Selasa, 17 Juli 2012

Di Tengah Politik Cepat Saji


Di Tengah Politik Cepat Saji
Arya W Wirayuda ; Pegiat di Yayasan Insan Cita Bangsa, Jakarta 
JAWA POS, 17 Juli 2012

DALAM suatu kesempatan, Menteri BUMN Dahlan Iskan mewanti-wanti pemerintah untuk perlu mewaspadai dampak kenaikan jumlah kelas menengah Indonesia terhadap kemungkinan peningkatan budaya cepat saji (Jawa Pos, 13/7). Bom waktu birokrasi menjadi peringatan wajib dalam berpolitik. Selain pelayanan birokrasi yang perlu dipercepat -seperti halnya yang dikemukakan Dahlan-, kebijakan politik juga rawan dalam persimpangan instan jika kata tersebut berhinggap taklid kepada aktor-aktornya. Konsep itu pun memerlukan penerjemahan dan respons yang bijak.

Sejenak, kita bisa berpaling dari kemenangan Jokowi-Ahok. Kita juga perlu melupakan sementara Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, Akbar Tandjung, Hidayat Nur Wahid, dan politisi lain yang loyal terhadap partai dalam hura-hura politik. Namun, kita perlu menyimak sejumlah renungan pengamat atau aktor yang meramal akan terjadi pergulatan ideologis di tingkat lapangan saat pilkada putaran kedua DKI Jakarta dalam rangka pembelajaran demokratisasi kita. 

Kita memang bisa menyangsikan pernyataan mereka bahwa semangat kedaerahan, Jawa dan Betawi, akan memperkuat mesin-mesin politik untuk memengaruhi masyarakat. Sebab, dalam tingkat parpol, para aktor kerap tidak peduli dengan hal itu. Kita bisa menengok, di banyak pilkada, politisi dan birokrat telah menunjukkan wajah lain mereka: rasional-pragmatis. Bahkan, tidak mustahil kapitalis. Watak bajing loncat menunjukkan bahwa politik cepat saji sedang dalam idaman. 

Mendekati Pemilu 2014, politisi yang tak berideologi bukan tidak mungkin berkembang biak. Dalam beberapa pemilu dan pilkada sebelumnya, kita bisa melihat wajah artis dan politisi cangkokan beredar dalam perayuan suara massa. Beberapa petinggi Partai Demokrat juga jebolan Partai Golkar. Andi Nurpati sebagai mantan anggota KPU dan Ulil Abshar-Abdalla sebagai mantan calon ketua umum NU pun langsung mendapat kursi strategis tanpa melalui mekanisme berjenjang kepartaian. Dalam manuver terbaru, kabar salah seorang Ketua Tim Pemenangan Partai Golkar Nurdin Halid berupaya merayu wakil gubernur Sulawesi Barat agar ''berseragam kuning''.

Lupa 

Mereka masuk ke dalam partai sering hanya dalam momen pencalonan, baik di legislatif maupun eksekutif. Alasan klise, dalam perspektif partai, ketokohan mereka dapat dimanfaatkan untuk memperbesar diri. Sementara itu, dari perspektif, politisi instan kerap berlaku prinsip aji mumpung. Setidaknya, sebelum menjajal nasib, para politikus instan memiliki modal jaringan bisnis, birokrasi, seprofesi, keartisan, atau bahkan sama-sama menjadi ''makelar'' suara. Kendati pemahaman ideologinya diragukan, mereka bisa saja menjadi tokoh yang relatif penting. Kenyataan tersebut sungguh menyedihkan saat mengingat bahwa negara kita berdiri karena kekuatan berideologi. 

Miskin, terbuang, dipenjara, atau bahkan mati rela diterima demi prinsip dan cita-cita. Sebagian founding fathers juga hidup sederhana serta bersahaja sampai akhir hayat. Sekalipun dekat dengan kekuasaan sejak masa penjajahan, mereka enggan membebek. Pemimpin kita pada masa agresi militer Belanda pun menghadapi perlawanan dari beberapa kelompok, saat perbedaan ide tidak bisa diselesaikan dalam altar diplomasi. Politik untuk tidak mengingatkan sejarah seperti ini, tampaknya, merupakan bagian dari strategi politisi cepat saji. Tragisnya, politik seperti berjalan karena arahan hasrat berkuasa dan uang. 

Secara khusus, ini adalah problem politik partai. Secara umum merupakan krisis ideologi kader bangsa. Sebab, partai sebenarnya merupakan representasi kuat dari proses ideologisasi kebangsaan. Bagaimana tidak, partai telah sering mengklaim dirinya sebagai organisasi yang berjuang untuk rakyat dalam negara. 

Ideologi Indonesia memang Pancasila. Tapi, tiap orang, organisasi, ataupun partai bisa menjadikan agama dan paham lain. Karena itu, tidak salah, saat menjabat presiden, Gus Dur mengatakan bahwa tidak satu pun lembaga bisa melarang ideologi karena ideologi berada dalam pikiran manusia. 

Dengan begitu, setia terhadap partai tidak bisa dikatakan ideologis. Sebab, kemungkinan motif mencari penghidupan bisa juga jadi pijakan. Meski demikian, setia terhadap partai bisa disebut lebih ''ideologis'' karena berusaha hidup dan bertahan di tengah ketidakcocokan dengan anggota partai lain. Karena itu, bertahannya kader partai dan berhasil mengubah sistem yang lebih baik tepat dijadikan tolok ukur yang lebih tepat untuk mendorong perbaikan negeri ini. 

Bisa saja beberapa kader ideolog jengah terhadap partai, sehingga berpindah lahan aktualisasi. Ada pula yang memilih mencalonkan diri sebagai calon independen karena partai tidak mampu mengakomodasi gagasan, cenderung menghabiskan cost politic yang melangit, atau bahkan dikuasai sekumpulan kroni tertentu. Karena itu, berpindah partai tidak berarti tidak ideologis karena ada kemungkinan partai yang berbeda mempunyai kesamaan visi. Selain itu, fenomena tersebut menjadi kritik serius terhadap partai atas kemunculan calon-calon independen dalam pilkada, yang sayang kemenangannya sangatlah kecil. Namun, kenyataan itu cenderung lebih menampakkan kecepatsajian mendapatkan kekuasaan daripada berproses memupuk diri dalam ideologi utama kelompok atau partai.

Reideologi 

Menyimak reideologi bangsa, biasanya ideologi bersama bisa muncul karena keberhasilan imajinasi kesamaan nasib. Dari sana, musuh bersama diciptakan dan dimasifkan. Bangsa ini pernah merasakan bersatunya gerakan masyarakat dalam satu ideologi, yakni masa perjuangan pengesahan sebagai bangsa, penghapusan komunisme, dan penggayangan KKN-isme Orde Baru. Dan layak diakui, pergerakan mereka terjadi dalam geliat antitesis bersama, pembongkaran nilai dan doktrin tertentu, beserta upaya membangun negara tanpa mindset sebelumnya. Dalam kaitan ini, sebenarnya terjemahan ideologi utama masing-masing orang dan kelompok menemukan wajah lain untuk melawan yang terimajinasikan.

Dipandang dari konsep cepat saji, mungkin nanti ada yang memanfaatkan momentum kemenangan Jokowi. Bahkan, menjelang Pemilu 2014, mungkin semakin banyak perkumpulan yang dibentuk dalam rangka melembagakan aji mumpung. Jika salah satu fase pemunculan musuh bersama ada yang berupa penjajah, komunis, dan bahkan antek-antek Soeharto, mungkin pemilu berikutnya menjadi momentum untuk imajinasi perlawanan terhadap partai penguasa. 

Berpikir kritis dalam loncatan-loncatan politik cepat saji merupakan bagian terpuji dari perjalanan bangsa merespons perubahan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar