Derap
Inovasi Dunia
Ninok Leksono ; Pimpinan Redaksi Kompas
KOMPAS,
20 Juli 2012
Dalam laporan utamanya bertajuk The Decline of American Innovation
(23/11/09), Newsweek menulis soal merosotnya inovasi Amerika Serikat. Meski
pesaing utamanya dewasa ini, yakni China, masih menganggap perusahaan terkemuka
AS—seperti General Electric—lebih unggul, khususnya dalam keandalan, tidak
sedikit kalangan di AS sendiri yang mengakui bangsa lain kini sudah menyaingi
AS dalam inovasi.
Seperti dikutip Daniel McGinn dalam laporan
Newsweek di atas, kalau sampai
sekarang General Electric (GE) masih dikagumi orang, hal itu ada alasannya. GE
punya akar kuat yang jika dirunut berasal dari Laboratorium Menlo Park Thomas A
Edison yang dianggap sebagai situs sejumlah inovasi paling hebat dalam sejarah
dunia. Dari lab itulah, menurut McGinn, lahir keturunan spiritual Edison—baik
yang menjadi insinyur, ahli genetika, ahli pemrograman, maupun
entrepreneur—yang kini masih giat melakukan riset dasar di sejumlah penjuru
negeri.
Laporan yang diturunkan dari hasil survei
tersebut melahirkan sejumlah kesimpulan penting. Dua pertiga responden yang
ditanya mengakui bahwa inovasi akan jadi semakin penting bagi perekonomian AS
dalam kurun 30 tahun mendatang. Namun, ketika ditanya tentang bagaimana posisi
AS, di antara responden AS dan China terdapat perbedaan. China masih menganggap
AS lebih unggul dalam inovasi, sementara di kalangan AS sendiri hanya 41 persen
yang setuju dengan hal itu.
Lebih jauh diungkapkan cara untuk melahirkan
terobosan di masa datang, di mana AS akan fokus dalam peningkatan pendidikan
matematika dan sains, sementara China lebih fokus pada pengembangan
penyelesaian masalah secara kreatif dan peningkatan keterampilan bisnis.
Uraian tentang bagaimana inovator China
mengubah dunia bisa dijumpai dalam buku karya Yinglan Tan (Chinnovation, 2011) dan karya Rebecca A Fannin (Silicon Dragon, 2008). Peningkatan
keterampilan bisnis telah menjadi citra umum tentang bangsa China, tetapi
bisnis yang ditopang oleh teknologi gamblang diungkapkan dalam buku Fannin.
Misalnya saja tentang bagaimana Baidu, Alibaba, dan Dangdang.com yang bertumpu
pada teknologi digital bisa tumbuh menjadi perusahaan terkemuka di China.
Di sisi lain juga diakui bahwa pencetus Baidu,
Robin Li, membawa Baidu ke kesuksesan dengan memanfaatkan apa yang ia pelajari
di Lembah Silikon, situs persemaian teknologi informasi Amerika di California,
dan Dangdang.com sukses karena
mempelajari apa yang dilakukan Amazon.com.
Aspek bisnis diakui masih tetap merupakan skill
yang menonjol dalam inovasi di China. Namun, bahwa China punya tekad untuk
memajukan inovasi tampak dari uraian Yinglan Tan, yang menulis bahwa yang kini
sedang berlangsung adalah mengubah dari citra status ”made in China” menjadi ”innovated
in China”.
Dalam kenyataan, dua elemen penting
inovasi—yakni keunggulan dalam sains, teknologi, dan dalam desainnya serta
keunggulan dalam pemasaran—harus bisa direalisasikan agar karya inovasi tidak
hany berhenti sebagai karya iptek, tetapi juga sukses dipasarkan dan ikut
berkontribusi dalam perekonomian nasional.
Rusia Mengejar
Ketika bangsa-bangsa di dunia gencar berlomba
dalam inovasi, Rusia sebagai salah satu bangsa besar rupanya tak mau
ketinggalan. Dalam bidang kedirgantaraan, misalnya, setelah meredup selama
sekitar dua dasawarsa, Rusia kini tengah merombak secara besar-besaran industri
kedirgantaraannya. Meski promosi Sukhoi
Superjet 100 tertimpa sial di Indonesia, di ajang Pameran Kedirgantaraan
Farnborough, Inggris, Juli ini, Sukhoi Superjet tampil dalam profil tinggi.
Selain Sukhoi Superjet 100, Rusia juga
membuat pesawat tempur baru, PAK-FA, buatan United
Aircraft, yang diharapkan selain inovatif, juga mampu mengangkat ekspor (Flight International, 10-16/7/12).
Lebih umum lagi, Rusia juga sedang
mengembangkan Technopark di Skolkovo,
dekat Moskwa. Dalam beberapa tahun ke depan, Skolkovo diharapkan menjadi salah satu kota hi-tech di dunia.
Luasnya hampir 400 hektar, dua kali taman Olimpik London. Di sini akan ada
universitas yang bisa menampung 1.800 mahasiswa, 40 pusat litbang, dan taman
teknologi yang bisa menampung 1.000 perusahaan pemula (start-up) (The Economist,
14/7/12)
Lebih jauh dari itu, Skolkovo juga menampilkan ”inovasi” di luar yang kasatmata, yaitu
berupa perlakuan pajak, visa, dan impor khusus seperti diterapkan di zona
ekonomi khusus, seperti Shenzhen di
China.
Skolkovo dimaksudkan untuk menjadi basis
ekosistem luas yang terentang ke seluruh Rusia dan untuk menggalang kebersamaan
peneliti, entrepreneur, dan investor di lima bidang pilihan, yakni TI,
biomedika, efisiensi energi, teknologi ruang angkasa, dan nuklir, yang dianggap
sudah mengakar kuat di Rusia.
Tampak bahwa masing-masing kuasa utama dunia
memiliki strategi sendiri untuk mempertahankan atau memperkuat kemampuan
inovasi nasionalnya.
Di mana Indonesia?
Isu tentang inovasi juga sebenarnya marak di
Tanah Air. Selain melalui penerbitan (seperti tentang ekonomi dan budaya
inovasi oleh lembaga pendidikan Prasetya Mulya dan ITB), secara formal Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono juga telah membentuk Komite Inovasi Nasional (KIN)
yang dipimpin oleh Zuhal.
Setelah diresmikan tanggal 15 Juni 2010, KIN
telah menghasilkan banyak pemikiran tentang bagaimana inovasi bisa menjadi
salah satu penggerak perekonomian nasional. Konsep Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, antara lain, juga mewujud dengan
kontribusi KIN bersama Komite Ekonomi Nasional (KEN).
KIN pun merumuskan Konsep 1-747 untuk
Presiden yang cukup unik, di mana 1 adalah besaran persentase anggaran riset
dari produk domestik bruto; 7 adalah jumlah sistem percepatan inovasi; 4 adalah
jumlah wahana inovasi, dan 7 terakhir adalah jumlah tujuan yang diharapkan bisa
dicapai dengan 7 proses dan 4 wahana yang didukung oleh dana riset sebesar 1
persen dari PDB di atas.
Secara konsep tidak ada yang keliru dari ide
1-747 di atas. Namun, yang menjadi pertanyaan tentu bagaimana hal tersebut
direalisasikan, misalnya saja peningkatan anggaran riset dari 0,05 persen
menjadi 1 persen justru di tengah keterbatasan anggaran yang dihadapi
pemerintah saat ini, yang berarti peningkatan sebesar 20 kali.
Paham tentang bagaimana kontribusi inovasi
terhadap ekonomi juga sudah tidak asing bagi banyak kalangan di Indonesia.
Riwayat Robert Solow mengembangkan model yang melukiskan bahwa sumbangan
terbesar pada pertumbuhan ekonomi tidak datang dari tenaga kerja atau modal,
tetapi dari teknologi, antara lain dikemukakan oleh Umar Juoro, anggota KEN,
dalam kontribusinya dalam buku Ekonomi Inovasi (terbitan LPIK ITB, 2010).
Disebutkan pula ide awal tentang inovasi sebagai pendukung utama perkembangan
ekonomi oleh Joseph Schumpeter (sejak 1934).
Namun, KIN juga menyadari bahwa unsur ketujuh
dalam sistem percepatan inovasi, yakni ”menciptakan iklim kondusif untuk
pengembangan budaya, sistem insentif, dan regulasi”, masih tetap merupakan
problem utama yang harus ditanggulangi. Tidak heran jika kini masih sering
muncul ucapan bahwa sebelum mencapai inovasi teknologi, hasilkan dulu inovasi
dalam birokrasi. Padahal, masih sering pula muncul penilaian bahwa yang lebih
dulu dibutuhkan adalah reformasi birokrasi, yang kalau berhasil sudah merupakan
inovasi besar yang dicapai bangsa Indonesia.
Uraian di atas tentang inovasi di AS, China,
dan Rusia memperlihatkan bagaimana bangsa maju terus gerah serta ingin lebih
maju dan tetap penuh daya saing, tidak ingin ketinggalan oleh bangsa lain.
Bangsa Indonesia pun menangkap semangat itu. Hanya saja, jurang masih lebar
antara kepintaran membuat formulasi dan mewujudkan ide menjadi aksi
efektif-produktif. Salah satu contoh inisiatif mobil SMK Solo. Apa yang semula
dipandang bisa menjadi sebuah momentum untuk menggerakkan inovasi nasional di
bidang otomotif yang mengonsumsi devisa dalam jumlah triliunan rupiah ternyata
bak balon yang tak lama kemudian mengempis, tak menghasilkan jejak apa pun.
Satu
demi satu, dan selalu, Indonesia kehilangan momentum sejarah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar