatih diri agar dalam kondisi apa pun tetap teguh iman.
Menahan diri dari ketamakan, korupsi, bertindak zalim, dan segala rupa
perbuatan batil.
Dengan berpuasa Ramadhan, kita mengembalikan
harkat kemanusiaan kita yang lebih mulia dari segala yang ada di dunia ini
sebagai makhluk ciptaan Allah. Kitalah yang mengendalikan harta, bukan harta
mengendalikan kita. Kitalah yang mengendalikan makanan, bukan makanan yang
mengendalikan kita. Kita kembalikan jalan hidup kita ke jalan lurus.
Berpuasa Ramadhan sejatinya pula sebuah
penegasan kembali doa dan ikrar kita agar selalu ditunjukkan ke jalan yang
lurus (ihdina al-shirat al-mustaqim).
Menyitir Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, istilah shirat bagaikan
jalan tol. Kita tidak dapat lagi keluar atau tersesat setelah memasukinya. Bila
memasukinya, kita telah ditelan olehnya dan tidak dapat keluar kecuali sampai
pada akhir perjalanan.
Pembebasan
Bertumpuknya hikmah Ramadhan ini sesungguhnya
bisa dikembalikan pada semangat Islam, yakni semangat pembebasan yang
integratif dengan spirit kemanusiaan. Ramadhan menjadi pijakan untuk meneguhkan
fitrah yang menghajatkan dimensi ekologis yang kental dengan dimensi
transendental untuk menggapai keadilan hakiki. Dalam semangat fitrah terpapar
etika untuk mencapai kesalehan secara masif, tidak serta-merta transendental,
juga tanpa pengebirian terhadap kesucian hak manusia lainnya.
Spirit semacam ini akan menghalau kesenjangan
sosial, sikap serba cuek dengan sekitarnya. Jika semangat pembebasan telah
berurat akar, fitrah manusia akan kembali menemukan harmonisasi di tengah
kosmos. Kehidupan yang merupakan pancaran aura ketuhanan dengan potensi azali
manusia akan saling bersahutan demi membangun masyarakat yang adil.
Kemiskinan, kebodohan, dan borjuasi kehidupan
telah menggurita di berbagai lapisan masyarakat. Kaum Muslim hanya berkompetisi
di depan publik dengan pemberian hadiah pada saat momen religius saja. Di luar
itu, basis kebajikan manusia kembali mengakar pada teosentrisme, sebuah hal
yang lagi-lagi dilogikakan demi kepentingan Tuhan yang sebenarnya. Seorang
Muslim yang baik semestinya tidak mengukur pahala sebagai standardisasi pola
kerja kebajikannya, tetapi menggunakan realitas sosial sebagai parameter
kesuksesan kebajikan.
Krisis yang timbul di kalangan elite dan
masyarakat kita sekarang ini karena mereka kehilangan kendali diri dan menjauh
dari jalan lurus. Bahkan, di zaman modern, manusia sudah kehilangan rasa
kebersamaan dan solidaritas sosial. Tak salah kalau banyak yang kelaparan pada
saat kita semua menjalankan ibadah puasa karena puasa hanya sekadar kewajiban.
Bila disimak secara saksama, puasa Ramadhan
masih terpampang sebatas simbol ibadah yang belum memberikan nilai
transformatif kepada masyarakat. Puasa Ramadhan hanya sekadar rutinitas dan
tren unjuk beragama. Bila begitu terus, tak hanya menjadikan agama teralienasi
dari pesan moral dan ajaran agama yang formal, tetapi juga agama teralienasi
dari hakikat makan dan fungsi agama di tengah mobilisasi simbol keagamaan.
Dalam Al Quran, Allah mengutuk orang yang shalat, tetapi lalai. Mereka yang
dikatakan lalai itu adalah yang tidak tulus (riya’) dan tidak mau menolong orang lain (QS. Al-Ma’un: 5-7).
Begitulah dampak puasa belum ditumbuhkan dalam
kehidupan konkret. Berbagai bentuk kezaliman terus merajalela, kejahatan terus
mengalami eskalasi yang luar biasa, kekerasan tetap marak di mana-mana, proses
dehumanisasi terus berlangsung dalam kehidupan. Atau dengan kata lain, ibadah
puasa umat Islam masih bersifat individu-vertikal belum sampai ke tingkat
sosial-horizontal.
Andai puasa Ramadhan tak berhenti sebagai
ritus, diserap benar-benar sebagai mentalitas dan perilaku, bisa jadi sebagian
penyimpangan sosial manusia bisa ditekan. Betapa indah andai kita hidup di
tengah masyarakat yang mengembangkan dan menjaga mentalitas Ramadhan, yaitu
pengendalian dalam apa saja dengan berbasiskan bahasa hati. Ketika bahasa hati
yang bicara, bahasa sistem dalam upaya menciptakan kendali, misalnya dalam
membangun good governance, kita yakini bakal menemukan efektivitasnya.
Segi-segi ideal itulah yang selalu muncul dalam gambaran ketika Ramadhan tiba.
Titik Lompatan
Jika pada bulan-bulan lain para elite politik
seenaknya mengumbar kata-kata, selama puasa harus berlatih untuk lebih bijak
dalam bertutur. Kalau pada bulan selain Ramadhan para pelaku birokrasi begitu
mudah menyimpangkan anggaran negara, saat puasa mereka mesti berupaya
mengakhirinya. Tidak ada momentum sekhidmat Ramadhan yang bisa dijadikan titik
untuk membuat lompatan.
Tentu sangat banyak cobaan dan godaan selama
menjalankan puasa. Namun, dengan kebesaran hati dalam menjalankan perintah
agama, kiranya semua persoalan itu bisa diatasi. Jangan sampai tergoda dengan
hal-hal yang kurang baik dan dapat mengurangi makna puasa.
Walhasil, saatnya kita berdoa dan bertekad
kembali agar puasa Ramadhan tahun ini bisa menyadarkan dan mencerahkan kita
semua untuk kembali ke jalan lurus. Jalan menuju transformasi diri yang
berangkat dari kesadaran spiritual individual dan kemudian berurutan mewujud
dalam kesadaran sosial sehingga bisa membawa manfaat bagi negeri kita tercinta
ini, yang tengah membangun dalam suasana plural dan multikultural. Selamat
berpuasa bagi saudara-saudara kita yang sedang menunaikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar