Menolong
IMF Yes, Menolong Rakyat No!
Firdaus
Cahyadi ; Knowledge
Manager For Sustainable Development, Oneworld-Indonesia
KORAN TEMPO, 04 Juli 2012
Pada awal 2012 lalu, Badan Pusat Statistik
(BPS) mengeluarkan pernyataan yang tajam soal kemiskinan di Indonesia. BPS
dengan lugas menyatakan bahwa kemiskinan di Indonesia sudah dalam tahap kronis.
Hal itu karena pemerintah sangat kesulitan untuk hanya mengurangi 1 persen saja
tingkat kemiskinan.
Jika menurut hitungan statistik atau
kuantitatif saja kemiskinan di Indonesia sudah masuk tahap kronis, tentu dari
sisi kualitatif lebih parah lagi. Di beberapa daerah di negeri ini, kemiskinan
juga telah mendorong seseorang untuk nekat melakukan bunuh diri.
Pada Juli 2010, kita dikejutkan dengan
meninggalnya Muhammad Basyir dengan cara gantung diri di Jakarta Selatan.
Diduga, anak kecil itu nekat mengakhiri hidupnya karena tak tahan dengan
kemiskinan yang melilit keluarganya. Selama ini orang tua Basyir hanya pedagang
kecil di pasar. Mereka tidak sanggup membiayai anaknya sekolah.
Bunuh diri karena kemiskinan adalah sebuah
fenomena gunung es. Sepanjang 2009-2010, seperti ditulis oleh Pos Kota,
tercatat ada lima kasus bunuh diri yang diakibatkan oleh kemiskinan di wilayah
Jakarta dan Tangerang. Seiring terjadinya kasus bunuh diri akibat kemiskinan
itu, meningkat pula jumlah penduduk miskin di Jakarta. Menurut Gubernur DKI
Jakarta Fauzi Bowo, pada 2011 angka kemiskinan di Jakarta meningkat sebesar
3,75 persen dari jumlah angka kemiskinan pada 2010 sebesar 312 ribu orang.
Peningkatan juga terjadi pada jumlah anak
jalanan di Jakarta. Berdasarkan data dari Dinas Sosial DKI Jakarta, seperti
yang pernah ditulis oleh sebuah media massa nasional, jumlah anak jalanan di
Jakarta pada 2009 sebanyak 3.724 orang, pada 2010 meningkat menjadi 5.650
orang, dan pada 2011 ini juga meningkat menjadi 7.315 orang. Celakanya, potret
kemiskinan seperti tersebut di atas terjadi di Jakarta, kawasan yang menjadi
pusat perputaran uang di Indonesia. Selain itu, tidak jauh dari Istana Negara, tempat
Presiden Republik Indonesia memimpin negeri ini.
Namun, di tengah potret kemiskinan yang
memilukan itu, pada akhir Juni 2012 muncul berita bahwa pemerintah Indonesia
hendak memberikan bantuan pinjaman uang kepada International Monetary Fund (IMF). Pemerintah sudah mematok
anggaran maksimal sebesar US$ 1 miliar untuk menolong IMF. Menurut Menteri
Keuangan Agus Martowardojo, seperti ditulis oleh sebuah portal berita di
Jakarta, pemberian pinjaman itu untuk memperkuat modal IMF agar lebih leluasa
menyehatkan ekonomi di Eropa dan negara-negara berkembang. Bahkan Menteri
Keuangan mengungkapkan bahwa, dengan memberikan pinjaman, dapat ditunjukkan
bahwa Indonesia sudah berada dalam posisi ekonomi yang lebih baik.
Menteri Keuangan tiba-tiba seperti lupa akan
pernyataan tajam BPS pada awal tahun 2012, yang mengungkapkan bahwa kemiskinan
di Indonesia sudah kronis. Menteri Keuangan juga seperti tidak mengetahui kisah
pilu kehidupan warga miskin yang dilaporkan oleh berbagai media massa. Niat
pemerintah membantu IMF dengan alasan ingin membantu penyehatan ekonomi dunia
juga perlu dipertanyakan. Pasalnya, campur tangan IMF dalam perekonomian suatu
negara, khususnya negara-negara berkembang, justru menambah penderitaan bagi
sebagian besar warganya, termasuk pengalaman di Indonesia tentunya.
IMF terkenal sebagai lembaga bisnis bantuan
yang menganjurkan liberalisasi ekonomi di suatu negara. Dan sering kali
liberalisasi ekonomi itu diawali dengan pencabutan berbagai subsidi bagi
masyarakat dan juga pengurangan anggaran sosial yang ditujukan bagi warga
negaranya.
Dalam sebuah laporannya, The Ecologist Report mengungkapkan bahwa program IMF di Filipina
telah menyebabkan pemotongan program belanja untuk pencegahan malaria, TBC, dan
imunisasi. Sementara itu, dalam Water
Privatization Fact Sheet diungkapkan, terdapat 12 negara yang diberi
pinjaman IMF pada 2000 silam, diharuskan menaikkan harga jasa pelayanan air dan
melakukan privatisasi air. Sudah dapat dipastikan warga miskin adalah kelompok
masyarakat yang akan terpukul oleh kebijakan privatisasi air bersih ini.
Sepak terjang program IMF yang mendorong
liberalisasi ekonomi secara ugal-ugalan itu membuat berang ekonom dari
Universitas Harvard, Jeffrey Sachs. Pakar ekonomi itu menilai IMF, bersama Bank
Dunia dan pemerintah Amerika Serikat, bertanggung jawab atas meninggalnya
jutaan orang di dunia akibat kemiskinan.
Selain kritik dari Jeffrey Sachs, program IMF
juga mendapat kritik tajam dari Joseph E. Stiglitz, seorang pakar ekonomi yang
meraih penghargaan Nobel bidang Ekonomi. Pada 2002, Joseph E. Stiglitz dalam
buku Globalization and Its Discontents mengungkapkan bahwa IMF
meletakkan kepentingan pemegang saham terbesar (Amerika Serikat) di atas
kepentingan negara-negara miskin yang justru seharusnya ia bantu.
Di Indonesia, jejak IMF juga begitu
terang-benderang terlihat. Menurut Sri-Edi Swasono, IMF juga berperan dalam
membantu rezim otoriter Orde Baru, yang berkuasa selama 32 tahun. Bukan hanya
itu, menurut guru besar ekonomi UI itu, IMF juga menyarankan likuidasi 16 bank
tanpa disertai sikap antisipasi. Akibatnya, terjadilah pelarian uang
besar-besaran yang menguras modal nasional.
Ironisnya, dengan reputasi IMF yang menuai
kritik dari berbagai kalangan, dari akademisi hingga aktivis dari dalam maupun
luar negeri, itulah pemerintah berniat membantu keuangan IMF. Politik
pencitraan. Itu mungkin yang sedang dimainkan pemerintah di balik niat bantuan
pemerintah terhadap IMF tersebut. Namun, sayang, biaya dari politik pencitraan
itu terlalu mahal bagi rakyat Indonesia.
Padahal uang yang akan digunakan untuk
membantu IMF itu sejatinya dapat digunakan untuk memaksimalkan program
pengentasan masyarakat dari kemiskinan di dalam negeri. Namun, demi politik
pencitraan internasional, pemerintah pun lebih memilih menolong IMF ketimbang
membantu rakyatnya sendiri. Sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan pembayar
pajak di negeri ini, sudah sepantasnya bila kita kecewa, marah, dan
berkeberatan dengan upaya pemerintah yang akan memberikan pinjaman modal kepada
IMF dan di sisi lain membiarkan warganya hidup dalam kemiskinan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar