Selasa, 17 Juli 2012

Merasakan Krisis Ekonomi di Italia


Merasakan Krisis Ekonomi di Italia
Abdul Rokhim ; Wartawan Jawa Pos
JAWA POS, 17 Juli 2012

SEPERTI di Yunani, penyerapan tenaga kerja muda di Italia terus melemah. Kini perusahaan di Italia yang 90 persen berjenis usaha kecil dan menengah (UKM) lebih suka merekrut kalangan keluarga daripada tenaga segar yang baru lulus dari sekolah.

Catatan terbaru biro statistik Eropa (Eurostat) per Juni 2012 menunjukkan, lebih dari seperempat -tepatnya 28 persen-angkatan kerja yang berusia 16 hingga 24 tahun di Italia menganggur. Dibandingkan dengan dua negara senasib, Yunani dan Spanyol, tingkat pengangguran angkatan kerja muda Italia memang lebih rendah. 

Di Yunani, 43 persen anak muda usia 16-24 menganggur. Di Spanyol lebih mengenaskan lagi, 51,4 persen pemuda jobless. Cerita tentang lost generation (generasi yang hilang) akan menjadi skandal terbesar baru di Benua Eropa.

Di Italia, krisis yang dimulai pada 2009 membuat banyak orang kehilangan pekerjaan. Lalu, datanglah generasi muda. Bagi gelombang baru angkatan kerja tersebut, mendapatkan makanan dan sedikit kesenangan bukan lagi hal mudah. Padahal, itu adalah hal pokok yang harus dilakukan saat muda. Namun, karena negara mengetatkan anggaran dan pertumbuhan ekonomi zona Eropa diprediksi menyusut 0,5 persen tahun ini, masa depan tersebut terlihat suram.

Michelle Cirioni, 24, jurnalis radio di Roma, adalah salah satu contoh anak muda Italia yang berada di tengah pusaran putaran puting beliung krisis itu. Di gerai makanan cepat saji yang menghadap Plaza de Fontana, dia menceritakan, beberapa hari setelah pelantikan, Perdana Menteri (PM) Mario Monti pernah menjanjikan akan memprioritaskan penciptaan lapangan kerja bagi anak muda. "Kemurungan kalian akan segera berakhir," ucap Michelle menirukan pidato PM yang oleh media Jerman dijuluki Super Mario itu.

Bagi Michelle, dalam praktiknya, melalui program pengetatan anggaran, ucapan Monti lebih terdengar bahwa kemurungan baru saja dimulai. "Monti menjanjikan dana 30 miliar euro untuk lapangan kerja, namun karena diambil dari kenaikan pajak dan pemotongan upah pekerja, justru banyak perusahaan tutup dan tak ada kerja buat kami," papar Michelle tentang kosongnya janji pemerintah.

Michelle lahir di Civita Castellana, 65 kilometer di utara Roma. Sejak Perang Dunia II berakhir, 90 persen penduduk Civita Castellana bekerja sebagai perajin keramik untuk kamar mandi dan ornamen bangunan. Jika pebisnis, pemerintah, dan akademisi mendefinisikan krisis sebagai tekanan anggaran oleh utang sejak tiga tahun lalu, penduduk Civita Castellana merasakan krisis dua tahun lebih awal. Krisis bagi mereka adalah membanjirnya produk keramik Tiongkok yang bentuknya serupa namun menawarkan harga lebih murah. 

Dalam ingatan Michelle, pada 2007 ekonomi mulai suram di kampung halamannya. "Mulai tahun itu banyak pabrik yang tutup dan ratusan tenaga kerja lokal kehilangan pekerjaan," ungkapnya. 

Michelle beruntung karena keluarganya tidak terkena dampak langsung dari krisis. Ayahnya dokter dan ibu bekerja di rumah. "Namun, saya tetap tak senang karena bisnis beberapa keluarga dari paman dan saudara jauh berakhir," ujarnya. Karena itu, sejak lulus dari Giuseppe Colasanti High School pada 2005, Michelle memutuskan tidak membebani keluarga dengan merantau ke Roma.

Setelah bekerja serabutan dua tahun, Michelle yang memiliki bekal kemampuan bahasa Inggris diterima menjadi penyiar radio FM milik yayasan gereja di Roma. "Gaji dari penyiar radio milik gereja tidak pernah cukup, bahkan untuk biaya hidup minimal," ungkapnya. 

Kondisi Michelle mulai membaik saat bekerja part time di radio swasta yang berpusat di London. Dengan menjadi koresponden di Roma, Michelle mendapat tambahan pemasukan. "Saat ini saya bekerja 15 sampai 20 jam per pekan dan saya mendapat 200 euro (sekitar Rp 2,4 juta) per bulan," ungkapnya.

Cukup? Untuk urusan makan, minum, dan sewa kamar memang sudah beres. Tapi, dia butuh pemasukan lebih banyak untuk mengejar mimpinya menjadi artis. "Saya butuh satu pekerjaan lagi untuk membayar sekolah teater, kalau bisa yang terkait dengan kegiatan seni," tutur Michelle. Sayang, di tengah turbulensi ekonomi, banyak kegiatan seni dan festival yang dibatalkan di Roma. Itu sangat mengkhawatirkan Michelle. Sebab, dengan festival lebih sedikit, makin rendah pula gaji untuk seorang pekerja seni, apalagi untuk seorang artis baru.

Dalam tempo dua hari, empat di antara enam pemuda yang di-interview                                   mengungkapkan suramnya masa depan mereka. Adriana Rossitto, lulusan jurusan human biology, mengungkapkan bahwa dirinya semakin membenarkan ledekan temannya bahwa bercita-cita menjadi peneliti di Italia adalah bunuh diri. 

Bekerja sebagai tenaga paro waktu di Bambino Gesu Hospital, Roma, semula memberikan harapan bahwa seiring dengan masa tugas, suatu saat dia diangkat menjadi peneliti penuh. Pelan tapi pasti, harapan Adriana menguncup saat membaca koran bahwa program pengetatan anggaran membuat dana research                           semakin dipangkas. "Sekarang saya bekerja 12 jam per pekan. Saya dapat gaji karena ada dokter yang saya kenal menjadi pejabat di rumah sakit. Tapi, gaji itu tak pernah bisa buat beli alat dasar penelitian." 

Berikutnya ada Penelope Stentella, disk jockey (DJ) di kelab malam di kawasan hiburan malam di sekitar kawasan Universitas San Lorenzo, Roma. Krisis membuat satu demi satu kelab malam tutup. "Orang-orang semakin berhemat. Mencari hiburan dilakukan setelah mereka makan dan ada uang sisa. Kini sebagian pelanggan mengaku sebelum akhir bulan uang sudah habis. Tak ada uang untuk ke kelab," jelasnya. 

Michelle, Adriana, dan Penelope memang tidak bisa disebut mewakili pemuda Italia. Namun, mereka bersama jutaan yang lain membentuk mozaik wajah satu angkatan generasi penerus Italia. Yakni, generasi yang hadir pada waktu yang salah. Generasi yang terancam hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar