Selasa, 10 Juli 2012

Menyikapi Kondomisasi


Menyikapi Kondomisasi
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PB NU
JAWA POS, 09 Juli 2012

KONDOM dan rokok? Apa hubungannya? Keduanya memang sekadar "perkakas". Namun, bilamana menyoal maslahat dan mudaratnya, berani taruhan, tentu banyak yang menyebut rokok lebih "jahat". Sebabnya, rokok dituding bisa merusak kesehatan dan juga sering dikampanyekan mampu membunuh manusia. Tak heran bila ada larangan merokok di berbagai tempat. Sedangkan kondom kerap dinyatakan mampu melindungi organ genital manusia, seperti, dari kehamilan dan penyebaran penyakit kelamin, terutama pencegah HIV/AIDS. 

Penisbahan di atas menjadi menarik lagi ketika masyarakat tiba-tiba dikagetkan oleh gagasan Menkes untuk membagi-bagikan kondom. Ada juga program ATM kondom dan promosi kondom ke sekolah-sekolah. Latar belakangnya, penyebaran penyakit kelamin, khususnya HIV/AIDS dan juga aborsi, melonjak signifikan. Permisivisme dan liberalisasi seks terpampang makin menanjak hebat. 

Faktanya, kondom sudah bisa diperoleh secara mudah seperti di apotek atau minimarket selama ini. Bila begitu, wajar kalau ada pertanyaan mengapa harus ada kebijakan membagi-bagikan kondom? Apakah semata lantaran kesadaran masyarakat untuk memakai kondom masih tipis?

Indonesian Values 

Negeri kita ini memang memesona dan unik. Ya, segalanya ada di negeri ini. Dari sumber daya alam yang melimpah hingga berbagai model perilaku dan gaya hidup meruah. Tak berlebihan bila negeri kita ini sering dijuluki sebagai "surga" bagi apa pun. Sebut saja, surga bagi produk impor, surga gaya hidup impor, surga narkoba, surga korupsi, surga kekerasan atau bentrokan, dan ditambah lagi, yaitu surga seks. Reformasi kian mesra berdekapan dengan neoliberalisme. Semua yang dulu tergencet atau "mati suri", kini di era reformasi menyeruak dengan tampilan penuh kegagahan dan kejawaraan. 

Korupsi makin menjadi-jadi, terdesentralisasi serta berkomplot. Deru globalisasi membuat bangsa kita kehilangan karakter dan jati diri. Apa pun model, gaya hidup, produk teknologis Barat, disambut dengan penuh ingar bingar dan kemudian merasuk menjadi semacam 'paham baru' lantaran dipandang lebih bergengsi atau "wah". Sebuah "mimesis" (peniruan) di lapangan kebudayaan yang begitu menghujam di benak masyarakat kita, hingga seolah melumpuhkan daya kreasi anak bangsa. Lalu, layakkah negeri kita mendapat sematan baru, yaitu "negara gagal"?

Kita bisa menengok pula dalam soal seks, seperti fakta suburnya pelacuran. Mudah sekali kita jumpai kantong-kantong pelacuran di berbagai tempat dengan segala rupa "perwajahannya". Urusan "jual beli" perempuan dan juga trafficking seakan semudah membeli rokok. Di daerah wisata Puncak, umpamanya, mudah kita jumpai para pria berwajah Timur Tengah yang melakukan kawin kontrak dengan perempuan-perempuan setempat dan juga transaksi seks. Di Bali juga bisa kita saksikan para pria bule dengan mudahnya menggandeng perempuan kita. Kalau sudah begitu, apa mujarabnya seribu kali tindakan penggerebekan oleh aparat atau ormas keagamaan dilakukan, ibarat rambut yang dicukur plontos, sebentar lagi akan tumbuh kembali.

Nah, fakta-fakta yang menggiriskan di atas sekonyong telah memicu kepanikan. Seperti halnya soal kondomisasi terkesan "ikut arus". Membandingkan di negeri Barat sendiri faktanya tidaklah "polosan" seperti dibayangkan. Pendidikan seks di negeri-negeri Barat terlebih dahulu disosialisasikan. Sementara di negeri kita masih ramai diperdebatkan. Bandingkan pula, semisal kebijakan distribusi rokok di negeri-negeri Barat, dijual di tempat-tempat khusus dan harganya pun dibuat mahal. Memang liberalisasi seks di negeri kita mungkin masih terbilang lebih "sehat" dibanding di negeri Barat. Walaupun fakta liberalisasi seks di kalangan anak-anak muda kita juga semakin menunjukkan angka yang menggeregetkan. 

Solusi jelas harus ada. Kepedulian terhadap keadaan negeri ini haruslah terus dipancangkan. Tetapi, solusi yang diupayakan haruslah selalu menumpukan pada kearifan kultur bangsa kita. Bangsa kita kaya dengan adat istiadat dan ajaran agama. Karenanya, setiap pengambilan kebijakan sudah seharusnya mempertimbangkan "Indonesian values" kita. Artinya pula, ajaran agama perlu menjadi tambatan utama dalam setiap pengambilan kebijakan. Dalam soal kondomisasi, pertimbangan agama harus didengarkan, tidak semata atas nama upaya untuk mengurangi angka penularan HIV/AIDS. Agama juga punya metode yang preventif (sad al-dzari"ah) dan moderat (bi al-hikmah) guna turut serta dalam mengobati penyakit masyarakat. 

Angkat Akar Jamur 

Gagasan Menkes soal kondomisasi bisa diibaratkan Menkes ingin mengobati suatu penyakit, tetapi yang terjadi malah membuka peluang risiko susulan sehingga menambah parah penyakit. Terus terang, program kondomisasi selaksa hanya mampu menghilangkan jamur di permukaan, tetapi akarnya tetap ada, yaitu budaya seks bebas. Lagi pula, kebijakan kondomisasi belum bisa menjamin sebagai cara ampuh untuk melawan HIV/AIDS dan aborsi.

Dalam kaidah fikih Islam disebutkan "al-dharar la yuzalu bi al-dharar". Maksudnya, bahaya atau kemadharatan tidak bisa dihilangkan dengan cara kemadharatan pula. Ambilah contoh kasus pencurian motor. Pelakunya jelas telah bertindak melawan hukum. Tetapi, cara penindakannya jangan lantas pelakunya dikeroyok atau malah dibakar hidup-hidup. 

Mengiaskan kondomisasi ibarat usaha menghapus perbuatan korupsi dengan cara meniadakan lembaga penindak korupsi seperti KPK misalnya. Juga tidak bisa dihapus begitu saja dengan cara si koruptor mengembalikan hasil korupsinya kepada negara. Perbuatan korupsi tetap harus diganjar dengan hukuman. Jangan alpa, jurus jitu yang harus dilakukan adalah dengan pembenahan sampai ke akar-akarnya, yaitu sistem korup dan budaya korupsi melalui penegakan hukum. 

Demikian halnya dengan ikhtiar mengurangi penyebaran HIV/AIDS dan aborsi. Akarnya adalah budaya permisif. Budaya seperti ini bisa dimaknai pula sebagai hilangnya karakter dan jati diri bangsa, sehingga mudah melakukan peniruan membabi buta, termasuk dalam soal liberalisme seks. Sebaiknya yang perlu terus dikampanyekan adalah mencerdaskan masyarakat tentang bahaya seks bebas sembari tak kenal lelah senantiasa menguatkan dan meningkatkan pendidikan akhlak anak bangsa, mulai institusi keluarga hingga lembaga-lembaga yang peduli dan berwenang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar